Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Kita Menulis?

3 April 2010   05:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:01 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_109361" align="alignleft" width="282" caption="Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) sumber:donen.wordpress.com"][/caption]

Mbak,

Aku mau mengajukan pertanyaan klasik itu lagi kepadamu: Mengapa kita menulis? Masing-masing orang mestilah punya jawaban sendiri, baik mereka itu penulis—maksudku yang hidup dari dan untuk menulis—atau orang yang macam kita ini, eh maksudku, aku sendiri, yang cuma penulis amatiran dus angin-anginan.

Kalau mesti pakai referensi maka saya mengutip Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang telah melahirkan—benar-benar melahirkan, karena Pram bilang karyanya adalah anak-anak nuraninya—tetralogi pulau buru yang mengguncang negeri ini waktu rezim Orde Baru berkuasa. Katanya: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”

Ya, cemana tidak? Apalagi memang saya tak pandai—untuk tidak dibilang bodoh—hahaha, segan juga bilang diri sendiri yang terakhir itu. Apa yang mau dikenang dari seorang tak pandai? Dan tak pula menulis? Sedangkan yang pandai saja kalau tak menulis juga akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah secemana dibilang Pram.

Aku sangat-sangat bersyukur bisa berkenalan [dalam tanda kutip] dengannya [Pram]. Perkenalan tanpa disengaja, waktu membongkar-bongkar perpustakaan seorang senior dan menemukan “Bumi Manusia”, buku yang menceritakan awal pergerakan menuju Indonesia Merdeka yang unkonvensional—di luar yang kita pelajari dari bangku sekolah. Apalagi dalam buku itu Minke, sang tokoh, selalu berjuang dengan pena untuk melawan ketidakadilan yang terjadi di zaman itu. Memberontak dengan menulis. Walaupun kemudian kebebasannya dikekang oleh pemerintahan kolonial, tapi dia tetap menulis.

“Bumi Manusia”lah yang bikin semangat menulis [dan membaca]ku hidup, jadi magnit yang menarikku ke dunia [tulis-menulis] ini. Kalau tidak awalnya kupikir menulis dan membaca adalah pekerjaan sia-sia dan tak ada guna saja. Buang waktu saja. Tapi dari perkenalan yang mengasyikkan itu aku sampai pada kesimpulan:aku harus menulis.—walaupun dalam perjalanan waktu menjadi penulis angin-anginan, hahaha....

Mbak,

Saya tak bermaksud jadi Pram. Jadi seorang sastrawan. Karena tak mungkin, tambah lagi tak ada pula dalam angan-angan dan cita-cita saya. Tapi dengan menulis, saya ingin diketahui “bahwa saya ada” dan—yang paling penting—dengan menulis ada kepuasaan bathin yang tak terperi. Puas sekali. Anda pasti pernah merasakan itu. Terlebih kalau orang-orang menghargai tulisan kita.

Cemena menurut Anda?

Terus menulis Mbak—karena itu [bagian] pemberontakan kita.

Medan, 03/04/2010

Salaman,

jemie simatupang

NB:

Saya ingin berbagi dua kutipan lagi: “Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. [Imam Al-Ghazali] dan “Syarat untuk menjadi penulis ada tiga, yaitu: menulis, menulis, menulis”. [Kuntowijoyo] kedua-duanya saya ambil dari: alymerenung.wordpress.com.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun