Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

“Garuda” di Bola Kaki-ku

1 April 2010   05:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:03 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_107926" align="aligncenter" width="500" caption="Lebih besar dibandingkan 3 rumah mereka (sumber:n3ki.files.wordpress.com)"][/caption]

Aku tak tau, apakah cerita yang Anda baca berikut ini benar atau tidak. Tapi orang-orang-orang dewasa [bahkan tua] di kampungku selalu menceritakannya dari mulut ke mulut, generasi ke genarasi, bagai sebuah cerita nyata: bahwa benar-benar telah terjadi cerita ini. Lepas dari itu—fakta atau fiksi—cerita itu masuk juga di akalku.

Kampung kami itu letaknya di pesisir timur laut sumatera—selat malaka. Penduduknya rata-rata bekerja sebagai nelayan. Mayoritas bersuku melayu: lainnya: jawa, china, dan batak. Tapi tak penting soak pekerjaan dan suku-bersuku mereka itu, yang lebih berkaitan dengan cerita ini adalah: kalau pesawat melintas di atas kampung kami, maka besarnya sudah sebesar kotak korek api Cap Gajah.—itu pun kejadiannya langka sekali, bisa dibilang sebulan sekali.

Nah, kalau pesawat itu lewat menjadi hiburan gratis sama anak-anak. Berlarian mereka itu mengejar mengikuti kemana pesawat itu pergi. Yang lain mendongak ke atas dan meletakkan kedua tangan di mulut—membentuk mangkok: ”Kapal awak nak ikut....!!!” atau ”Kapal... minta duit....!!!” atau ”Kapal jatuhkan jajan...!!!” Orang-orang kampung memang mengatakan pesawat terbang menjadi kapal [lengkapnya kapal terbang].

Anak-anak itu tahu, orang-orang hebat[?] di atas sana tak akan dengar dan penuhi keinginan mereka, —sama seperti orang-orang hebat yang berkampanye kepada orang tua mereka kalau musim Pemilu datang: sekali pun tak pernah ditepati, bahkan lapangan bola kaki mereka tetap saja banjir kalau hujan, padahal seorang calon wakil rakyat pernah berjanji akan membenahi kalau terpilih nanti. [kembali ke anak-anak itu] Tapi tetap saja tiap kali kapal itu melintas tiap kali pula mereka lari mengikuti dan berteriak-teriak, hore...hore...hore...

Mungkin 1985 atau malah di bawahnya. Kelompok bola kaki [maksudnya sepak bola] anak-anak kampung kami punya jadwal tanding persahabatan dengan kelompok bola kaki dari Medan. Ini tentunya kesempatan istimewa, bertanding dengan orang kota, apalagi memang jarang [bahkan tak pernah] keluar dari kampung. Inilah adalah kesempatan yang ditunggu-tunggu; bertanding sambil jalan-jalan ke kota. Melihat-lihat kota.

Mobil bak terbuka [truk] disewa, berangkalah tim bola kaki itu dengan penuh suka cita. Perjalanan dari kampung ke Medan sekitar 2 jam. Pemandangan sepanjang jalan membuat anak-anak kampung takjub: mobil, kereta, bus bersilewaran, jalan raya yang lebar dan diaspal licin semua. Gedung-gedung tinggi menjulang, beda sama di kampung mereka yang masih banyak gubuk daripada batu.

Sampailah ke tujuan, sebuah daerah dekat dengan Polonia. Pertandingan dimulai: Priiittt.... dan disinilah cerita itu sebenar-benarnya berawal. Kelompok bola anak kampung kami kalah 20 : 0. Telak! Tak biasa-biasanya begitu, paling kalaupun kalah mereka tipis-tipis saja, tak sampai setengah selusin. Apalagi mengingat fisik-fisik anak-anak kuat-kuat, mereka biasa memanjat kelapa, bermain bola di sawah kering tak rata, membantu ayah di laut, dan aktifis fisik keras diluar latihan bola kaki sebenarnya. Pasti jauh kalah dibandingkan dengan anak-anak kota itu.

Kok kalah? Apa pasal?

Rupanya tak lain pesawat—eh kapal—terbang yang menggara-garai. Tahu sendirilah, Polonia itu adalah bandar udara. Internasional pula. Jadi tiap menit tiap waktu pesawat selalu saja lepas landas dan mendarat. Nah tiap kali pesawat itu mendarat tiap kali pula tercipta gol, begitu juga kalau pesawat itu lepas landas meninggalkan polonia.

Para penyerang rupanya tak konsen[trasi] lagi dengan bola yang sedang digoreng, begitu juga dengan kiper dan pemain lainnya. Mereka lebih tertarik melihat pesawat:--bah! Besarnya bukan lagi sebesar kotak korek api Cap Gajah tapi dua tiga kali rumah mereka. Beberapa pemain malah latah berlari mengikuti pesawat: walaupun masih malu minta uang atau jajan. Yang lain melongo: melihat arah pergi dan datangnya pesawat. Beberapa anak membaca tulisan yang ada di badan pesawat—yang kalau dikampung bahkan tak pernah nampak oleh mereka. Kesempatan itu tak disia-siakan tim lawan untuk menggoreng dan mengoper bola dan menendangnya ke gawang. Begitulah jadinya hingga tercipta 20 Gol.

“Merpati!”

“Gol!”

“Lion!” –benar-benar lion bukan laien.

”Gol!”

”Garuda!”

”Gol!”

...

”Gol!”

...

”Gol!” [*]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun