Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa difabel digunakan dalam artikel ini, alih-alih penyandang disabilitas atau istilah lain. Soal merendahkan atau tidak memang soal bagaimana menafsirkannya. Namun, ini mengenai cara pandang. Bahwa Dif-able yang merupakan akronim dari different ability memandang kelompok rentan ini bukan sebagai ketidakmampuan (disabilitas) melainkan sebagai kemampuan yang berbeda. Dengan perbedaan ini, diharapkan ada perbedaan pula dalam memperlakukan mereka, agar setara dengan non-difabel.
Cukup mengecewakan Jogja tahun ini mencatat jejak rekam buruk dalam mewujudkan kota ramah difabel. Terutama saat formasi CPNS sangat diskriminatif dengan mengeksklusi berbagai kategori difabel. Tunanetra, tunarungu, dan tunawicara sudah tertolak bahkan sebelum sempat mendaftar di berbagai kabupaten/kota. Dengan kata lain hanya tunadaksa yang dapat mendaftar, itu pun dibatasi tidak boleh menggunakan kursi roda!
Memang mereka memerlukan berbagai alat bantu dikarenakan perbedaan kemampuan tersebut. Tentu saja akan perlu banyak bantuan. Namun justru di situlah bentuk solidaritas. Mereka ingin mandiri, mau bekerja keras seperti non-difabel. Asal sedikit saja uluran tangan maka mereka dapat ikut mengabdi sebagai pegawai negeri. Namun apa daya, belum banyak yang mengerti mengenai hal ini.