Kampung Peneleh bukan sekadar kampung tua. Ia adalah kitab sejarah kota yang sudah terlalu sering dicorat-coret pejabat, dilipat seenaknya, lalu dipoles ulang sesuai selera politik dan mood brosur pariwisata.
Lorong-lorong sempitnya masih menyimpan bisikan masa lalu; dermaga kecil di tepi Kalimas yang dulu sibuk menerima jenazah orang Eropa, makam tua yang sekarang jadi monumen bisu yang hanya ramai saat ada tur heritage, dan pasar rakyat yang dulu bergemuruh, kini tinggal legenda yang dijual dengan gaya nostalgia.
Ya, Pasar Peneleh. Bayangkan, sebuah ruang yang lahir dari ironi: dari transit terakhir arwah kolonial menjadi tempat orang berdesakan membeli jeruk Bali. Dari dermaga jenazah ke dermaga dagang. Surabaya memang jago sulap. Tidak perlu David Copperfield, cukup pemerintah kota dan perubahan zaman.
Sekitar 1935, pasar ini mencapai puncak kejayaannya. Sebuah catwalk keramaian kota, tempat etnis dan kelas sosial berkelindan. Orang Bali dari Singaraja membawa buah segar, orang Jawa membuka lapak seadanya, warga Tionghoa menyemarakkan perdagangan.
Di sini, pluralisme bukan jargon seminar, melainkan obrolan ringan sambil menawar harga jeruk. Sejenak, Peneleh menjelma miniatur dunia; hidup, berisik, dan sangat manusiawi.
Tapi seperti sinetron panjang yang akhirnya kehabisan episode, kejayaan itu tidak bertahan lama. Masalah datang, dan datang dengan gaya Surabaya; semrawut.
Disini, Sungai Kalimas jadi korban utama. Dari jalur vital transportasi air, ia berubah jadi tong sampah raksasa, dicekoki peti buah lapuk dan sampah pasar yang dibuang seenaknya. Jeruk-jeruk manis di lapak berubah jadi pahit ketika sisa-sisanya mengapung di sungai. Dan perlahan, Pasar Peneleh bukan lagi wajah manis kota, tapi jerawat urban yang bikin malu.
Masuk era 1960-an, branding pasar ini bergeser, dari pasar rakyat serba ada, menjadi pasar buah resmi. Ironis, justru saat itu ia mulai keropos. Kota tumbuh modern, mal bermunculan, gaya hidup berubah.
Pasar Peneleh yang dulu jadi nadi sosial, tiba-tiba dianggap kuno, tidak higienis, dan ketinggalan zaman. Hingga pada 2007, pasar ini ditutup bukan dengan drama, bukan dengan penghormatan. Ia mati pelan-pelan, tanpa nisan, hanya meninggalkan memori yang samar.
Kini, Peneleh tinggal jadi kisah. Bangunannya hilang, tapi ingatan warga tetap menyimpannya. Ironisnya, ia lebih dihargai setelah mati. Hidupnya dibiarkan berantakan, matinya dijadikan warisan. Sebuah pola klasik tata kota, yaitu membiarkan ruang sosial hancur, lalu menjual reruntuhannya sebagai heritage dengan kemasan estetik di brosur.