Di negeri yang doyan simbol dan suka memperpanjang rel mimpi, warisan kekuasaan sering kali bukan berbentuk kebijakan berkelanjutan, melainkan proyek-proyek yang dijejalkan di detik-detik terakhir masa jabatan.
Maka, ketika Presiden Jokowi menutup tirai kekuasaannya pada Oktober 2024, yang ia tinggalkan bukan sekadar salam perpisahan, tapi lintasan kereta yang katanya super cepat dan tagar-tagar patriotik bernama 'Whoosh'.
Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, proyek itu tampaknya tidak dibiarkan jadi monumen nostalgia belaka. Justru, jalurnya ingin diperpanjang ke arah timur menuju Surabaya, seolah pembangunan tidak boleh berhenti, meski arah dan urgensinya masih buram.
Melalui tangan kanan yang tidak pernah pensiun walau jabatan berganti, Luhut Binsar Pandjaitan alias Opung LBP, proyek perpanjangan Whoosh masih terus dijajakan ke mitra langganan; Tiongkok.
Meski Presiden sudah berganti, Luhut tetap di barisan depan. Â Di Labuan Bajo, ia menyambut Menteri Luar Negeri China Wang Yi guna menyelipkan agenda investasi di balik senyum formal, panorama laut, dan kemungkinan tender yang lebih deras dari ombak.
Meja perundingan itu bukan ruang debat geopolitik, melainkan ruang makan siang yang mewah. Di atas atas meja mungkin telah tersaji teh, kue, dan komitmen investasi. Sementara itu, di bawah meja tersaji utang, konsesi, dan peta jalur kereta. Tepat sekali! Diplomasi brunch memang tidak pernah mengenyangkan, tapi cukup untuk membuat satu negara lapar logika.
Luhut memamerkan Whoosh yang katanya sukses mengangkut 15 ribu penumpang per hari, naik daun saat arus mudik Lebaran, dan lalu dijadikan bukti bahwa kita sudah on track menuju masa depan.
Tapi masa depan yang mana? Masa depan dengan utang menumpuk, atau masa depan yang hanya bisa dinikmati mereka yang tidak perlu mikir ongkosnya? Karena kalau ini disebut lompatan peradaban, mungkin rakyat cuma kebagian jadi penonton di peron
Kini, di bawah kendali Presiden Prabowo, proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya berada di persimpangan; antara meneruskan jejak warisan atau menghitung ulang risiko yang ditinggalkan.
Di satu sisi, ada semangat kontinuitas. Di sisi lain, ada tumpukan kajian yang belum selesai; utang yang belum lunas yang diperparah karena cost overrun, dan pula lubang-lubang infrastruktur yang masih menganga secara fisik maupun fiskal.