Publik dapat memahami kondisi bangsa saat ini bahwa kita dikejutkan oleh kabar pembatalan kesepakatan pembelian BBM dasar antara SPBU swasta seperti Vivo dan BP-AKR dengan Pertamina. Banyak berita terkait ini sedang ramai dibicarakan karena alasan pembatalannya bukan semata soal harga, melainkan soal mutu dan kualitas.
Kemudian kita bias mengamati laporan Bloomberg Technoz, Pertamina menawarkan base fuel dengan kandungan etanol sekitar 3,5 persen. Bahwa secara regulasi, angka itu memang tidak bermasalah karena masih di bawah ambang batas yang ditetapkan Kementerian ESDM. Namun bagi SPBU swasta dengan standar mutu global, campuran etanol itu dianggap bisa merusak formula bahan bakar yang mereka jaga. Alhasil, kesepakatan pun dibatalkan, karena menguntungkan sepihak. Lalu pertanyaannya apakah boleh bentuk dalam satu pintu?
Logika Monopoli yang Rapuh dan Nampak
Pemerintah berdalih, aturan monopoli impor ini dibuat untuk melindungi Rupiah, akan tetapi public akan menilai berdasarkan pengalaman saat ini. Alasannya, kalau swasta juga boleh impor, maka tekanan terhadap Rupiah bisa makin besar bahkan merugikan negara. Namun logika ini rapuh. Bukankah pada akhirnya impor tetap impor? Baik dilakukan Pertamina maupun swasta, devisa tetap keluar, jadi apa masalahnya kalua sudah baik lalu mempersulit.
Perbedaannya terletak pada siapa yang menguasai rantai distribusi. Dengan aturan satu pintu, Pertamina bisa menentukan harga, mengatur pasokan, sekaligus mengambil margin keuntungan. Rakyat tidak diberi pilihan, sementara swasta kehilangan ruang untuk bersaing sehat. Disinilah letak permasalahan mendasar bagi public.
Dalam kajian ekonomi politik, praktik semacam ini dikenal sebagai rente. Rente adalah keuntungan yang lahir bukan dari inovasi, mutu, atau efisiensi, tetapi dari aturan yang menciptakan posisi dominan. Pertamina diuntungkan, sementara rakyat dipaksa menerima kualitas yang ditentukan sepihak, apakah ini yang dinamakan keadilan, tentu tidak.
Data Harga: Murah, tapi Apakah Bermutu?
Ingin menganalisa data lebih jahu, kita lihat data harga per Oktober 2025. Pertamax (RON 92) di SPBU Pertamina dijual sekitar Rp12.200 per liter. Sementara SPBU swasta menawarkan produk sekelas dengan harga lebih tinggi: Shell Super Rp12.580, Vivo Revvo 92 Rp12.610, dan BP 92 Rp12.610.
Sekilas, harga Pertamina tampak lebih murah ketimbang yang lainnya. Namun di balik harga, mutu menjadi pertanyaan. Vivo dan BP memilih mundur dari kesepakatan dengan Pertamina karena kualitas bahan bakarnya dianggap tidak sesuai standar global. Artinya, harga lebih murah tidak selalu berarti rakyat untung. Bisa jadi rakyat sebenarnya "membayar" dengan kualitas yang lebih rendah.
Di sinilah letak paradoksnya. Pemerintah selalu berbicara soal keterjangkauan harga BBM, tetapi jarang membahas mutu. Padahal mutu BBM berpengaruh langsung pada performa kendaraan, efisiensi bahan bakar, hingga emisi. Kualitas yang lebih rendah bukan hanya merugikan konsumen, tetapi juga bisa berdampak pada lingkungan dalam jangka Panjang itu paling penting.