Artikel "Bahasa Kalbu di Tangga Birokrasi" mengangkat momen perpisahan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dengan cara yang lebih dari sekadar menggambarkan suasana haru. Penulis menunjukkan bahwa di balik air mata, lagu, dan tepuk tangan, terdapat sebuah bentuk komunikasi yang sarat makna, di mana perpisahan ini tidak hanya soal emosi, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan dan citra seorang pemimpin dibentuk dan dipertahankan. Momen tersebut menjadi semacam "drama birokrasi" yang memperkuat narasi tentang kepemimpinan dan warisan politik.
Meski Sri Mulyani dihormati oleh banyak pegawai Kemenkeu, artikel ini juga mengingatkan bahwa pandangan masyarakat terhadap kebijakan fiskalnya tidak selalu positif. Beberapa kebijakan dianggap menambah beban rakyat kecil, sehingga perpisahan yang tampak penuh penghormatan ini juga menyimpan kontradiksi antara citra di dalam birokrasi dan realitas yang dirasakan masyarakat luas. Ini menunjukkan bahwa peristiwa emosional dalam birokrasi bisa menjadi alat komunikasi kekuasaan yang lebih kompleks dari yang terlihat.
Kesimpulannya, artikel ini mengajak kita untuk melihat perpisahan pejabat bukan hanya sebagai momen nostalgia atau penghormatan semata, tetapi juga sebagai bagian dari strategi komunikasi dalam birokrasi yang membentuk persepsi dan narasi kekuasaan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu berpikir kritis dalam menilai sebuah peristiwa, agar penghormatan terhadap figur publik tetap diimbangi dengan pemahaman objektif terhadap kebijakan dan dampaknya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI