Profesional,menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti sesuatu yang “memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya”.Sementara menurut Merriam-Webster Dictionary, profesional “dicirikan oleh atau sesuai dengan standar teknis atau etika profesi”.Dosen profesional adalah dosen yang memiliki kompetensi khusus di bidangnya untuk melaksanakan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.Lebih jauh, dosen profesional taat pada etika profesi.Memiliki integritas yang tinggi, jujur, melakukan sesuatu dengan benar, dan melakukan hanya hal yang benar.Sebagai insan ilmiah, dosen bisa saja melakukan kesalahan; tetapi ia tidak boleh berbohong.
Dosen dituntut untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi secara profesional.Profesionalisme dosen di Indonesia dilihat dari sertifikat pendidik melalui program sertifikasi yang diawali sejak tahun 2008.Dosen yang memeroleh sertifikat disebut dosen profesional (di bidangnya).Sebagai dosen profesional, pemerintah memberikan tunjangan profesi.
Kompetensi di bidang pengajaran dapat dilihat dari metode, bahan, dan proses pengajaran di dalam kelas.Kompetensi dalam penelitian dapat dipantau dari kualitas penelitian dan publikasi ilmiah dalam jurnal bereputasi.Kompetensi dalam pengabdian kepada masyarakat diukur dari, antara lain, peran dosen dalam praksis pembangunan, terutama di sektor publik.Mengabdi ditandai bukan dengan sejumlah gelar yang diperoleh, tetapi seberapa peduli seorang dosen memberi alternatif solusi atas permasalahan masyarakat di sekitarnya.
Lalu bagaimana kualitas dosen kita pasca sertifikasi dosen (serdos)?Surat Dirdiktendik Ditjen Dikti nomor 3693/E.43/2012 dapat dijadikan rujukan.Berdasarkan data kinerja dosen penerima tunjangan profesi 2008-2011 dan data kelulusan serdos tahun 2012, maka pengusulan serdos tahun 2013 mengalami perubahan mendasar dalam portofolio dosen.Perubahan terutama terkait dengan kemampuan bahasa Inggris, tes potensi akademik (TPA), dan publikasi pada jurnal ilmiah/nasional/internasional.Sampai kini, belum diperoleh kriteria operasional tentang tiga komponen tersebut.
Mungkin sebagian besar dosen mendukung kebijakan ini, meskipun tekesan terjadi diskriminasi dengan portofolio dosen sebelum tahun 2013.Pertanyaan mendasar adalah, apakah dosen yang telah memeroleh sertifikat pendidik masih layak disebut profesional bila tidak memenuhi tiga komponen tersebut.Oleh karena itu, tiga komponen itu harus pula dipersyaratkan bagi dosen profesional (sudah memperoleh sertifikat pendidik) agar tetap bisa memperoleh tunjangan profesi.
Kualitas dosen, antara lain, diukur dari publikasi makalah dalam jurnal ilmiah nasional dan internasional.Masih jelas di ingatan kita mengenai wajib publikasi makalah sebelum mahasiswa S1/S2/S3 ditamatkan, yang sempat dan masih diperdebatkan itu.Sampai hari ini, implementasi kebijakan ini, terutama untuk mahasiswa S2/S3, masih variatif.Ada perguruan tinggi (PT) yang menerapkannya secara konsisten, ada PT yang melakukan modifikasi, dan ada PT yang belum menerapkannya.Mungkin hal ini bisa dianggap sebagai masa transisi mengingat kondisi PTN masih variatif; apalagi kondisi PTS.Namun dari sisi personal mahasiswa, hal ini dapat “dianggap” sebagai bentuk diskriminasi negara terhadap warganya.
Wajib publikasi pada jurnal internasional sepakat diterapkan untuk mahasiswa S3.Dan sebaiknya diterapkan secara konsisten di semua PTN disertai kriteria operasional.Namun, publikasi makalah dapat menjadi masalah bagi para mahasiswa S2.Pertama, seperti mahasiswa S3, mahasiswa S2 baik di PTN maupun PTS, tidaklah seluruhnya berasal dari akademisi.Mahasiswa yang berlatar belakang akademisi saja masih kesulitan untuk menulis pada jurnal nasional terakreditasi, apalagi yang berasal dari nonakademisi, seperti birokrat atau usahawan.Kedua, kalaupun para mahasiswa S2 mampu menulis artikel ilmiah; ketersediaan jurnal nasional terakreditasi Dikti masih sangat terbatas.Sebagai gambaran, hanya ada sekitar 80-an jurnal nasional dari berbagai bidang ilmu yang memeroleh status terakreditasi (A atau B) selama tahun 2011 dan periode I tahun 2012.Tentu saja, ada beberapa lagi yang terakreditasi pada periode sebelumnya.Masih banyak PT, bahkan PTN, tidak memiliki jurnal nasional terakreditasi.Satu PTN yang relatif besar, katakanlah eks BHMN, dapat meluluskan ratusan Magister setiap tahun.Artinya, kondisi saat ini, jurnal yang ada kurang mampu memublikasi artikel ilmiah semua lulusan S2.
Sekaitan dengan itu, ada lagi surat Dirjen yang sama mengenai penataan program doktor.Isinya, Ditjen Dikti hanya memberikan beasiswa bagi mahasiswa program doktor pada program studi yang memiliki publikasi sesuai surat edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012.Ditjen Dikti sedang mempertimbangkan untuk meninjau ulang ijin program doktor yang tidak mampu menghasilkan publikasi.Kita menanti hasil ‘pertimbangan’ Dikti untuk menata program studi doktor di Indonesia.Pertimbangan yang sama juga perlu diterapkan pada program studi S2 dan S1.
Sejak diluncurkannya program serdos, memeroleh beasiswa (BPPS) bukanlah satu-satunya penentu studi lanjut ke program doktor.Peraturan yang terkait dengan status dosen belajar (pegawai pelajar) yaitu tugas belajar, ijin belajar, dan keterangan belajar; terkait dengan BPPS.Namun peraturan mengenai pegawai pelajar inipun tidak dilaksanakan secara konsisten untuk dosen PNS, apalagi dosen non-PNS.
Jika seorang dosen memeroleh BPPS, maka umumnya ia berstatus tugas belajar dan dibebaskan dari tugas akademik.Jika ia adalah dosen profesional, maka tunjangan profesinya dihentikan selama tugas belajar.Seandainya –meskipun dibebastugaskan-- selama tugas belajar dosen yang bersangkutan melakukan Tri Dharma PT, maka angka kredit kegiatan tersebut tidak dapat diperhitungkan. Bahkan, sebenarnya, selama tugas belajar; jabatan akademik dosen adalah nonaktif dan karenanya tunjangan fungsionalnya juga dihentikan.Kondisi ini menyebabkan dosen yang memiliki kemampuan relatif finansial, tidak mengusulkan memeroleh BPPS.Lebih memilih tunjangan profesi dan dapat melakukan Tri Dharma PT, dan tentu, angka kreditnya diperhitungkan.
Yang menjadi persoalan adalah, kelihatannya semua aturan tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh PT, terutama beberapa PTS.Lagi pula, berbagai surat edaran yang terpisah-pisah itu, menyebabkan informasinya sering tidak utuh dan tidak diketahui secara meluas oleh kalangan akademis.
Khusus untuk studi lanjut S3 dalam negeri ingin disampaikan beberapa saran untuk Ditjen Dikti.Saran ini muncul dari beberapa pertanyaan berikut.Mengapa ada klasifikasi status studi lanjut: tugas belajar (bebas tugas), ijin belajar dan keterangan belajar (aktif tugas)?Apakah program studi doktor kita terbagi menjadi “sekolah serius” atau “sekolah setengah serius”?
Untuk dosen yang ijin dan keterangan belajar, seolah ada program doktor “setengah serius” yang bisa ditempuh “sambilan” sembari tetap aktif melaksanakan Tri Dharma PT.Tampaknya aturan ini kurang kondusif untuk meningkatkan kualitas publikasi ilmiah yang diharapkan.Untuk dosen yang tugas belajar, seolah program doktor yang ditempuh adalah “sekolah serius” dan penuh waktu sehingga tabu melakukan tugas akademik.Kenyataannya, dosen yang tugas belajar sekalipun masih juga melakukan tugas akademik.Bisa di kampus home base-nya maupun di kampus luar home base-nya.Singkatnya, studi doktor dapat dilakoni secara sambilan, kegiatan utama tetap mengajar.Jika demikian, bagaimana bisa meneliti dengan baik dan kemudian melakukan publikasi ke jurnal bereputasi?
Mengapa bisa demikian?Antara lain disebabkan oleh semakin banyaknya program doktor di Indonesia sehingga bisa menempuh pendidikan doktor di kota atau wilayah sendiri.Selain itu, penyelenggaraan sebagian program doktor yang membuka kelas di akhir pekan memperkuat “anggapan” studi lanjut secara “sambilan” itu.Bandingkan misalnya dengan penyelenggaraan program doktor sekitar tahun 1990-an dan sebelumnya.Kuliah program doktor dilakukan hampir setiap hari sepanjang minggu, sehingga mahasiswa harus benar-benar meningggalkan tugas akademik di kampusnya.
Untuk lebih memacu, tidak hanya kuantitas tetapi terutama kualitas publikasi ilmiah dosen, diajukan beberapa usulan.Pertama, kembalikan penyelenggaraan semua program doktor seperti kelas reguler di tahun 1990-an yang mewajibkan mahasiswa bermukim di sekitar kampus, kuliah sepanjang minggu, dan belajar di atmosfir ilmiah sepanjang studinya.Kedua, bebas-tugaskan semua dosen yang menempuh studi S3 dengan jaminan pendanaan (beasiswa) yang memadai dari pemerintah.Ketiga, program studi doktorwajib memiliki minimal jurnal nasional terakreditasi.
Keempat, seleksi masuk calon mahasiswa program doktor diperketat dan sesuai dengan peraturan.Apa yang keliru, misalnya, bila studi doktoral tidak bisa diselesaikan dalam 3 sampai 5 tahun, bahkan ada yang 8 sampai 10 tahun.Ada beberapa kemungkinan: mahasiswa salah masuk dalam arti bidang ilmu yang ditempuh tidak sesuai, atau sangat tidak sesuai, dengan bidang ilmu si mahasiswa.Atau, pendaftaran mahasiswa doktoral kurang selektif.Di era tahun 1990-an dan sebelumnya, seorang dosen bergelar Magister harus memiliki IPK minimal 3,50 agar diperkenankan melamar menjadi calon mahasiswa S3.IPK di bawah 3,50 dipertimbangkan bila memiliki prestasi antara lain publikasi ilmiah.
Terakhir, harus dibuat panduan yang berlaku untuk semua, atau kalau sudah ada agar dilakukan secara konsisten mengenai penetapan uang kuliah program doktor.Variasi uang kuliah memang lumrah sebab ada perbedaan biaya operasional antar-PT.Tetapi harus ada aturan umum yang mesti dipedomani bersama.Ada PT menerapkan uang kuliah dibayar penuh selama 3 atau 4 semester, setelahnya berkurang sebab tidak ada lagi tatap muka di kelas.Tetapi masih ada PT yang mengharuskan mahasiswa membayar penuh uang kuliah sepanjang studi.
Kita berharap kebijakan dibuat lebih komprehensif dan diimplementasikan secara konsisten.Daya saing pendidikan tinggi kita ditentukan oleh semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah.Selanjutnya, tugas dosen untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme masing-masing di PT dan program studi.Kita optimis, daya saing pendidikan tinggi kita akan semakin baik.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI