Mohon tunggu...
Jeba
Jeba Mohon Tunggu... -

Warga Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wayang Melawan Dalang?

29 Januari 2015   00:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:11 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak cerita moral yang diutarakan turun temurun melalui cerita pewayangan. Paling populer adalah cerita kolosal Pandawa dan Kurawa. Cerita berlatar belakang intrik politik dan kekuasaan. Pertalian darah tidak menjadi hambatan untuk suatu peperangan. Satu pihak digambarkan sebagai pihak kebenaran dan satu pihak kejahatan. Putih dan Hitam.

Zaman bisa berubah tapi kontelasi intrik dan dinamika lingkaran kekuasaan, kaya dengan 'pengulangan' cerita turun temurun tersebut. Dan lebih seperti biasa, pertikaian kalangan atas mengorbankan emosi dan nyawa jelata. Jelata tidak lebih sebagai objek untuk dimanfaatkan.

Sejak pemilihan presiden secara langsung, Ketua Umum Partai selalu menjadi calon dan menjabat Presiden.        2014 adalah sejarah baru Indonesia dengan mencalonkan pemimpin yang boleh dikata dari kalangan jelata. Itu sebabnya tidak berlebihan jika ada tabloid yang dengan gencar mengambil seting Jokowi mencium tangan Megawati sebagai black campaign. Wajar karena baru kali ini dari kalangan bukan elit mencalonkan diri jadi pemimpin nomor 1 di negeri ini. Bukan pemimpin partai, bukan dari menteri, bukan dari ABRI (TNI). Sebab itu tidak berlebihan jika digolongkan dari kalangan bukan elit.

Secara tradisi, terlalu sulit Jokowi untuk  menang dan sebagian orang menganggap kalaupun menang tidak akan lebih sebagai 'Wayang'-nya Partai (baca Megawati). Tapi sejarah juga menjawab bahwa orang tidak terpengaruh. Bahwa Jokowi tidak mungkin menghianati kepercayaan Jelata yang sejak dari masa kampanye mengidentikkan diri. Bahwa Jokowi adalah rakyat. Jokowi adalah kita. Jokowi mengindentikkan diri dengan jelata membawa emosi pada tahapan baru tentang seorang pemimpin yang memberi harapan sehingga menutup black campaign dan keraguan terhadap kualitasnya. Jokowi juga dianggap sesuai dengan ucapannya bahwa taat pada konstitusi dan kepentingan negara bukan partai. Orang Percaya! Kepercayaan itu dibuktikan dengan kemenangan jumlah suara. O, ya sejak awal...hubungan mesra Jokowi dan KPK adalah nilai tambah bahwa Jokowi  indentik dengan KPK, identik dengan pemberantasan korupsi. Klop, sesuai dengan semangat pemilihnya....inginkan Indonesia bebas korupsi dan kekuatan KPK menjadi lebih greget dimasa pemerintahannya. Begitulah harapan.

Jumlah menteri yang tetap  banyak dan masih kental dengan politik transaksional, menaikkan harga bbm, bahkan memilih Kajagung 'titipan' NASDEM tidak terlalu digubris apalagi gebrakan Kajagung baru juga sejalan dengan semangat  penangkapan koruptor. KIH juga masih terlihat sebagai koalisi yang pantas dipihaki rakyat. Dan dapat menjaga Jokowi pada track menuntaskan janji kampanye Jokowi. Pemilihan calon Kapolri dan penggantian Kabareskrim adalah pembalikan arah jarum jam. Tiba-tiba seperti pesawat yang jatuh dari ketinggian kemudian menghancurkan semua harapan di dalamnya. Jokowi tiba-tiba kehilangan tulang seolah gerakannya menjadi tidak seharusnya lagi tapi dikendalikan remote kepentingan KIH.

Kebijakan-kebijakan sebelumnya orang masih dapat memaklumi bahwa politik itu butuh kompromi. Tapi ketika masalah prinsip seperti seorang tersangka dilantik...wah ini mengubah segalanya. Ingat, Kenapa orang begitu getol mengurus dan mengkritisi Jokowi. Sekarang boleh lihat 'pendukung Prabowo' lebih banyak diam saat ini dibanding pendukung Jokowi yang cerewet dan sangat kecewadan lebih militan melakukan kritikan. Karena Jokowi dari awal mengindentikkan diri dengan jelata yang dibilang tidak jelas oleh seorang menteri yang menurut saya dipilih bukan karena kualitas tapi karena titipan. Jangan salahkan jelata mau urus Jokowi, mau dukung KPK,  karena Jokowi  dan KPK adalah harapan jelata sejak awalnya oleh sebab itu Jokowi mendapatkan 'mujizat'  memenangi pemilihan presiden ke 7.  Proses pencalonan Kapolri masih bergulir menunggu proses hukum, tapi perseteruan dengan KPK saya yakin tidak akan terjadi bila Kabareskrim tidak diganti.

Memang ironi juga dari sebelumnya DPR terbagi dua kubu, tapi masalah calon kapolri yang sudah jadi tersangka, dua kubu DPR tiba-tiba menjadi satu (kecuali Demokrat) menyetujui  dilantik. Entah ini mujizat atau apa tapi sungguh-sungguh semakin menunjukkan bahwa DPR ini tidak mewakili aspirasi rakyat. Bahkan boleh dikatakan tidak ingin Indonesia ada pemberantasan korupsi. Atas nama kepentingan rakyat dan kebenaran mereka diminta berdamai, tapi perseteruan kedua kubu ini tetap  meruncing. Lalu demi seorang yang ditetapkan sebagai tersangka, secara ajaib mereka tiba-tiba bersatu. Orang bodoh bersatu  sudah bahaya, orang jahat bersatu lebih lagi.

DPR mendesak Jokowi untuk melantik, Orang-orang yang menganggap berjasa mendudukkan Jokowi juga mendesak Jokowi melakukan seperti yang diminta DPR sementara rakyat yang tidak ada pemimpinya itu datang sendiri memimpin dirinya memperjuangkan aspirasi meminta perhatian Jokowi. Mungkin yang paling pusing saat ini adalah Jokowi, sarafnya penat dan meradang sehingga terimbas pada sakit gigi dan harus beberapa kali ke Klinik Gigi Balaikota DKI. Pasti sedikit banyak Ahok mengetahui keluh kesah Jokowi. Kasihan Jokowi. Jokowi mungkin berpikir kenapa perang kepentingan ini tidak pernah dialami sewaktu Walikota dan Gubernur....mungkin Ahok menjawab; "karena keputusan Presiden lebih luas dan mengikat bro....Karena mereka (Ketua Partai) tidak punya elektabilitas maka mereka memanfaatkan kepercayaan publik dan angkat elu jadi Presiden....kan bisa terlihat sekarang maksudnya pan......"

Jokowi yang besar dengan budaya Jawa, pasti sangat tahu tentang hormat lebih tua apalagi 'mereka yang berjasa' mengangkat beliau. Tapi Jokowi juga pasti ingat, dalam hal ini bukan hanya mereka yang berjasa. ada puluhan juta orang lain yang juga punya  hak menuntut Jokowi untuk taat pada janjinya. selain tentunya dihadapan Sang Khalik. Jokowi memang serba-salah saat ini. Pusaran orang dekatnya penuh dengan nafsu dan kepentingan ingin segera melihat Jokowi merealisasikan kepentingannya. Belum 100 hari....Jokowi malah direcokin koalisi pendukungnya sendiri. Bukan KMP yang merecoki, justru KIHlah. Jokowi perlu dukungan untuk keluar dari sekedar menjadi tokoh wayang....karena Jokowi adalah 'Wayang Rakyat'. Rakyatlah Dalangnya bukan segelintir oportunis yang sebenarnya tidak punya kekuatan apa-apa dan hanya ingin memanfaatkan apa yang sebenarnya tidak dapat mereka capai. Wayang memang tidak dapat melawan Dalang. Kodrati begitu. Sekarang, Jokowi hanya perlu mengingat bahwa Rakyatlah 'Dalang'nya.  Hanya mengingatkan, Jokowi adalah kita, bukan KIH.

Kejahatan memang dalam lingkaran lebih besar sama dengan jumlah kurawa melawan pandawa. Tapi sejarah selalu mencatat, kejahatan tidak pernah menang. Tapi itu terjadi ketika ada orang yang  berani keluar dan bertindak sebagai pejuang yang mewakili keadilan dan kebaikan.

God Bless Our Country. Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun