KEBIJAKAN REKTOR,
BERPIHAK PADA PENGUASA ATAU MAHASISWA ?
Saya sebagai seorang mahasiswa jurusan ilmu administrasi negara, sudah sepatutnya memperhatikan berbagai peristiwa dan fenomena di masyarakat dari semua aspek yang ada, terutama yang menyangkut dengan politik dan kebijakan. Seperti yang kita ketahui bersama, seorang rektor atau pemimpin universitas adalah salah satu pejabat PTUN, yang mana keputusan atau kebijakannya bisa digugat ke pengadilan. Namun disini saya tidak akan membahas mengenai gugatan ke pengadilan.
Sorotan saya kali ini terlebih kepada keputusan yang dikeluarkan oleh rektor. Kita tahu, bagaimana tugas seorang rektor. layaknya pemerintah yang memiliki tugas untuk melayani masyarakat, maka rektor pun demikian. Ranah nya lebih sempit daripada pemerintah, yakni hanya sebatas pada ruang lingkup kampus.
Fenomena yang masih membekas di hati saya yakni demonstrasi pada 23-24 September lalu  yang mana mahasiswa sebagai penyampai aspirasi masyarakat kepada pemerintah mendapat perlakuan yang bisa saya katakan 'tidak layak' dilakukan oleh oknum pelayan masyarakat. Tak hanya perlakuan fisik yang diberikan, mereka juga mendapat kecaman dari perguruan tinggi tempat mereka menimba ilmu. Bagaimana tidak, para mahasiswa yang terlibat aksi banyak yang mendapat ancaman mulai dari pemanggilan, pemberian surat peringatan (SP), skorsing, hingga ancaman di drop out.
Memang tidak semua perguruan tinggi yang melakukan hal seperti itu, tetapi terhadap perguruan tinggi yang mengambil sikap melarang mahasiswanya untuk berdemo, apa alasan mereka ? bukankah bentuk penyampaian pendapat seperti demonstrasi dijamin oleh konstitusi ?
Larangan demonstrasi ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Tahun 2015, mahasiswa Universitas Putra Indonesia Yayasan Perguruan Tinggi Komputer (UPI-YPTK) nekat menduduki kampus mereka selama 3 jam dengan berbagai tuntutan salah satunya mengenai larangan untuk melakukan aksi atau demonstrasi.
Bahkan di Universitas Negeri Jakarta, tepatnya pada tahun 2016 lalu  sontak mengeluarkan salah satu mahasiswanya yang merupakan ketua BEM UNJ periode 2015-2016 yang melakukan kritikan terhadap keputusan rektor. Sungguh miris bukan ? mahasiswa sebagai penyambung lidah masyarakat justru dikekang untuk menyampaikan pendapat. Menurut saya ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28E ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Sejak awal mula reformasi tahun 1998 terjadi penurunan aktivitas aktivitas politik di kampus-kampus Indonesia. Mengapa ini bisa terjadi ? menurut saya ini terjadi karena adanya usaha dari pemerintah dan pihak kampus baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengekang, mengendalikan kegiatan politik mahasiswanya. Selain itu, keputusan rektor atau suatu kampus melarang dan menghukum mahasiwanya yang terlibat demo karena adanya tekanan dan ancaman dari pihak penguasa terhadap kampus.
Terkait demonstrasi beberapa bulan lalu yakni pada bulan Desember tepatnya tanggal 23-24, Menristekdikti Nasir memberi ancaman terhadap rektor berupa pemberian SP hingga diberhentikan jika kedapatan memberikan izin untuk demonstrasi. Hal ini berdasarkan Peraturan Menristekdikti Nomor 19 Tahun 2019. Dengan adanya peraturan yang dibuat seperti itu, rektor menjadi tidak bisa berkutik.
Bagi rektor yang memang berkoalisi dengan pemerintah, tentu dengan senang hati mengiyakan peraturan tersebut, namun bagi rektor yang tidak setuju dengan peraturan tersebut juga tidak bisa berbuat banyak sebab pemerintah bisa kapan saja memberhentikan para rektor yang dianggap tidak patuh. Dalam peraturan Menristekdikti Nomor 1 tahun 2015 disebutkan bahwa Menristekdikti memiliki 35% hak suara dalam pemilihan rektor PTN dan juga punya kuasa untuk membatalkan pemilihan rektor. Alhasil, bukan hal yang mustahil jika pemerintah bisa membendung kritik dan gerakan mahasiswa dengan cara menekan rektor.
Memang, jika dilihat dari segi payung hukum rektor tidak bisa berbuat banyak dalam membuat kebijakan yang berpihak pada mahasiswa, karena kapan saja bisa ditekan oleh pihak penguasa sesuai kepentingannya. Tetapi, selayakanya seorang rektor yang tugasnya memberikan pelayanan kepada mahasiswa, apakah tidak bisa memperjuangkan aspirasi dan keinginan hati dari anak-anaknya ? Padahal sejatinya kemajuan dan perubahan suatu bangsa itu ada di tangan pemuda.
Pemudalah sebagai pengawas, agent of control terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan penguasa. Pemuda yang menilai apakah kebijakan-kebijakan tersebut sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat atau malah sebaliknya, menguntungkan pihak penguasa dan merugikan masyarakat.