Mohon tunggu...
Syamsul Idul Adha
Syamsul Idul Adha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Profil bersifat sementara

Lahir 11 Juni 1992 di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tradisi Intlektual "Warisan" Agama dalam Konsep Sunni

24 Mei 2017   23:07 Diperbarui: 24 Mei 2017   23:11 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tradisi “Sunni” Ekslusif

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh kalangan Muslim tradisionalis Sunni dalam konteks interaksi sosial relijius, adalah terkait permasalahan dalam menyikapi keberagaman. Pada periode pasca perang Salib (c.a 1290 A.D.), kalangan Muslim tradisionalis, melalui institusi Nizhamiyah yang digawangi oleh ulama-ulama Asya’irah pada periode pertengahan, termasuk di antaranya Al-Safarani dan Al-Juwaini, mengembangkan tafsir teologis dan rumusan ajaran teologi Sunni yang mapan, yang bersifat tertutup dan terbatas baik secara doktrinisasi maupun historis, sebagai suatu bentuk rancangan pemahaman teologis yang baku, yang menolak adanya bentuk-bentuk toleransi keyakinan terhadap golongan atau paham lain yang berbeda dengan doktrin yang mereka susun. Tidak kurang misalnya Al-Juwaini menguraikan ajaran-ajaran tersebut dalam rumusan akidah yang dituangkannya dalam risalah ‘Aqidah Al-Nizhamiyah, salah satu risalah yang merepresentasikan doktrin Sunni yang sangat eksklusif mengelaborasi pemikiran ajaran Mazhab teologi.

Sekalipun demikian, ajaran-ajaran Asya’irah yang cukup rumit tersebut tidak menyentuh langsung kalangan awam di seluruh dunia Islam, terutama sekali dengan mempertimbangkan bahwa penalaran ilmu kalam merupakan salah satu pembahasan yang cukup sedikit diperbahaskan. Namun demikian, dengan usaha salah satu ulama kontemporer Asya’irah Al-Imam Sanusi Al-Magribi pada abad ke-15, ajaran Asya’irah tersebar secara luas di dalam dunia Islam, terutama melalui pengajaran atas teologinya yang relatif cukup sederhana dan praktik. Ajaran Sanusi Al-Magribi yang dituangkan dalam doktrin teologi akidah Sunni Asya’irah tersebut, bukan hanya mengelaborasi keyakinan dan ajaran Asya’irah yang cukup rumit, tetapi juga dijadikan sebagai doktrin teologis yang paling sederhana dan praktis untuk diajarkan kepada seluruh kalangan Muslim. Bahkan sebagian pengikut-pengikut beliau seperti Al-Laqqani, Al-Fudhali dan Nuruddin Al-Raniri, mengkategorikan ajaran Sanusi sebagai keyakinan Sunni bagi kalangan awam.

Tradisi intlektual Sunni tersebut disampaikan oleh para ulama dan para cendikia tersebut, diuraikan kepada kalangan umat Islam sebagai tradisi dan bukan lagi dalam bentuk diskursus (religious discourse), beserta dengan aplikasi praktis hukum-hukum Islam, yang disebut sebagai Mazhab-mazhab tradisional umat Islam Sunni, yang terdiri atas Mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah, tidak lagi semata hanya sebagai produk keilmuan Islam yang dimiliki kalangan intlektual. Sekalipun demikian kodifikasi atas ajaran-ajaran tradisional Sunni tersebut yang terkesan ekslusif, menjadikan umat Islam tertutup terhadap konsep keberagaman (pluralism) dan perbedaan konsep dalam permasalahan teologis dan praktik-praktik hukum Islam. Tentunya hal ini bukan hanya menimbulkan sikap jumud (kaku), tetapi juga mengakibatkan umat Islam dan kalangan ulama tertutup untuk terlibat dalam diskursus yang terkait dengan konteks keberagaman.

Hal ini memicu bukan hanya tertutupnya pintu ijtihad terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat Islam kontemporer tetapi juga menyebabkan sikap ta’shub (fanatisme) dan permusuhan terhadap perbedaan keyakinan dan pendapat bukan hanya di kalangan umat Islam semata tetapi juga terhadap interaksi relijius dengan kalangan umat beragama lainnya yang beranekaragam. Sekalipun, sebagian dari kalangan teolog Muslim seperti Abu Fahd Al-Syahrastani dan Al-Biruni, terdapat kesan yang lebih moderat terhadap doktrin keberagaman, tetapi banyak karya keagmaan lainnya yang dikembangkan di kalangan Sunni Asya’irah mempertahankan praktik anti-keberagaman dan menolak tradisi diskursus keagamaan tersebut.

Sikap anti terhadap keberagaman tersebut berimplikasi pada tertutupnya sikap toleran kalangan Muslim Sunni terhadap entitas keberagaman. Sikap ini dijadikan sebagai “doktrin” keagamaan yang disampaikan kepada kalangan awam tanpa disertai keberatan dan koreksi sama sekali. Tidak mengherankan bahwa Asya’irah sebagai representasi teologi Islam diterima tanpa keberatan sama seklai di kalangan umat Islam pada umumnya. Sekalipun demikian menurut pendapat Motgomerry Watt dan Smith, proses doktrinisasi yang tertutup tersebut menjadikan tradisi kalam Islam bukan hanya menjadi ekslusif, akan tetapi lebih dari itu menjadi anti terhadap diversitas keberagaman dan perbedaan.

Konflik “Entitas” Keberagaman

Tentunya sikap teologi eksklusif Sunni Asya’irah tersebut dalam satu jal bertujuan untuk menjaga puritanitas ajaran-ajaran akidah yang dianut Islam menurut pemahaman Asya’irah itu sendiri. Sekalipun demikian, permasalahan yang lebih rumit, kalangan Muslim Sunni Asya’irah menghadapi realitas keberagaman keyakinan dan juga kontradiksi antara cita-cita Islam yang kaffah dengan keberagaman dalam interaksi dengan pihak lain yang berbeda dari segi keagamaan dan kepercayaan. Tentang hal ini Haedar Nasir menyebutkan,

Lebih jauh lagi, kedua kelompok Islam syariat tersebut memiliki kesamaan dalam menyikapi ideologi-ideologi dan paham-paham lain yang sering disebutnya sebagai Barat dengan ideologi sekuler, liberal dan demokrasi sebagai ideologi kufur atau ideologi yang bertentangan dengan ideologi atau sistem Islam, sehingga dapat dikatakan sebagai anti-Barat.

Sikap Muslim Sunni baik dari kalangan tradisionalis Asya’irah dan juga Wahhabiyah, yang menolak isme-isme dan perbedaan keagamaan, sehingga memaksakan implementasi Islam secara normatif dengan kaffah dapat dilihat dalam klaim salah satu tokoh Wahhabiyah kontemporer yang bernama Muhamamad Nasib Al-Rifa’i berikut,

Saya berpendapat bahwa memang demikianlah keadaan umat Islam sebagaimana dituturkan oleh pengarang dan mufasir rahimahullah. Hal itu terjadi pada periode permulaan Islam, tatkala umat Islam berhukum kepada apa yang diturunkan Allah. Namun, setelah masa berlalu mereka mengurangi penerapan perintah Allah sehingga Allah pun mengurangi karisma dan otoritas mereka selaras dengan kadar pengurangan penerapan oerintah tersebut. Hal itu terus berlangsung hingga masa kita sekarang, abad XIV H., bahkan hingga terpecah belahnya umat Islam ke dalam beberapa negara. Kebanyakan negera itu, bahkan semuanyam dikontrol secara yuridis oleh kaum kafir baik secara langsung maupun tidak langsung, (…) Karena tugas seorang Muslim ialah menegakkan hukum Allah terhadap diri dan masyarakatnya, bahkan terhadap umat Islam di seluruh dunia, agar dia dapat merealisasikan pesan yang diperintahkan Allah untuk disebarkan di dunia dengan tujuan hukum-Nya menjadi tegak di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun