Masa kecil saya lekat dengan pasar rakyat. Bukan saja karena tempat tinggal yang hanya beberapa puluh meter dari pasar, namun juga sayasering diajak ke pasar oleh ibu, bapak, tante atau nenek. Ya, rumah yang saya tinggali di tahun 1980-an itu terletak di belakang stasiun kecil Jagalan, dimana tak jauh dari Pasar Comboran atau Pasar Besar. Apalagi ketika Pasar Besar terbakar, munculah pasar dadakan sepanjang jalan Kyai Tamin dan Sutan Syahrir, sebagai tempat berjualan sementara. Saya juga masih ingat beberapa pedagang yang selalu menjadi langganan Bapak atau Ibu. Bapak penjual bakso mentah yang sigap, Ibu penjual daging sapi dengan logat Madura-nya yang kental, Mas penjual sawi dan sayuran yang kemayu, hingga Tacik penjual kain yang cerewet. Tentu saja, lebih banyak pengalaman menyenangkannya, menebus kelelahan karena harus berjalan kesana-kemari. Salah satunya adalah melihat berbagai benda yang tidak pernah atau jarang dijumpai. Mulai dari ayam cemani, bentul,1juwet2hingga makanan kesukaan saya, gethuk lindri.3 Apalagi saya juga mendengar dan belajar banyak dari percakapan-percakapan yang tercetus. Dari sekedar bertegur-sapa, sampai tawar-menawar. Asyik.
Namun, setiap kunjungan ke pasar rakyat juga menyisakan beberapa keping keprihatinan. Pasar yang becek, bau, pengap, kotor dan gelap adalah salah satunya. Selain itu, situasi juga semrawut, berdesakan dan jalan-jalan di sekitar pasar macet. Kadang-kadang terdengar pula peristiwa pencopetan atau gendam,4 yang membuat pengunjung dan penjual meningkatkan kewaspadaannya. Di sisi yang lain, pusat-pusat perbelanjaan modern mulai muncul dan bertumbuh. Belakangan, toko-toko eceran waralaba menjamur. Kondisi ini semakin memojokkan pasar rakyat dan pedagang-pedagangnya.
Permasalahan inilah yang menjadi topik yang hangat beberapa tahun terakhir ini, tidak hanya di kota Malang tetapi juga seluruh Indonesia. Pemerintah, lembaga akademik dan pihak swasta berusaha menguraikan dan memberi solusi untuk problem ini. Misalnya, pemerintah pusat telah memberlakukan UU nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan yang diikuti dengan Peraturan Mentri Perdagangan nomor 56 tahun 2014, dengan salah satu tujuan utamanya adalah memberikan perlindungan kepada pasar rakyat, walau ada pula yang mengkritik dampak negatifnya terhadap pasar rakyat. Hingga saat ini, perbincangan dan perdebatan tentang pasar rakyat di tengah pertumbuhan pusat perbelanjaan modern masih terus belangsung, dan tak pelak menciptakan ketegangan atau bahkan konflik yang berkepanjangan. Berdasar atas situasi ini, tulisan ini mencoba untuk menawarkan kemungkinan solusi, khususnya dengan mengambil contoh Kotamadya Malang. Lebih lanjut, tulisan ini berusaha membedah potensi dan peluang pasar rakyat di kota Malang.
[caption id="attachment_384487" align="aligncenter" width="600" caption="Di sebuah sudut di Pasar Besar Malang. "][/caption]
---
Pasar rakyat atau pasar tradisional di kota Malang tersebar di beberapa lokasi yang berbeda, dengan total jumlah sekitar 33 yang dikelola oleh Dinas Pasar Kota Malang (data 2012). Jenisnya juga bermacam-macam, yang dapat dikualifikasikan berdasar produk yang dijual (buah, bunga, hewan, barang bekas, dll.) ataupun waktu berjualan (pagi atau malam). Luas lokasi, kualitas infrastruktur dan fasilitas hingga animo pengunjung pun bervariasi. Tantangan yang dihadapi oleh setiap pasar-pasar rakyat tersebut dapat berbeda-beda pula. Akan tetapi, ada juga hal-hal umum seperti kebersihan, ketertiban, keamanan, kelengkapan dan pelayanan, yang tetap dapat menjadi titik perbaikan. Berdasar hal-hal ini dan potensi yang dimiliki kota Malang, maka ada beberapa potensi untuk segera dikenali dan peluang untuk segera ditangkap dan dieksekusi. Diantaranya adalah:
1.Pengelolaan Sampah dan Limbah Pasar Rakyat
Pengelolaan sampah di kota Malang berkembang dengan pesat selama beberapa tahun terakhir. Salah satu pihak yang berkontribusi besar adalah Bank Sampah Malang (BSM). Bank yang mulai berdiri sejak tahun 2011 ini, telah mendapat berbagai pengakuan nasional bahkan internasional. Menteri Lingkungan Hidup Prof. Dr. Baltazar Kambuaya mengunjungi secara langsung dan meresmikan salah satu unit BSM pada tahun 2012. Walikota Malang juga mendapat kesempatan mengikuti pertemuan Temasek Foundation Leaders In Urban Governance Programme di Singapura, Mei 2014 berkat pengelolaan sampah berbasis masyarakat melalui BSM. Tetapi, yang paling besar adalah pengakuan masyarakat kota Malang sendiri. Hal ini terbukti dengan terus meningkatnya partisipasi masyarakat. Data bulan November 2013 menunjukkan ada 303 Unit BSM Masyarakat, 174 Unit BSM Sekolah, 24 Instansi, 524 Individu, 14 Unit Pengepul/Lapak yang terlibat untuk kurang lebih 5 ton sampah atau bernilai transaksi 5 juta rupiah setiap harinya. Kedua, klinik asuransi sampah yang dirintis oleh Dokter Gamal Albinsaid adalah potensi lain yang tak kalah luar biasa. Klinik asuransi sampah ini yang juga mendapat pengakuan nasional dan internasional, seperti Penghargaan Kehidupan Berkelanjutan Wirausaha Muda dari Kerajaan Inggris ini, berkembang cukup baik. Apabila kedua potensi ini diintegrasikan dengan pengelolaan sampah di pasar rakyat, tentu akan sangat bermanfaat. Dampak positif tak hanya dirasakan dalam menjaga kebersihan pasar rakyat dan melestarikan lingkungan di kota Malang, tetapi juga membantu kesejahteraan pengusaha kecil dan menengah dan lebih memberdayakan mereka secara ekonomi dan sosial.
[caption id="attachment_384492" align="aligncenter" width="433" caption="Menteri KLH melihat-lihat produk daur ulang Bank Sampah Malang pada kunjungan tahun 2012."]
2.Penguatan Kota Pariwisata dengan Industri Kreatif
Kota Malang yang lama dikenal sebagai kota pariwisata, juga memiliki potensi industri kreatif yang cukup besar. Kekayaan budaya yang sejak lama menjadi ciri khas kota Malang, seperti Topeng Malang, Wayang Orang Ang Hin Hoo atau bangunan arsitektur lama (candi-candi yang ada di sekitar Malang ataupun bangunan yang lebih baru, Ijen Boulevard, Masjid Jami, Klenteng Eng An Kiong, Gereja Protestan Indonesia Barat Immanuel, dll.) dapat menjadi sumber inspirasi yang tak ada habisnya. Berbagai ikon dan komunitas seni dan budaya kontemporer juga bermunculan, termasuk sentra industri kripik tempe dan buah di bidang tata boga. Produk daur ulang dari BSM dan unit-unitnya sendiri juga merupakan hasil industri kreatif. Hasil lainnya adalah sentra industri keramik dan pakaian dan mode. Yang tak kalah menariknya, festival Malang Tempo Doeloe (MTD) yang digagas oleh Yayasan Inggil dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang, adalah kegiatan tahunan yang selalu dinantikan ribuan orang dari dalam dan luar kota Malang. Festival ini sendiri banyak mengusung elemen pasar rakyat, dimana wirausahawan kecil dan menengah mendapat kesempatan memasarkan produk-produk yang bermuatan budaya lokal.5 Apabila disinergikan dengan keberadaan pasar rakyat yang ada, potensi industri kreatif ini dapat menyumbangkan perubahan positif yang besar. Pemerintah, swasta maupun pedagang-pedagang pasar rakyat dapat memasukan ide-ide kreatifnya untuk lebih menghidupkan pasar rakyat. Salah satu contoh kecilnya adalah mendirikan pasar seni dan budaya, pasar anak muda ataupun menjalin kerjasama produksi dan penjualan hasil karya cipta daur ulang dari Bank Sampah.
[caption id="attachment_384488" align="aligncenter" width="683" caption="Pasar Minggu Pagi kota Malang atau sering pula disebut Wisata Belanja Tugu, menjual beraneka-ragam produk industri kreatif."]
3.Kerjasama dengan Lembaga Akademik di Kota Pendidikan
Kota Malang juga dikenal sebagai kota pendidikan. Julukan ini disematkan karena kota Malang memiliki banyak lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, yang berkualitas, dari tingkat pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. Beberapa institusi pendidikan tinggi diantaranya adalah Universitas Brawijaya, Politeknik Negeri Malang, Universitas Negeri Malang, Universitas Islam Negeri, Universitas Muhammadiyah, dan Universitas Ma Chung. Selain itu, Malang dianggap sebagai tempat yang ideal untuk belajar, baik dari biaya pendidikan dan biaya hidup yang terjangkau maupun kenyamanan cuaca dan dukungan fasilitas umumnya. Oleh karena itu, banyak mahasiswa dan pelajar yang berasal dari luar kota Malang. Total jumlah mahasiswa ada sekitar 200 ribu dan jumlah pelajar 162 ribu (data 2009). Karakteristik unik ini sebaiknya dipahami dan dimanfaatkan betul untuk pengembangan pasar tradisional. Misalnya, penyediaan jasa ataupun produksi barang yang berkaitan dengan pendidikan, dapat menjadi peluang yang menjanjikan. Selain dari sisi pemasaran, yang tak kalah pentingnya adalah menggiatkan kolaborasi antara pihak akademis dan pemangku kepentingan pasar rakyat. Sumber daya untuk mengembangkan kapasitas pedagang kecil dan menengah pasar rakyat, cukup melimpah, terutama dengan beberapa perguruan tinggi yang telah memiliki kepakaran dan pusat studi kewirausahaan.6 Penelitian-penelitian yang dilakukan institusi pendidikan tinggi juga dapat membantu para pengambil kebijakan, khususnya pemerintah, untuk mencari solusi yang terbaik maupun inovasi yang segar dan menerobos untuk pasar rakyat.