Malang - Kabupaten Malang memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai, salah satunya adalah Lerok Srudinan, sebuah bentuk kesenian tradisional teater arena yang telah mengakar sejak tahun 1930-an. Kesenian unik ini tidak hanya menghibur, tetapi juga sarat dengan muatan pesan moral yang disampaikan melalui kidungan dan dialog yang jenaka.
Perjalanan dari Jombang ke MalangÂ
Lerok Srudinan memiliki akar sejarah yang panjang. Kesenian ini berawal dari tradisi lerok ngamen yang dilakukan oleh Pak Santik, Pak Amir, dan Pak Pono dari Jombang. Seiring waktu, kesenian ini menyebar ke berbagai daerah di Jawa Timur, termasuk Mojokerto, Surabaya, Pasuruan, Jember, Lumajang, hingga akhirnya berkembang pesat di Kabupaten Malang. Di Malang, Lerok Srudinan telah tersebar hampir di setiap kecamatan, mulai dari Sumber Pucung, Kepanjen, Tumpang, Singosari, Dampit, Bantur, Gondanglegi, Kalipare, hingga Pagelaran. Penyebaran yang luas ini menunjukkan betapa diterimanya kesenian ini oleh masyarakat setempat.
Mbah Semo: Tokoh Legendaris Lerok SrudinanÂ
Tidak bisa dipisahkan dari sejarah Lerok Srudinan adalah sosok Mbah Semo (Yasemo), seorang seniman terkenal dari Desa Pagelaran yang menjadi tokoh paling berpengaruh dalam perkembangan kesenian ini. Mbah Semo dikenal sebagai maestro yang mampu memadukan unsur hiburan dan pendidikan dalam setiap pertunjukannya. Dokumentasi lengkap mengenai kesenian ini telah disampaikan oleh Cak Sukirno, seorang seniman ludruk Malang, dalam makalahnya yang dipresentasikan pada Serasehan Lerok Srudinan yang digelar pada Minggu Kliwon, 22 Juni 2025.Â
Keunikan Teater Arena yang KomunikatifÂ
Berbeda dengan pertunjukan teater konvensional yang menggunakan panggung proscenium, Lerok Srudinan menggunakan format teater arena yang digelar di halaman rumah warga. Format ini membuat pertunjukan menjadi sangat komunikatif, di mana pemain dapat berinteraksi langsung dengan penonton. Struktur pertunjukan Lerok Srudinan terdiri dari tiga bagian utama. Pertama adalah Tari Beskalan Lanang yang ditarikan oleh laki-laki, dilanjutkan dengan Brajakan yang merupakan semacam atraksi tari mirip dengan ludruk modern, dan diakhiri dengan Tari Beskalan Putri Malangan yang dibawakan oleh pawestren dengan kidungan Jula Juli yang khas.