Ketika negara menuntut pengabdian, sejatinya ia juga dituntut untuk melindungi martabat pengabdiannya. Dalam perspektif konstitusional, Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menjamin bahwa setiap warga negara berhak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Maka, kebijakan kepegawaian pun seharusnya mencerminkan prinsip keadilan administratif yang melindungi hak dan potensi pegawai.
Inilah dilema yang muncul dari PermenPAN-RB No. 6 Tahun 2024, yang mewajibkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengabdi minimal 10 tahun sebelum dapat mengajukan mutasi. Aturan ini, walau bertujuan menjaga stabilitas birokrasi, telah menyulut gelombang kekecewaan dari ribuan abdi negara.
Menurut data Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah PNS aktif di Indonesia pada 2024 mencapai 3,57 juta orang. Dari jumlah tersebut, lebih dari 63% merupakan kelompok usia produktif di bawah 45 tahun, dengan penyebaran signifikan di wilayah luar Jawa. Di balik angka ini, tersembunyi kisah-kisah personal yang menggambarkan beban psikologis dan sosial akibat keterbatasan mobilitas. Rina, seorang guru yang ditempatkan di Kalimantan Utara, mengaku telah enam tahun mengabdi jauh dari keluarganya. "Saat pengajuan mutasi saya ditolak karena belum 10 tahun, saya merasa dihukum karena mencintai anak saya," ujarnya dengan mata berkaca.
Kebijakan ini pun dikritik karena bersifat diskriminatif. Forum PNS RI menilai aturan tersebut tidak berlaku bagi PNS sebelum 2018, menciptakan ketimpangan di antara sesama ASN. Wakil Ketua Forum, Alfian Fahruddin, menegaskan bahwa sistem informasi ASN (SIASN) bahkan dikunci otomatis bagi yang belum memenuhi syarat 10 tahun, sekalipun telah mendapat persetujuan dari pejabat terkait.
Menteri PAN-RB Abdullah Azwar Anas sendiri menyatakan bahwa, "Kebijakan ini bukan untuk menghambat, tetapi menjamin agar pelayanan publik tidak bolong di daerah." Namun pernyataan ini tak sepenuhnya meredakan keresahan. Karena kenyataannya, loyalitas tidak seharusnya diukur semata dari lamanya pengabdian di tempat yang sama, melainkan dari komitmen, kinerja, dan semangat pelayanan yang konsisten.
Dari perspektif global, banyak negara telah beranjak ke sistem yang lebih adaptif. OECD (2021) mencatat bahwa di Belanda dan Australia, ASN dapat berpindah instansi setelah 3--5 tahun, didukung dengan program pelatihan lintas peran dan mobilitas fungsional. Sementara itu, di Singapura dan Filipina, mobilitas antarunit didorong melalui insentif karier dan kompetisi terbuka, tanpa mengorbankan prinsip stabilitas pelayanan publik. Hal ini justru meningkatkan produktivitas dan retensi pegawai, tanpa mengorbankan semangat pengabdian.
Di Indonesia, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) juga mengalami pembatasan mutasi selama lima tahun. Di Kabupaten Musi Banyuasin, misalnya, larangan mutasi ini diterapkan ketat. Situasi ini menunjukkan bahwa isu mobilitas ASN bukan hanya soal teknis administratif, tetapi menyangkut prinsip keadilan dan hak dasar manusia.
Pemerintah perlu mengevaluasi kembali aturan ini dengan pendekatan yang lebih humanistik dan berbasis data. Revisi kebijakan dapat mempertimbangkan model hibrida, seperti mutasi bersyarat setelah lima tahun dengan indikator kinerja dan kesiapan pengganti, atau penugasan temporer selama enam bulan untuk mendekatkan pegawai dengan keluarga tanpa kehilangan jabatan.
Karena pada akhirnya, kita tidak sedang membicarakan sekadar perpindahan jabatan. Kita sedang membicarakan hak mobilitas pegawai. Kita sedang membicarakan keadilan administratif. Dan yang paling penting, kita sedang membicarakan harapan. Harapan seorang anak untuk bertemu ayahnya. Harapan seorang istri untuk merawat suaminya yang sakit. Harapan seorang guru untuk kembali ke kampung halamannya. Biarkan birokrasi menjadi jalan pengabdian, bukan pengorbanan tanpa pilihan.
 Mari kita bangun sistem kepegawaian yang adil, adaptif, dan berwelas asih. Suarakan aspirasi Anda di forum publik, media sosial, atau jalur resmi ke kementerian terkait. Setiap suara Anda adalah bahan bakar perubahan menuju birokrasi yang lebih manusiawi dan bermartabat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI