Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Buya Hamka dan Kelapangan Jiwa

22 April 2018   14:05 Diperbarui: 22 April 2018   14:19 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: sangpencerah.id

Siapa yang tidak mengenal sosok Hamka? Sosok kharismatik dengan berbagai kisah perjalanan hidup penuh hikmah yang tak akan lekang tergerus ruang dan waktu. Sosok Abdul Malik, yang pada kemudian hari lebih akrab dikenal dengan sebutan HAMKA yang tidak lain merupakan singkatan dari namanya sendiri yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah merupakan anak dari seorang Ulama tersohor tanah minang yaitu Haji Abdul Karim Amrullah, atau dikenal juga dengan sebutan Haji Rasul.

Sosok Hamka adalah sosok yang hingga kini tak tergantikan di dalam hati setiap orang yang mengenalnya, baik mengenal beliau secara langsung yaitu dengan menyaksikan perjalanan hidup beliau, ataupun mengenal beliau melalui literatur-literatur yang membahas khusus tentang beliau. Sosok kelahiran maninjau 1908 ini selain merupakan seorang Ulama, beliau juga adalah seorang pahlawan nasional. Gelar pahlawan memang pantas disematkan kepada beliau setelah perjuangannya bersama dengan masyarakat Sumatera Barat mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia setelah ditinggalkan oleh Jepang.

Dengan segala getirnya perjalanan hidup yang beliau hadapi, dan segala pencapaian hidup yang beliau raih Sosok Hamka tetaplah sosok yang senantiasa sederhana, dan bersahaja dengan nilai-nilai sufistik yang beliau amalkan sepanjang hidupnya. Hamka yang di kemudian hari juga akrab dipanggil dengan sebutan Buya Hamka pasca kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada era pemerintahan Orde lama dan orde baru memiliki peran yang cukup strategis baik dalam kapasitas beliau sebagai seorang ulama, ataupun sebagai seorang tokoh masyarakat yang disegani di dalam maupun luar negeri.

Buya Hamka pada intinya adalah sosok ulama hanif yang tidak ada kompromi dalam urusan aqidah, sekaligus juga merupakan sosok negarawan yang jiwa nasionalismenya tidak perlu lagi dipertanyakan, walaupun pada beberapa kesempatan beliau sempat di dera fitnah keji yang tuduhannya tidak main-main, Buya Hamka dituduh sebagai pengkhianat bangsa, dan berbagai macam tuduhan-tuduhan tak berdasar lainnya.

Buya Hamka, dalam menghadapi segala fitnahan dan tuduhan-tuduhan tersebut tidak pernah menunjukkan reaksi yang berlebih, apalagi membalas dengan fitnahan serupa kepada oknum-oknum yang memfitnah beliau, bahkan beliau seolah membiarkan dan menghadapinya dengan kepala tegak. Bahkan beliau Buya Hamka pada era Soekarno pernah dipenjara kurang lebih selama 2 tahun, 4 bulan terhitung dari tahun 1964-1966, dengan tuduhan beliau akan melakukan makar pada pemerintahan Soekarno, walaupun sampai beliau dibebaskan tidak ada pengadilan, dan tuduhan tersebut tidak terbukti. 

Tapi apa yang dilakukan Buya Hamka setelah bebas?, menuntut kembali rezim Soekarno yang memenjarakan beliau tanpa pengadilan itu?. Tidak, bahkan Buya Hamka setelah dibebaskan tidak pernah lagi membahas hal itu sampai beliau menghadap kepada sang Khalik. Bahkan dahsyatnya jiwa seorang Buya Hamka, beliau pun dengan ridha untuk mengimami shalat jenazah ketika Soekarno wafat beberapa tahun setelah beliau bebas. Padahal belum hilang dari ingatan bahwa sebelumnya dialah aktor utama dibalik pemenjaraan Buya.

Pada kisah yang lain, Buya Hamka juga adalah juga seorang politisi dari partai Masyumi, yang partai ini kemudian dibubarkan oleh Soekarno dengan berbagai pertimbangan, dan keputusan sepihak. Layaknya orang yang berkecimpung di dunia politik pada umumnya, maka akan ditemukan kalangan yang pro dan kontra atas prinsip-prinsip yang kita bela. Maka itu juga yang terjadi pada karir Buya Hamka, beliau adalah politisi dari partai Masyumi yang mewakili suara umat Islam di dalam konstituante. Salah satu lawan politik Buya Hamka yang sangat getol adalah Moh. Yamin dari kalangan nasionalis, beliau adalah sosok oposisi atas berbagai pendapat dan usul yang dibawa Buya Hamka melalui Partai Masyumi di Konstituante.

Tapi ternyata lawan-lawanan keduanya hanya terjadi karena perbedaan pandangan politik semata. Kenapa demikian? Ternyata seketika sebelum wafatnya Moh. Yamin, beliau meminta untuk dipanggilkan Buya Hamka untuk sekedar berwasiat kepada beliau. Wasiat yang disampaikan Moh. Yamin kepada Buya adalah supaya Buya ridha untuk mengantarkan jenazahnya ke Talawi, kampung halaman dari Moh. Yamin. Beliau meminta jenazahnya diantarkan langsung oleh Buya Hamka karena beliau khawatir jenazahnya tidak lagi diterima oleh masyarakat Talawi. 

Karena itu adalah wasiat terakhir dari seorang Moh. Yamin kepada Buya Hamka, tanpa ada berat hati Buya kemudian ikut menjadi penghantar jenazah Moh. Yamin untuk dimakamkan di Talawi, kampung halaman Moh. Yamin. Maka sekali lagi kita melihat bagaimana kelapangan jiwa dan pemaafnya seorang Buya Hamka bahkan kepada orang-orang yang bahkan cenderung berlawanan dengannya.

 Lalu ada juga kisah menarik, sekaligus dahsyat dari pribadi seorang Buya Hamka, yaitu ketika beliau menerima kedatangan seorang perempuan muda yang tidak lain adalah anak dari seorang Pramoedya Ananta Toer atau yang akrab kita kenal sebagai Pram, datang bersama dengan calon suaminya yang non-muslim dengan tujuan untuk belajar ilmu agama atas perintah ayahnya sendiri.

Sebagaimana yang kita ketahui Pram adalah seorang seniman berhaluan kiri yang dulu pada masa PKI merupakan pimpinan dari Lembaga Kesenian Rakyat atau LEKRA. Pada masa intim-intimnya PKI dengan pemerintahan Soekarno, Soekarno memperkenalkan sebuah alternatif ideologi yang menurutnya dapat mengakomodasi ideologi golongan-golongan yang ada pada saat itu. Ideologi yang dimaksud tidak lain merupakan gabungan dari tiga ideologi sekaligus yaitu Nasionalis, Agama, dan Komunis. Langkah yang diambil oleh Soekarno ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, dalam hal ini utamanya Buya Hamka tidak tinggal diam,karena menurutnya ini adalah jalan yang seharusnya tidak diambil oleh Presiden Soekarno, karena tentunya menurut Buya Hamka ini akan membahayakan kemurnian aqidah umat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun