Mohon tunggu...
Jati lanang
Jati lanang Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang selalu suka dengan tantangan

Masih diatas bumi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Harapan Baru

23 Desember 2021   09:35 Diperbarui: 23 Desember 2021   12:00 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Photo : ngopibareng.id)

    

NU dan Harapan Baru

Sebagai momentum Lima tahunan dan manifestasi berdemokrasi maka muktamar memiliki magnet tersendiri untuk selalu menarik di bahas. Acara ini mampu menyedot perhatian banyak pihak baik dari masyarakat luas sampai para akdemisi dan inteketual. Minimal sebatas ingin  tahu siapa kandidat yang akan bertarung pada muktamar kali ini. Lebih-lebih pada tahun 2026 NU nanti akan memasuki memasuki fase baru yang dikenal dengan istilah kebangkitan kedua, satu abad NU.

Menyonsong mementum tersebut NU membutuhkan seorang Nakhoda yang kuat untuk menyambut fase tersebut. Harus di ingat, NU adalah organisasi besar maka sudah sepantasnya memiliki pemimpin dengan kapasitas besar juga. Ketua baru haruslah seorang organisatoris ulung, visioner, mampu mensinergikan semua elemen yang organisasi, cakap berkomunikasi dengan semua kalangan, memiliki jejaring internasional. Mampu menggerakkan struktur organisasi pusat sampai anak ranting dalam satu irama garis kebijakan organisasi. Singkatnya organisaisi dikelola secara manajerial agar menghasilkan sebuah gerakan yang terstruktur, sistematis, dan masif, bukan hanya kumpul semata.

Lebih-lebih di era kebangkitan kedua ini tentu saja warga nahdyin memiliki ekspektasi tinggi agar posisi NU dalam kelembagaan dan kemaslahatan ummat semakin kokoh. Pendirian berbagai jenis layanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, dan semacamnya harus lebih di masifkan lagi dan menjadi salah satu prioritas utama.

Sejauh yang saya lihat, sejak ditinggalkan Gusdur NU seperti kehilangan semangat, kehilangan karakter. Organisasi ini begitu kikuk dalam arus situasi modern yang begitu cepat. Gagap dalam bersikap, walhasil NU tidak lagi mampu menjadi magnet dalam dalam perjuangan kemaslahatan ummat. Kyai Said seperti kebingungan dalam menghadapi gemerlap dunia modern, gamang membaca situasi politik kebangsaan di tengah trend menguatnya politik identitas.

Tak bisa di pungkiri sampai saat ini, tidak ada kader NU yang memiliki kemampuan intelektualitas, jejaring dan pesona ketokohan yang se- kuat seperti Gusdur. Beliau adalah seorang pemimpin dengan kapasitas besar. Satu diantara sekian banyak keberhasilan Gusdur adalah ketika beliau mampu membawa NU di kenal dunia. Di kancah nasional NU hadir dengan gagasan-gagasan yang lebih universal lagi: HAM, demokrasi, Pluralisme dsb. Pada titik ini NU tidak lagi berbicara kepentingan warga nahdyin semata tetapi kepentingan semua ummat. Maka wajar saja bila NU mampu hadir sebagai magnet baru dalam memperjuangkan kemaslahatan ummat. Gusdur telah membawa NU menjadi salah satu bagian dari Civil Society saat itu.

Pada konteks politik kebangsaan, dengan sedikit rasa keterpaksaan saya harus menyebut peran  NU mulai bergeser. tidak lagi murni memerankan dirinya sebagai penyangga sistem kenegaraaan. NU justru menjebak dirinya dalam pragmatisme yang serba politis sehingga NU terjerumus ke pola perebutan keuntungan politik yang bersifat sementara kalkulasinya hanya untung dan rugi. NU tidak lagi berperan sebagai mediator yang menjembatani dua pihak yang betentangan. Para elit NU lebih suka memposisikan NU sebagai kutub yang bertentangan dengan rasionalisai dalih kebangsaan. Alih alih-alih meraih simpati tapi justru menuai antipati.  

Akhirnya bila muktamar ini sebagai tempat untuk menaruh harapan baru untuk cita-cita mulia umat dimasa yang akan datang, maka sudah saatnya NU harus berbenah dan melakukan re-generasi. Dari dua nama kandidat yang muncul saat ini yaitu antara Kyai Said dan Gus Yahya. Antara Petahana ataupun Gus Yahya telah sama kita  tahu rekam jejak seperti apa. Yang satu memimpin NU dua periode yang satu adalah Mantan Jubir Presiden Abdurrahman Wahid.

Menjadi ketua NU (tanfidz) juga tidak-lah mesti kyai dengan kapasitas ilmu agama yang sangat mumpuni sebab saya kira itu lebih kearah ranah dewan suriah. Tanfidziyah lebih tepat diisi orang-orang visioner, memiliki jejaring luas, cakap dalam berkomunikasi dan organisatoris ulung. Singkatnya piawai sebagai nakhoda mengendarai kapal besar bernama NU.

Selamat ber-muktamar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun