Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menikah

18 Februari 2015   21:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:56 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

(gambar: imagesbuddy) --- “Tangannya halus dan lembut. Kukunya cantik dihiasi kuning kemerahan dari henna Arab,” katanya. “Darimana tahu?” aku bertanya penuh rasa ingin tahu. “Uh, itu, kami tak sengaja bersentuhan tangan di ruang fotokopi. Berkas-berkas miliknya jatuh berhamburan. Aku menolong memungutnya sebagian. Di saat itulah…,” dan ia tak mampu menutupi rona tersipu di pipi putih bersurai halus, rona yang biasa menyemburat bila cinta tengah menggejala pada diri seorang anak manusia. “Aihh, seperti adegan di drama Korea saja,” celetukku mulai tak biasa. Diam-diam kuraba telapak tanganku, iih, kasar, pecah-pecah sedang disela jari masih membekas koreng mengering karena kutu air dan kepala udang. Lalu kukuku? Kuning kemerahan juga, tapi bukan jejak henna melainkan rempah kunyit dari opor dan nasi kuning favorit anak-anak. Hmm, kerusakan ini semua adalah hasil perbuatan udang, perabot pecah belah dan air sumur pompa yang tanahnya konon dulunya bekas sawah, biar sudah dipasang filter air pun masih ada residu endapannya. Oh, tak kupercaya, benarkah aku tengah menyalahkan piring, gelas, panci, wajan, udang dan air karunia Tuhan? “Norak ya, Mah? Tapi itulah yang sesungguhnya terjadi. Dan bau parfumnya, aah.. mungkin bukan parfum, tapi entahlah, pokoknya yang terhidu olehku hanyalah bau harum seperti orang habis mandi, harum penuh kesegaran,” paparnya dengan suara ceria yang bisa dipastikan karena terbawa perasaan. Seketika akupun teringat, pagi ini tak sempat mandi karena bayi tigabelas bulanku – yang tengah masanya bersenang-senang dengan pengalaman belajar berjalan – sepagian tak mau lepas dari gendongan padahal biasanya kaki mungilnya itu, walau masih goyah tapi sudah hilir mudik melemaskan otot-otot mudanya. Lagi, diam-diam kuendus ketiakku. Auuhh, bau asemnya sama persis dengan bau pup bayiku. “Dia berhijabkah?” tanyaku diantara pikiran yng mulai berkecamuk. “Tentulah. Bukankah seorang muslimah akan berkurang kecantikkannya bila tak berhijab. Dan masha Allah, sosoknya begitu blink, mungkin karena padu-padan hijab dan baju takwanya itu setiap hari selalu matching,” imbuhnya dengan mata disesaki binar. Duhai indahnya cinta… Baju takwa yang dimaksud pastilah blus berlengan panjang berikut rok sepanjang mata kaki. Hijabnya pasti bukan bergo, orang kantoran mana mungkin kenakan bergo. Mungkin katun segiempat bermotif yang dilipat lalu dibentuk menjadi segitiga besar untuk menutupi kepala lalu ujungnya yang tersisa akan terjuntai hingga sebatas pinggang. Kuingat di lemariku bertumpuk hijab berbahan kaos saja, bergo itu. Aku pernah punya yang bermotif dan in-fashion tapi segera setelah sebulan tak lagi duduk di kursi sekretaris, habislah semua kubagikan. Itu sepuluh atau limabelas tahun lalu. Sekarang aku lebih memilih bahan kaus yang adem, karena sebagai ibu rumah tangga tanpa asisten di rumah, kurasakan itu lebih praktis, tidak ribet saat dipakai bekerja di dapur atau ketika memandikan dan menceboki si batita. Dan bukan pula karena suamiku tak mampu membelikan, bukan. Ya, ada sih beberapa yang lumayan bagus tapi hanya akan kupakai saat kondangan saja sekedar mematut diri agar tak mempermalukan keluarga. Eh, aku tak terdengar seperti tengah menyalahkan hijab kan? “Tingginya 160 cm, beratnya 50 kg,” dengan mata menerawang, mungkin tengah membayangkan sang wanita. “Loh kok sampe tahu TB dan BB segala,” cetusku ringan. Tanpa disadari aku tertulari virus asmaranya, ikut membayangkan betapa proporsional ideal bentuk tubuh sang wanita itu, pantaslah kalau ia menyebutnya berpenampilan menawan. Ah, dulu akupun tak kalah menawan. Aku ingat betapa raut wajahku dulu halus, putih bersinar apalagi sejak tamat sekolah aku terbiasa bekerja di kantor yang berhawa sejuk nan harum. Memang sih, sekarang sudah penuh kerutan dan sinarnya pun sudah redup pula. Kerutan itu gara-gara salonku berubah menjadi pasar. Dan sinar redup itu karena powder-ku tak lagi tersapu di wajah melainkan hanyut dalam mulut foodie-foodie berpipi chubby. Jadi, biarkanlah aku mengiri pada perempuan-perempuan menikah yang bisa menggaji pembantu penuh waktu. Ah, kini nampaknya aku tengah menyalahkan anak dan sikon. “Tahunya juga secara kebetulan kok, Mah, waktu itu ada medical check-up tahunan di kantor.” “Ooh begitu. Kelahiran tahun berapa sih?” tanyaku iseng-iseng berhadiah. Kalau TB dan BB saja bisa tahu, umur pasti juga tahu. Demikian tebakanku. “Tahun 80, yaa… berarti umurnya sekarang 30 tahun.” Hm, lebih muda sepuluh tahun denganku. Aiih, muda nian. Kubayangkan segala kemudaan yang tengah menjadi miliknya dan pernah menjadi milikku. Sepasang buah dada yang pasti membusung kenyal. Jidat dan pipi yang membal. Kuntum bibir yang ranum, menggemaskan walau sedang manyun. Lekas kuraba jidatku yang mulai berdekak, pipiku yang berbercak, dan oh, inikah payudaraku? Hihihi, sudah klawer-klawer gara-gara meneteki tiga bocah lelaki masing-masing dua tahun lamanya, belum lagi ditambah satu orang lelaki dewasa yang sudah melakukannya sejak malam pertama dulu. Auuh, jadi kini bukan hanya anak, aku juga menyalahkan suami?? Lalu aku memutuskan untuk tak lagi bertanya soal jasmaniah binti ragawiyah. Ogah ah! Sebab semua sudah jelas tapi pada level ini biasanya seseorang tak mampu lagi menahan diri. Lagipula siapa yang kuasa hentikan gelombang cinta, ehh, ataukah hasrat? Dan iapun terus berwacana.. “Di kantor dia jadi buah bibir teman-teman. Banyak yang berharap menjadi pendampingnya.” Ya, ya. Bunga desa, bunga kampus, bunga kantor dan apapun sebutan mereka. Walau mungkin kalah tenar, namun dulupun aku pernah menjadi bunga. Bahkan seorang bule Yahudi pernah gandrung padaku. Bagi si Jews hijabku is good news, hehe, tak masalah, tapi tuntutan living together selama setahun itu yang musti kudu ‘n harus kutolak. Tapi tetap happy ending kok, walau pengantin wanitanya bukan dari Jalan Malioboro melainkan dari City of Marlborough. Hihi, apakah aku terdengar seperti tengah menyalahkan masa lalu?? “Jadi penasaran nih,” ujarku sedikit dusta. “Hehe, penasaran ya? Profilnya ada kok di fresh-book kalau memang Mamah ingin tahu,” ujarnya seraya menyodorkan sebuah nama. Demi melihatku tak beranjak dari posisi meneteki batitaku, ia bergegas mengambil ipad dan bersemangat membara menunjukkan sederet foto indah dari akun milik sang wanita yang saat ini tengah menguras perhatiannya. “Ini foto jadul waktu SMA belum berhijab, rambutnya hitam panjang karenanya pernah dinobatkan menjadi Putri Rapunzel saat event di sekolah. Sekarang konon masih panjang, tapi entahlah, karena sejak masuk kuliah tak sekalipun dibukanya hijab itu,” terangnya gamblang. Tak nampak foto mereka berduaan, tak satupun, semuanya foto kolektif dalam acara-acara kantor. Tak heran, sebab ia memang pria yang sangat menjaga segala sesuatu dijalan yang benar, hingga cinta ini barangkali membuatnya agak tersilap. Tapi mungkin pertemanan keduanya sudah terbilang dekat merunut pada ceritanya yang amat detil. Demikian aku menduga-duga, enggan bertanya karena tengah menahan sakit di puting ini. Bayiku lucu mulai tumbuh gigi. Perlahan kubelai rambutku yang menipis karena kerontokkan postnatal dan mulai disisipi uban-uban nakal. Belum banyak sih, masih bisa dihitung disana-sini dan acap kucabuti walau banyak yang telah menasehati agar sebaiknya dibiarkan sebagai tanda kewibawaan dan kelak bisa jadi penerang di alam kekal. Ah, semoga aku tak sedang menyalahkan proses menua yang memang tak terhindari sesiapa. “Menikahlah,” dan akupun merestui. Restu itu mungkin telah lama menjadi beban pertimbangannya yang mendalam, mungkin juga telah lama dinantinya, mungkin pula sempat meragu ia meminta, restuku. Kecupan di jidat berdekak dan ucapan terima kasih dengan suara nyaris tersedak, telah mengakhiri percakapan itu. Di atas meja, layar gadget masih menyala. Sekilas kulirik galeri fotonya. Pada halaman berikutnya kelak akan diunggah foto mereka berdua, suamiku dan sang wanita, dengan status baru, “Menikah”. Uhh, lelahnya, aku menarik nafas dalam-dalam, lebih, lebih dalam, agar terasa melegakan. Bukan, bukan ingin mengeluh. Keluh dan peluh telah luruh seiring mengingat betapa ada saja polah dari si bocah lincah yang bahasanya baru sebatas tah, tah. Mengeluh dan menyalahkan adalah perkara yang paling mudah di dunia namun tak ada guna. Ehh, tapi aku tidak sedang melakukan keduanya, bukan? Semoga…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun