Bagi masyarakat Kota Kupang, pesta sudah menjadi bagian dari identitas lokal. Dari acara hajatan pernikahan sampai acara kampung, dari syukuran kecil sampai hajatan besar, dentuman musik keras selalu menjadi "jantung" suasana yang membawa sukacita dan kebersamaan. Ungkapan seperti "kalau musiknya belum keras, belum pesta namanya" bukan lagi hal yang asing di telinga warga Kota Kupang. Namun, seiring berjalannya waktu, Kota Kupang menjadi kota yang semakin padat. Rumah-rumah yang saling berdempetan dan aktivitas kota yang semakin ramai memicu perhatian lebih terhadap kenyamanan masyarakat Kota Kupang. Keseimbangan antara tradisi dan kenyamanan publik jelas menjadi sebuah tantangan nyata.
Belum lama ini, tepatnya pada 29 september 2025 pemerintah Kota Kupang, dr. Christian Widodo selaku Walikota Kupang telah mengeluarkan surat edaran baru: pesta boleh berlangsung sampai pukul 24.00, tetapi musik wajib dihentikan pukul 22.00. Sekilas aturan ini terdengar seperti membatasi. Namun, apabila lebih dicermati, sebenarnya aturan ini bukan sebuah bentuk pengekangan kultur, melainkan sebuah penataan yang dilakukan agar kebebasan budaya tidak meredam kenyamanan Kota Kupang tercinta.
Budaya yang Diatur, Bukan Dibatasi
Kita semua tahu, budaya dalam masyarakat Kota Kupang tidak bisa lepas dari musik dan pesta. Musik adalah bagian dari jati diri masyarakat. Tetapi selayaknya manusia, budaya juga perlu beradaptasi dengam zaman. Suara musik keras memang tidak menjadi sebuah masalah saat Kota Kupang masih menjadi kota dengan kondisi yang lengang. Namun untuk saat ini, kondisi tersebut tidak bisa lagi disamakan. Kota Kupang telah menjadi kota yang semakin padat, rumah-rumah semakin berdekatan. Apa yang dulunya dianggap biasa dan tidak menjadi persoalan tidak bisa disamakan lagi, suara musik keras kini bisa mengganggu tetangga yang ingin beristirahat.
Aturan musik hanya boleh sampai pukul 22.00 menunjukkan bahwa pemerintah Kota Kupang berusaha adil dan memandang hak warganya dari dua sisi: hak untuk merayakan dan hak untuk beristirahat. Tidak ada yang melarang pemutaran musik, hanya saja waktunya dibatasi. Musik tetap bisa diputar, budaya tetap hidup, hanya saja ritmenya yang disesuaikan agar semuanya merasa nyaman dan tidak dirugikan. Ekspresi Budaya boleh tetap dijalankan sambil tetap menghargai hak orang lain untuk tidur dan beristirahat.
Dalam tradisi Nusa Tenggara Timur, kita mengenal nilai "tenggang rasa", nilai yang menjaga perasaan orang lain, tidak berlebihan, dan tidak merugikan. Aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Kupang sebenarnya berakar dari nilai tersebut. Di dalamnya tidak mengandung unsur mengekang budaya dan tradisi yang telah ada, melainkan lebih mengarah pada pengingat bagi kita agar merayakan dengan hati bukan hanya dengan suara dentuman keras musik. Dengan batasan ini, sejatinya pemerintah ingin menciptakan ruang untuk masyarakat agar tetap hidup tanpa menimbulkan konflik.
Sukacita Tidak Hilang Ketika Musik Berhenti
Suasana pesta tanpa dentuman musik memang terasa berbeda. Namun sukacita sejati tidak selalu tentang kerasnya musik yang diputar, tapi bisa juga didapatkan dari hangatnya kebersamaan yang terjalin. Bernyanyi, berbincang, bahkan melanjutkan acara dengan doa atau cerita bersama keluarga dapat menjadi alternatif yang bahkan lebih terasa intim dan hangat.
Selain itu, banyak penelitian yang membuktikan bahwa kebisingan malam hari bisa mengganggu kesehatan. Menurut laporan World Health Organization (WHO), paparan suara bising di malam hari dapat menimbulkan gangguan tidur, stres, bahkan tekanan darah tinggi. WHO merekomendasikan agar suara lingkungan sekitar pada malam hari tidak melebihi 40 desibel, demi menjaga kualitas tidur.