Mohon tunggu...
Angel Sang Pemenang
Angel Sang Pemenang Mohon Tunggu... -

demokrasi telah mati

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Lebaran Kali Ini Terasa Pahit

9 Juni 2018   06:00 Diperbarui: 9 Juni 2018   07:46 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: ekonomi.kompas.com)

Setiap lebaran selalu punya cerita sendiri. Walapun dalam banyak hal lebaran memiliki memory yang sama, mulai dari acara sungkeman sampai opor ayam yang hampir selalu tersedia di meja. Tetapi bagi banyak ASN (aparatur sipil negara) lebaran kali ini terasa pahit. Awalnya memang terasa manis karena adanya pengumuman ASN mendapat THR + gaji ke 13. Tetapi menjadi pahit jika merunut THR kali ini berbau politis bahkan cenderung menimbulkan kisruh berkepanjangan.

Siapa tidak suka mendapatkan "gaji bonus" tetapi jika dalam prosesnya uang itu ternyata tidak tersedia dan berpotensi menyulitkan banyak orang, apakah THR itu barokah nantinya.?

Sulit menepis bahwa THR bagi ASN tahun ini berbau politik uang menjelang 2019. Bagaimana mungkin pemerintah mengeluarkan uang ekstra yang berlebihan di banding lebaran lebaran terdahulu jika faktanya saat ini pemerintah sedang kesulitan dalam hal keuangan? Kesulitan keuangan saat ini jelas terlihat dari tertekannya kurs Rupiah yang di atas 14 ribu per dollar Amerika.

Kurs mata uang jelas menunjukkan tingkat kekuatan ekonomi suatu negara secara akurat. Apalagi kurs angka diatas 14 ribu per Dollar Amerika pun sebetulnya sudah mati matian dihambat dengan intervensi, setidaknya itu terlihat dari turunnya cadangan devisa untuk menehan Rupiah tidak lebih turun tajam.

Investasi politik 2019 dengan memakai anggaran negara jelas bukan langkah bijaksana, karena pada akhirnya akan menimbulkan lubang dalam setelah perhelatan pilpress 2019. Bahkan kisruh THR bagi ASN sebenarnya tidak saja berpengaruh pada mata anggaran di pusat, beberapa pemda teriak, tidak cukup uang untuk membayar THR di lingkungannya karena tidak dianggarkan sebelumnya. Bahkan Surabaya sebagai kota besarpun teriak karena harus menyediakan 65 milyar untuk THR di lingkungan ASN nya. Pemda - pemda lainnya? Hampir pasti akan mengalami hal yang sama, hanya saja mungkin tidak cukup nyali untuk menyatakan tidak setuju dengan cara pusat bermain THR politik.

Bagi beberapa ASN, THR berbau politis ini tentu sangat pahit. Di satu sisi, siapa sih yang tidak suka mendapatkan THR berlebih, disisi lain mereka tahu uang THR itu nantinya bisa menimbulkan banyak kesulitan bagi perjalanan bangsa ini ke depan, juga bagi tata kelola pemerintah yang bersih. THR tanpa dianggarkan terlebih dahulu seperti ini jelas akan memporak - porandakan rencana pembangunan daerah.

Pemakaian uang asal comot tanpa memperhatikan anggaran dan prioritas tentu akan menjadi preseden buruk soal akuntabilitas tata kelola keuangan daerah. Lebih lanjut tata kelola yang buruk nantinya akan berpotensi kepala daerah dijadikan pasien KPK.

Tetapi mau apa dikata, walaupun walikota Surabaya sudah teriak mengenai dana THR yang tidak ada pada anggaran dan menyulitkan pemda, tetapi menteri dalam negeri dan presiden seperti menutup mata seolah tidak ada masalah THR di pemda - pemda.

Begitu mahalnya ambisi seseorang di pilpres 2019, rela bermain - main dengan APBN bahkan APBD yang sebenarnya bukan wewenang pusat. Pusat cukuplah kelola APBN, jangan intervensi dan bikin kacau balau APBD pemda pemda untuk ambisi politik sesaat. Jangan pula ajari para ASN nyaman dengan uang panas seperti ini, jika nantinya bisa menimbulkan bencana yang lebih besar.

Jika untuk hal yang kasat mata saja penguasa rela berbohong, bagaimana rakyat percaya bahwa angka - angka yang ditampilkan penguasa saat ini bukan fiktif dan manipulatif. Soal utang luar negeri, kemampuan membayar, eksport, import, pertumbuhan ekonomi, inflasi dll.

Ya khusus untuk inflasi mungkin rakyat bisa mengira - ngira sendiri. Apa mungkin kenaikan harga sepanjang 2017 hanya 3,5%? hahaha... Setahuku beras sebagai komoditas yang banyak dikonsumsi rakyatpun harganya melejit sepanjang 2017, kok bisa angkanya cuma 3,5%? Belum lagi biaya pendidikan, BBM dll. Akrobat angka yang patut kita waspadai. Jangan sampai angka - angka itu ternyata menina bobokan kita, sampai kemudian semua borok terbongkar karena kaki sudah tidak normal berjalan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun