Mohon tunggu...
Jarot Doso
Jarot Doso Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Sragen, Jawa Tengah. Setamat SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta, kuliah di Fisipol UGM. Pernah bekerja sebagai wartawan dan staf ahli DPR . Silakan mengutip atau memperbanyak tulisan saya, dengan menyebutkan penulis serta sumbernya. Terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perkenalanku dengan Bung Karno

15 Agustus 2010   12:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:01 2239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

PERKENALANKU dengan Bung Karno sungguh terjadi secara tak sengaja. Bermula dari sikap masa kecilku yang cenderung tertutup, lalu membawaku berkenalan dengan buku-bukunya. Terutama buku kumpulan karyanya yang sangat monumental: Di Bawah Bendera Revolusi.

[caption id="attachment_227276" align="alignleft" width="240" caption=" Pahlawan Proklamator dan salah satu Bapak Pendiri Bangsa Indonesia, Bung Karno (foto: henri cartier-bresson)."][/caption]

Ceritanya, ketika aku masih kecil, aku adalah seorang anak yang berkepribadian introvert atau cenderung menutup diri jika tidak bisa dibilang a-sosial. Itulah sebabnya, aku tak terlalu suka bergabung atau bermain dengan teman-teman sebayaku. Apalagi jika permainan itu melibatkan banyak anak yang sebagian besar belum kukenal akrab, maka aku akan memilih menarik diri dan bersembunyi di dalam rumah

Karakterku ini lantas membuat aku menjadi anak rumahan. Untuk menghabiskan waktu senggang, di luar jam sekolah, aku lebih banyak beraktivitas di sekitar rumah, halaman, kebun, dan semacamnya. Kadang-kadang, jika tak ada teman sama sekali, aku malah suka menyembunyikan diri di gudang atau ruangan ayahku. Di gudang, yang sebenarnya berupa kamar tidur yang tak dipakai ini, ada lemari buku, berisi antara lain buku-buku lama, termasuk buku karya pahlawan proklamator kita, Bung Karno tadi.

[caption id="attachment_227236" align="alignright" width="120" caption="Sampul Buku "Di Bawah Bendera Revolusi" Kumpulan Tulisan Bung Karno"][/caption]

Buku Di Bawah Bendera Revolusi setebal 10 cm lebih itu memang sebenarnya masih terlalu dini untuk dikonsumsi oleh anak-anak usia SD kelas 4 atau 5 seperti diriku kala itu. Selain materi bahasannya terlalu serius dan berat, banyak sekali istilah berbahasa asing yang sering digunakan oleh Bung Karno dalam tulisannya. Baik bahasa Jerman, Perancis, Inggris, Arab, Jepang, maupun Belanda. Bahkan kadang-kadang juga bahasa Yunani atau Latin. Maklum, konon Bung Karno menguasai bahasa asing hingga sembilan bahasa.

Tentu saja, kosa kataku sebagai anak-anak yang masih terbatas sulit untuk mampu mencerna kutipan atau istilah dalam bahasa asing tadi. Terlebih ayahku juga tidak memiliki kamus bahasa asing sama sekali. Jadi ya apa boleh buat, istilah-istilah yang tak mampu kucerna kulewati begitu saja, atau kucatat tersendiri untuk kelak di kemudian hari, ketika aku sudah dewasa, kucari artinya. Istilah bahasa Belanda, "geweldig" misalnya, yang maknanya kira-kira "hebat" baru berhasil kuketahui artinya saat aku duduk di bangku SMA. Hm, lama sekali bukan?

Akan tetapi, karena tak ada alternatif bacaan lainnya yang lebih menarik, mau tak mau, kubaca juga buku Bung Karno itu. Maklum, rumahku terletak di desa, sekitar 23 kilometer dari kota Solo ke arah Sragen, Jawa Tengah. Jadi tidak banyak pilihan atau fasilitas yang bisa mendukung rasa ingin tahuku dan ketertarikanku membaca buku-buku. Perpustakaan SD tempat aku sekolah pun ketika itu belum ada. Kecuali beberapa gelintir buku paket Inpres yang harus dipinjam bergilir seminggu sekali.

Oleh karena itu, walaupun tertatih-tatih dan banyak sekali pengertian yang belum bisa kupahami, sedikit demi sedikit akhirnya bisa juga kubaca buku tebal itu sampai tuntas. Mungkin sebelum aku lulus dari bangku sekolah dasar, aku sudah tamat membaca buku itu. Karena dalam buku itu Bung Karno gemar menggambarkan dirinya ibarat tokoh Bima dalam pewayangan, maka imajinasi masa kanak-kanakku pun suka membayangkan Bung Karno seperti sosok ksatria yang gagah dan sakti dari Keraton Pandawa itu.

Ketika aku menonton pertunjukan wayang kulit di kampung, dan muncul adegan Bima berperang melawan kezaliman, otomatis aku membayangkan sosok Bung Karno yang mengobrak-abrik barisan pertahanan penjajah Belanda, Inggris, maupun Jepang. Walhasil, tak mengherankan jika kemudian aku mengidolakan Bung Karno seperti halnya aku mengidolakan Bima.

Pemberian Bung Karno

SETELAH aku cukup sering membaca berulang-ulang buku Di Bawah Bendera Revolusi, kemudian aku acap bertanya mengenai sosok Bung Karno kepada ayahku. Biasanya aku berdiskusi secara informal dengan ayahku menjelang tidur. Maklum, sampai aku lulus SD, biasanya aku tidur seranjang dengan ayahku. Sembari beliau peluk, aku mendapat bonus kisah-kisah menarik tentang wayang, latar belakang keluarga kami yang pelarian dari Keraton Solo (Surakarta), ataupun mengenai Bung Karno.

[caption id="attachment_227238" align="alignright" width="185" caption="Sosok Soekarno muda yang tampan, gagah, cerdas, dan selalu tampil rapi, membuat rakyat bangga dan ikut terdongkrak rasa percaya dirinya sebagai Bangsa Indonesia (foto: koleksi buku Di Bawah Bendera Revolusi)"][/caption]

Menurut ayahku, kakekku dari pihak ayahku sebenarnya masih terhitung kerabat Keraton Solo dengan gelar kebangsawanan yang cukup tinggi. Namun, seiring maraknya gerakan kebangkitan nasional atau gerakan kebangsaan yang kemudian melahirkan Budi Utomo ketika itu, kakekku memilih pergi meninggalkan Keraton Solo dan hijrah ke sebuah desa di pinggiran kota Sragen. Kakekku kemudian menjadi kepala desa di sini.

Nah, dari garis kakekku, sebenarnya ayahku masih berhak mengenakan gelar kebangsawanan KRT atau Kanjeng Ratu Tumenggung. Namun, karena ayahku terpengaruh gerakan bangsawan yang pro kerakyatan atau anti feodalisme, maka ayahku pun enggan memajang gelar di depan namanya. Apalagi Bung Karno, tokoh yang dikaguminya sejak muda, juga menolak menaruh gelar raden di depan namanya. Malah ayahku berusaha menutup-nutupi latar belakangnya yang masih terkait dengan kerabat Keraton Solo.

[caption id="attachment_227242" align="alignleft" width="199" caption="Sampul buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia", karya wartawati AS, Cindy Adams. Buku yang baru bisa kubaca saat aku duduk di bangku kuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta"][/caption]

Sebaliknya, ayahku sangat antusias menceritakan masa mudanya yang dikenal sebagai tentara pelajar dan aktivis Partai Nasional Indonesia atau PNI yang didirikan Bung Karno pertama kali pada 1927. Misalnya, ayahku suka bercerita dengan bangga, bahwa buku Di Bawah Bendera Revolusi yang belakangan kugandrungi itu diberikan secara langsung dari tangan Bung Karno sendiri kepadanya.

Menurut ayahku, selain buku Di Bawah Bendera Revolusi, sebenarnya ada pula buku-buku lainnya, beserta panji-panji partai. Namun, begitu meletus peristiwa G30S pada 30 September 1965, yang menjadi puncak perseteruan PKI dengan TNI, semua buku-buku dan segala sesuatu yang terkait dengan aktivitas politiknya tadi dikubur di dalam tanah, di kebun belakang rumah. Ini lantaran, setelah PKI dihancurkan oleh rezim otoriter Soeharto, giliran para aktivis PNI dan loyalis Soekarno lainnya yang dikejar-kejar dan dihancurkan. Jadi jurus kamuflase atau menyelamatkan diri terpaksa digunakan ayahku ketika itu.

Aku tidak tahu apakah pekerjaan ayahku kemudian, sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Agama, ada kaitannya dengan jurus menyelamatkan diri dari kejaran rezim Soeharto ini. Sebab sebenarnya agak aneh bagi seorang PNI seperti ayahku bekerja di Departemen Agama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Departemen Agama pada waktu itu merupakan kapling bagi jajaran PNS yang berafiliasi kepada Partai Islam NU atau ex-Partai Islam Masyumi.

Kelompok Diskusi Soekarnois

NAH, perjumpaanku dengan ide-ide Bung Karno pada masa kanak-kanak tadi ternyata mempunyai pengaruh yang berlanjut pada masa remajaku. Ketika aku duduk di kelas 1 di bangku SMA, berawal dari ngobrol-ngobrol sesama teman seusia yang suka membicarakan politik atau mengkritik pemerintahan Soeharto, aku dan beberapa kawanku kemudian sepakat membentuk sebuah kelompok diskusi politik bernama Kelompok Diskusi Marhaen. Anggotanya terdiri teman-temanku satu SMA, di SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta. Salah satunya yang kemudian dikenal banyak orang adalah Budiman Sudjatmiko, mantan Ketua Umum PRD, yang kini terpilih menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.

[caption id="attachment_227248" align="alignleft" width="300" caption="Budiman Sudjatmiko, teman aktivis sesama pengagum Bung Karno sejak masih duduk di SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta (foto: matanews.com)."][/caption]

Berdirinya kelompok diskusi yang beranggotakan murid-murid pengagum Bung Karno pada waktu itu sempat mengagetkan sejumlah guru-guru SMA-ku. Maklum, keluarga besar Muhammadiyah secara tradisional lebih dekat kepada mantan Partai Islam Masyumi yang dibubarkan Bung Karno daripada sebagai Soekarnois. Walaupun Bung Karno sendiri pada masa pembuangannya di Bengkulu juga menjadi kader Muhammadiyah dan malah sempat menjadi Ketua Bidang Pendidikan Muhammadiyah Bengkulu, tetap saja hal itu tidak bisa menutupi keterkejutan sebagian guru kami bahwa kami mendirikan sebuah kelompok diskusi politik beraliran Soekarnois.

Sikapku sendiri sih waktu itu biasa saja. Aku tidak merasa ada yang aneh dengan aktivitasku di Kelompok Diskusi Marhaen. Sebab Bung Karno sendiri juga kader Muhammadiyah. Walhasil, aku memandang posisiku sebagai murid sekolah Muhammadiyah tidak ada kontradiksi sama sekali dengan aktivitasku sebagai pengagum Bung Karno atau bahkan pengikut Soekarno (Soekarnois). Karena itu kegiatan kami pun tidak ada yang kami tutup-tutupi atau bersifat rahasia.

Namun, aku merasa, sejak pendirian grup diskusi ini, gerak-gerikku seperti lebih sering dipantau guru-guru. Yah, mungkin karena seringnya kami menggelar diskusi di sekolah, dengan menggunakan ruangan kelas ketika sore hari atau hari libur. Padahal materi diskusi kami acap berisi tema bahasan mengenai Marxisme atau gagasan-gagasan beraliran Kiri lainnya, yang pada waktu itu masih merupakan masalah yang sensitif sekali di mata rezim Orde Baru. Termasuk mengkritik rezim otoriter Orde Baru Soeharto yang korup dan kami nilai telah mengambil alih kekuasaan secara tidak sah dari tangan Bung Karno.

Aku bahkan merasa dipersulit urusan sekolahku oleh seorang guru yang kami duga merupakan petugas intel yang dibenamkan oleh rezim Orde Baru di sekolah kami. Maklum, rezim Orba kala itu dikenal suka menanam mata-mata di mana-mana untuk mengawasi gerak-gerik rakyatnya sendiri.

[caption id="attachment_227250" align="alignleft" width="300" caption="Foto Bung Karno menjadi ilustrasi acara Muktamar 1 Abad Muhammadiyah di Yogyakarta baru-baru ini (foto: adibsiraj.blogspot.com)"][/caption]

Nah, tentunya guru ini semula bukan dimaksud untuk mengawasi kami, murid-murid yang mengidolakan Bung Karno, tapi lebih untuk memantau gerakan Islam garis keras yang ditengarai berkembang di lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Sampai aku naik ke kelas 2, nilaiku dibiarkan kosong oleh guru tadi, tanpa aku mengetahui apa sebenarnya kesalahanku. Pada waktu itu aku hanya bisa berpikir bahwa inilah risiko awal karena telah berani bermain-main dengan politik. Ke depan kami memprediksi mungkin akan ada risiko yang lebih besar lagi, yang ternyata di kemudian hari betul-betul dialami salah satu teman diskusi kami, Budiman Sudjatmiko, yang ditangkap dan dipenjara rezim Orde Baru karena aktivitasnya dalam gerakan mahasiswa dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Kenapa Kagum Bung Karno?

MENGAPA kagum Bung Karno? Itulah yang kerap ditanyakan orang kepadaku. Orang pun sering mengira aku melakukan kultus individu atau pemujaan berlebihan kepada Bung Karno. Sebuah tuduhan yang dulu juga acap dilontarkan Orde Baru kepada para pendukung Bung Karno. Sebuah tuduhan yang tidak tepat ditujukan kepadaku. Sebab sebagai seorang yang berpikiran rasional didikan sekolah Muhammadiyah, tentu saja aku tidak memandang Bung Karno sebagai makhluk sakti yang tak punya kesalahan. Aku pun tidak percaya dengan kisah-kisah mistis yang dikaitkan dengan Bung Karno, yang masih diyakini sebagian pendukungnya.

[caption id="attachment_227253" align="alignright" width="300" caption=" Bung Karno Bergaya di depan salah satu koleksi lukisannya (foto: henri cartier-bresson)"][/caption]

Aku tetap memandang Bung Karno secara wajar, sebagai manusia biasa yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Kelebihan pada sosok Bung Karno inilah yang kukagumi. Sementara kekurangannya, walaupun masih dalam batas-batas manusiawi, tidak perlu kita ulangi dan cukup menjadi pelajaran bagi generasi penerus bangsa ini.

Kekagumanku kepada Bung Karno meliputi banyak hal. Namun yang utama ada dua aspek. Pertama, aku mengagumi Bung Karno lebih karena kiprahnya sebagai pejuang kemerdekaan dan salah satu tokoh utama pendiri bangsa Indonesia (founding father). Kedua, aku mengagumi gagasan-gagasannya atau pemikirannya yang menurutku sangat luar biasa, tidak saja dalam soal-soal kenegaraan atau politik, tetapi juga dalam berbagai bidang lainnya, misalnya dalam bidang pembaruan pemikiran Islam atau bidang kebudayaan.

Bung Karno menurutku bukan saja salah satu tokoh pemimpin besar yang pernah dimiliki Indonesia, lebih dari itu dia juga seorang pemikir besar yang pernah dilahirkan di Bumi Pertiwi. Sepeninggal Bung Karno hingga perayaan Proklamasi Kemerdekaan RI ke-65, 17 Agustus 2010 ini, menurut pengamatanku belum ada lagi tokoh pemikir Indonesia selevel Bung Karno.

Gagasan-gagasan Bung Karno bukan saja kemudian terbukti mampu melahirkan Indonesia merdeka, melainkan juga banyak yang melampaui zamannya sendiri dan tetap aktual untuk dikaji dan diimplementasikan pada masa kini.

Gagasan tentang Pancasila, misalnya. Gagasan yang secara komprehensif dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945, di depan Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), hingga sekarang ini tetap tak tergoyahkan sebagai dasar negara Indonesia. Walaupun, pada era Orde Baru, Pancasila sempat dipolitisasi oleh rezim Soeharto untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya dan direduksi menjadi 36 butir pengamalan Pancasila (P4) yang tak lebih dari sekumpulan etika berbasis budaya Jawa, terbukti Pancasila hingga hari ini merupakan salah satu common denominator (faktor pemersatu) yang mempertemukan berbagai elemen bangsa kita yang sangat majemuk ini.

[caption id="attachment_227255" align="alignleft" width="300" caption=" Soekarno-Hatta memimpin upacara Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945 (foto: istimewa)"][/caption]

Dan menurutku, pidato tentang Pancasila yang disampaikan Bung Karno pada 1 Juni 1945 tadi merupakan salah satu pidato paling hebat yang pernah kuketahui. Pidato Pancasila 1 Juni itu menggabungkan kedalaman substansi yang menunjukkan kompetensi Bung Karno sebagai seorang pemikir serius dan kecanggihan retorika yang menggambarkan kelihaian Bung Karno sebagai orator ulung.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan implementasi gagasan negara kebangsaan, yang sejak muda telah diangankan Bung Karno, juga terbukti bisa menjadi rumah bersama (lebensraum) bagi seluruh komponen bangsa kita, apa pun latar belakang suku, ras, agama, maupun golongannya. Kendati disertai pasang surut, NKRI terbukti mampu melewati berbagai ujian, baik berupa kecenderungan kedaerahan atau etnonasionalisme, fundentalisme dan radikalisme agama, militerisme, feodalisme, maupun avonturisme ideologi-ideologi absolut seperti komunisme.

Dalam konteks negara kebangsaan inilah, dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Bung Karno berkata: "Baik Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya –tetapi semua buat semua."

[caption id="attachment_227256" align="alignright" width="420" caption="Bung Karno adalah pemimpin yang sangat dicintai rakyat pada masanya. Ke mana pun pergi, rakyat selalu menyambutnya dengan meriah dan spontan (foto: henri cartier-bresson)."][/caption]

Dengan adanya persetujuan semua golongan pendiri negara dalam sidang BPUPKI, yang dilanjutkan pada sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), ihwal karakteristik negara yang hendak didirikan, maka sebenarnya persoalan bentuk negara kita sudah selesai. Tidak ada lagi peluang Indonesia menjadi negara dengan format selain negara kebangsaan (nation-state), baik berupa negara berdasar agama tertentu (Islam misalnya) maupun berdasar ideologi tertentu (komunis misalnya).

Demikian pula halnya dengan dasar negara. Begitu pada 18 Agustus 1945, Pancasila diterima secara aklamasi oleh Sidang PPKI menjadi dasar negara, dan diadopsi menjadi bagian tak terpisahkan dari Pembukaan UUD 1945, masalah dasar negara kita telah selesai. Dengan demikian, kebijakan asas tungggal Pancasila yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru secara represif bagi semua kelompok masyarakat pada dekade 80-an sebenarnya justru kontraproduktif. Sebab justru membuat keruh persoalan yang sebenarnya telah selesai sejak 18 Agustus 1945, di samping justru berpotensi meniadakan keragaman yang menjadi ciri khas Indonesia.

Itulah sebabnya, kebijakan asas tunggal Pancasila Orde Baru justru mendapat resistensi luar biasa dari masyarakat dan akhirnya terbukti gagal. Sebab Pancasila diterima sebagai dasar negara pada 18 Agustus 1945 melalui prosedur negosiasi dan persuasi yang demokratis, sementara kebijakan asas tunggal dilaksanakan dengan semangat represi dan tangan besi.

Tak Pernah Korupsi

KEKAGUMANKU lainnya kepada Bung Karno, di luar aspek perjuangan dan pemikirannya, adalah sepak terjangnya sebagai seorang politisi atau negarawan, yang sejauh kuketahui tidak pernah menyalahgunakan keuangan negara demi kepentingan pribadi atau keluarganya. Mungkin hal ini bukan menjadi keistimewaan Bung Karno sendirian. Namun juga menjadi ciri rata-rata bapak pendiri Republik lainnya, seperti Bung Hatta, Haji Agus Salim, M. Natsir, Sutan Sjahrir, atau Jenderal Sudirman. Mereka semua terkenal lurus dan bersahaja hidupnya, sehingga tidak pernah menyelewengkan uang negara atau melakukan korupsi.

[caption id="attachment_227258" align="alignleft" width="300" caption="Soekarno-Hata-Sjahrir, tiga bapak pendiri bangsa yang sederhana kehidupannya dan tidak pernah korupsi (foto:istimewa)."][/caption]

Nah, terkait dengan hal itu, dalam pekerjaanku sebagai staf ahli dari seorang politisi nasionalis, aku sering mengingatkan rekam jejak Bung Karno yang tidak pernah korupsi ini. Aku katakan bahwa kekalahan kelompok nasionalis di mana pun di dunia ini rata-rata lantaran rakyat kecewa melihat perilaku mereka yang rajin melakukan korupsi secara massif atau berjamaah. Misalnya Partai Kuomintang yang beraliran nasionalis di China Daratan kalah dari Partai Komunis China karena pemimpin nasionalis Chiang Kai Shek dan Partai Kuomintang memiliki track record yang korup. Begitu juga Partai Nasionalis Fatah bisa dikalahkan oleh Partai Islam Hamas di Palestina juga lantaran Fatah dinilai korup.

Ini bedanya dengan Bung Karno. “Bung Karno sebagai manusia dan pemimpin memang tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan. Tetapi satu hal yang perlu kita teladani dari Bung Karno sebagai seorang nasionalis ialah rekam jejaknya yang tidak pernah korupsi atau menumpuk kekayaan pribadi selama berkuasa sebagai presiden.” Begitulah kurang lebih inputku kepada atasanku yang politisi tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun