Mohon tunggu...
jarilla syahdita
jarilla syahdita Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq Jember

Mahasiswa aktif UIN KHAS Jember prodi tadris matematika

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tokoh dan Konsep Pemikiran Tasawuf

14 Desember 2023   16:56 Diperbarui: 14 Desember 2023   17:05 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Rabi'ah Al-'Adawiyah 

         Rabi'ah Al-Adawiyah merupakan sosok wanita sufi terkenal. Namanya adalah Rabi'ah binti Isma'il Al-Adawiyah Al-Qissiyah. Ia lahir di Basrah (Iraq) sekitar tahun 95-99 H (713-717 M), beberapa orang menyebutnya 714 M. Dia meninggal di tahun 801 M.

         Rabi'ah berasal dari keluarga miskin, Ayah Rabi'ah yaitu isma'il, adalah seorang yang meghabiskan waktu siangnya untuk mencari nafkah dan malamnya untuk beribadah. Begitupun juga dengan Rabi'ah yang menjalani kehidupannya seperti ayahnya dengan bekerja sebagai hamba majikannya pada siang hari dan beribadah, berdo'a, berdzikir dan bertafakkur pada malam hari hingga terbit fajar Meskipun Rabi'ah berada di lingkungan keluarga yang serba kekurangan dan kelaparan, ia mampu melewati hari-harinya dengan penuh keikhlasan tanpa mengeluh sedikitpun karena ia percaya Allah yang akan mencukupi segala kebutuhannya

         Beberapa kelebihan yang ada pada dirinya yaitu pandai dalam bermain alat musik, memiliki wawasan atau ilmu yang luas, termasuk juga ilmu kebatinan yang mendorongnya menjadi tokoh wanita sufi yang mempunyai kemuliaan (karomah). Selain itu, ia juga dikenal dengan sikap tawadhu'nya karena meskipun ia menghamba kan dirinya kepada majikannya yang kaya, ia tetap menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah. Dalam arti mampu membagi kewajibannya terhadap Allah dengan kewajibannya terhadap majikannya.

         Rabi'ah selalu mendorong untuk ikhlas dalam segala amal shaleh dan melarang keras perbuatan yang termasuk dalam kategori riya. Menurutnya, pelaku kejahatan selalu menyembunyikan kesalahannya, sehingga perbuatan baik pun harus disembunyikan (tidak diperlihatkan), oleh karena itu beliau sering berkata:

Rahasiakan kebaikanmu, sebagaimana kamu selalu merahasiakan keburukan (moral)mu.

         Bukan karena hanya zuhud, ia memilih tidak melangsungkan akad nikah. Namun Rabi'ah hanya tertarik untuk mencintai Allah. Dia menolak beberapa lamaran pernikahan, dan lebih memilih menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam kesendirian dan beribadah kepada Allah.

Konsep Pemikiran Tasawuf; Mahabbah

         Rabiah adalah seorang pencetus ajaran tasawuf "mahabbah", yakni menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan ia pun memperoleh julukan sebagai ibu para sufi besar. Ajaran tasawufnya dikenal dengan "Al-Mahabbah". Mahabbah berasal dari kata - -- yang artinya mencintai secara mendalam, atau cinta yang mendalam. Dan hubb, yang menandakan kebalikan dari al-Bugd, yaitu cinta yang berlawanan dengan kebencian. Begitu juga dengan al-Wada>d, yang menunjukkan cinta, kasih sayang, dan persahabatan.

         Mahabbah menurutnya merupakan emosi manusia yang sangat mulia, indah, dan luhur. Cinta yang muncul melampaui keinginan-keinginan dasar dan dilandasi oleh perasaan iman yang jujur dan tulus mampu mengangkat harkat dan martabat manusia di hadapan Allah. Melalui ucapan-ucapannya, baik yang dinisbatkan kepadanya maupun yang langsung darinya, sikap dan pandangan Rabi'ah tentang cinta dapat dipahami.

         Ajaran ini dibangun di atas tingkat kehidupan zuhud sebelumnya, yang ditingkatkan oleh Rabi'ah dari zuhud khauf (takut) dan raja (harapan) menjadi zuhud hubb (cinta) dan syaq (rindu) kepada Allah. Karena harapan dan rasa takut tidak dapat dibandingkan dengan cinta yang tulus. Cinta Rabi'ah adalah cinta tanpa syarat yang tidak mengharapkan imbalan. Salah satu kutipannya yang mencontohkan cara berpikir hubb dan shaq yang membentuk hidupnya adalah:

  -

-

Artinya: "Saya tidak menyembah Allah karena takut kepada neraka-Nya, dan tidak pula tamak (untuk mendapatkan) syurga; (karena hal ini) akan menjadikan saya seperti pencuri imbalan yang berakhlaq buruk (Ketahuilah), bahwa saya menyembah-

Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya."

         Aku mengagumi-Mu melalui dua cinta: cinta keinginan dan cinta bahwa Engkaulah yang berhak mendapatkannya. Ini adalah kalimat dari Rabi'ah yang menunjukkan cintanya yang besar kepada Allah. Ketika saya memikirkan orang yang saya cintai dengan sepenuh hati, saya akan melupakan orang lain. Cintailah, karena Engkaulah yang membenarkan cinta. Oleh karena itu, tariklah kembali tabir itu agar aku dapat melihat-Mu. Saya tidak menerima penghargaan untuk semua itu. Tapi Engkau sendiri yang pantas menerima semua pujian untuk itu.  Menurut puisi di atas, Rabi'ah mencintai Tuhan dalam dua cara: karena dirinya sendiri, yang berarti dia tidak pernah melupakan Tuhan, dan karena Tuhannya, yang berarti dia dapat merasakan atau melihat cinta Tuhan yakni kekuasaan dan keindahan-Nya.

         Selain itu, batasan-batasan tentang cinta juga disampaikan kepada Rabi'ah. Ia  berkata, "Cinta menunjukkan perasaan dan kerinduan." Hanya mereka yang telah mengalami cinta yang dapat menggambarkannya. Cinta tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Orang tidak dapat menggambarkan apa yang tidak mereka kenal. atau memiliki pengetahuan yang tidak mereka miliki. Nafsu tidak dapat memahami cinta, dan ini terutama benar ketika kebutuhan cinta tidak ada. Cinta memiliki kekuatan untuk membuat orang diam dan membingungkan mereka. Kekuatan cinta untuk mengendalikan hati.

         Dalam dialog lain, Rabi'ah juga mengidentifikasi dua batasan cinta. Menurut pernyataan pertama, cinta seorang hamba kepada Tuhannya tidak boleh dibatasi hanya kepada "kekasih" (Allah) atau yang dicintai. Dengan arti lain, pertama-tama ia harus menghindari dunia dan segala sesuatu yang menariknya; selanjutnya, ia harus menjaga jarak yang aman dari ciptaan Tuhan agar tidak menarik perhatian Tuhan. Ketiga, ia harus melampaui keinginan-keinginan duniawi dan menjauhi kebahagiaan dan kesenangan, karena takut kebahagiaan dan kesenangan akan menghalangi perenungan terhadap Yang Mahakudus. Karena hanya Dia yang seharusnya dicintai oleh hamba-Nya, Rabi'ah tampak cemburu kepada Tuhan. Pernyataan kedua menyatakan bahwa tidak ada cara yang tepat untuk mengukur tingkat ketaqwaan (cinta) seseorang kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa mengharapkan imbalan dari Allah, seperti pahala, pembebasan dari hukuman, atau bahkan pengurangan hukuman, adalah hal yang tidak masuk akal. Karena seorang hamba hanya ingin memuaskan dan memenuhi tujuan-tujuan Allah. Sebagai hasilnya, cinta seseorang dapat berkembang ke tingkat yang lebih tinggi hingga sepenuhnya menyerupai cinta Allah. Dalam pemahaman Margaret Smith tentang Rabi'ah, pada tingkat cinta inilah Tuhan akan memanifestasikan diri-Nya dalam segala keindahanNya yang sempurna. Jiwa yang penuh kasih pada akhirnya dapat bersatu dengan Sang Kekasih melalui jalan cinta ini, dan atas kehendak-Nya, kedamaian akan tercipta.

         Begitulah tingkat pengabdian Rabi'ah kepada Allah sangat tinggi. Rabi'ah sangat mencintai Allah sehingga dia melihat tidur sebagai bagian dari ibadahnya dan sebagai musuh yang membuatnya kurang beribadah.  Suatu ketika Rabi'ah berkeluh kesah kepada Allah: Wahai Tuhanku, semua orang tidur dengan nyenyak. Raja-raja mengunci pintu-pintu istana mereka. Di atas dipan-dipan mereka, suami istri berbaring. Namun, karena Kebesaran dan Kemuliaan-Mu, Rabi'ah yang banyak dosa ini terus bersujud di hadapan-Mu. Perasaan cinta Tuhan itulah yang dimiliki Rabi'ah dalam perjalanan tasawufnya ini, yang menjadi ciri khas berkembangnya tasawuf pada masa tabi'in di akhir abad I dan abad II H. Karena tidak pernah ada sahabat sufi yang perna mengalaminya.

B. Abu Yazid Al-Bistami

         Dengan nama kecil Taifur, Abu Yazid al-Bustami lahir di Bustam (Persia) antara tahun 874 dan 947 Masehi. Abu Yazid Thaifur bin 'Isa bin Surusyan al-Bustami adalah nama lengkapnya. Isa bin Surusyan, ayahnya, berasal dari Busthaam, dan keluarganya adalah orang kaya. Meskipun demikian, Abu Yazid memilih untuk menjalani gaya hidup yang sederhana.  Ia dibesarkan dan dididik oleh ibunya setelah ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Ia belajar agama dan Tasawuf dari guru Sufi terkenal, Abu Ali al-Sindi, serta Ilmu Fiqh dari ulama Hanafiyah. Namun, ia lebih suka mempelajari Tasawuf dengan menghabiskan lebih dari tiga puluh tahun uzlah (hidup terpisah) dengan berdoa, berpuasa, berzikir, dan tafakkur untuk mencapai ittihad (penyatuan dengan Tuhan).

         Abu Yazid dikenal sebagai murid yang pandai dan anak yang berbakti kepada orang tuanya. Abu Yazid sangat tersentuh saat gurunya menjelaskan ayat dari surat Luqman yang berbunyi, "Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu." Dia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. perilakunya ini menunjukkan bahwa dia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan yang diberikan Allah SWT. Abu Yazid memiliki reputasi sebagai murid yang cerdas dan anak yang bertanggung jawab. Abu Yazid tersentuh hatinya ketika gurunya membacakan ayat dari Surah al-Luqman yang berbunyi, "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu." Setelah itu, dia menhentikan kegiatan belajarnya dan pergi mengunjungi ibunya di rumah. Tindakan ini menunjukkan bahwa ia secara konsisten berusaha untuk menanggapi setiap permintaan yang dibuat oleh Allah SWT.

         Setelah menjadi seorang faqih dalam mazhab Hanafi selama beberapa waktu, Abu Yazid menghabiskan puluhan tahun menjadi seorang sufi. Ia memperoleh pengetahuan tentang ilmu tauhid dan hakikat dari gurunya yang termasyhur, Abu Ali as-Sindi. Abu Yazid menghabiskan tiga belas tahun mengembara di padang pasir Syam sambil menjalani kehidupan zuhud, atau menjauhi harta dunia, tanpa kemudahan akses ke makanan, air, atau tidur. Pada tahun 261 H/947 M, Abu Yazid al-Bustami wafat di Bustham. Dia termasuk dalam tarekat Suhrawardiyah bersama dengan sejumlah tarekat tasawuf lainnya dan dianggap sebagai salah satu Aulia Sultan.

Konsep Pemikiran Tasawuf; Fana', Baqa', Ittihad

         Konsep fana dan baqa pada awalnya diperkenalkan oleh Abu Yazid al-Bustami, seorang sufi yang berjasa dalam mengembangkan filosofi ittihad, atau keesaan wujud, pada abad ketiga Hijriah.  Fana', menurut para sufi, dapat merujuk pada hilangnya kesadaran akan diri sendiri atau ide-ide yang sering dikaitkan dengan diri sendiri. Ahli Sufi juga mengartikan sebagai bentuk bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dan juga bisa bermakna hilangnya akhlak-akhlak  tercela. Fana' juga dapat merujuk pada hilangnya sifat-sifat yang tidak diinginkan, baik lahir maupun batin. Fana' dari dunia ciptaan atau dari alam makhluk adalah nama yang diberikan kepada orang yang telah dikuasai oleh esensi ketuhanan sampai pada titik di mana ia tidak dapat melihat alam yang baru, alam bentuk, atau alam wujud.

         Baqa', yang berarti selamanya, adalah hasil dari Fana', dan dalam perspektif Sufi, Baqa' adalah keabadian sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan yang berada dalam diri manusia. Sifat-sifat ketuhanan (atau ketuhanan) masih tetap ada, namun aspek-aspek kemanusiaan (bashariah) telah lenyap. Seperti yang dinyatakan dalam pernyataan mereka: "Ketika Nur menampakkan diri pada Baqa'an, maka Fana'-lah yang tiada dan Baqa'-lah yang abadi," para Sufi berpikir bahwa istilah "Fana" dan "Baqa" saling berhubungan satu sama lain. Mereka lebih lanjut menegaskan bahwa "Tasawuf adalah bahwa mereka Fana' dari diri mereka sendiri dan Baqa' dengan Tuhan mereka, karena kehadiran mereka dengan Allah."

         Sufi melihat faham fana' dan baqa', bertujuan untuk meraih ittihad, sebagai kisah liqa al-rabbi menemui Tuhan. Mereka menganggap faham ini sebagai jalan menuju pertemuan dengan Tuhan.  

 

Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepadanya. (QS. al-Kahfi 18 : 110).

Dari ayat-ayat tersebut, kita dapat melihat bahwa Allah telah memberikan kesempatan kepada manusia untuk menyatu secara rohani atau batin dengan-Nya. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan perbuatan baik, melakukan ibadah yang sepenuhnya ditujukan kepada Allah, menjauhi perilaku tidak bermoral dan kesadaran manusiawi, meninggalkan dosa, dan akhirnya menghiasi diri dengan sifat-sifat Allah. Hal tersebut disebut sebagai konsep fana' dan baqa. Konsep ini dapat dimengerti dan dipahami dari petunjuk yang terdapat dalam ayat berikut. 9

 

"Semua yang ada di dunia ini akan binasa. Yang tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulian" (QS. AlRahman 55: 26-27)

         Menurut Abu Yazid al-Bustami, manusia seesensi dengan Tuhan hanya bisa bersatu dengan-Nya jika mereka dapat melebur ke dalam keberadaan-Nya sebagai individu sehingga mereka tidak menyadari diri mereka sendiri. Jika seorang sufi mencapai Fana' dan Baqa', dia dianggap telah mencapai ittihad, yakni perpaduan dengan Yang Maha Esa (Allah). Ini dianggap "Tajrid Fana' fi at-Tauhid" oleh Abu Yazid, yang berarti perpaduan dengan Tuhan tanpa dihalangi oleh sesuatu. 

         Dalam ajaran ittihad, Tuhan dan manusia-yang sebenarnya adalah dua-dianggap sebagai satu dalam ajaran tersebut. Peran yang dimainkan antara manusia dan Tuhan dapat dilihat dalam ittihad ini karena hanya ada satu hal yang dapat dilihat dan dirasakan. Mereka mengalami tingkat penyatuan dengan Tuhan di mana mereka dapat menjangkau satu sama lain dalam bentuk sapaan "Hai Aku" satu sama lain. Sufi yang dimaksud berada dalam Fana', di mana ia kehilangan kesadaran dan berbicara atas nama Tuhan.

         Al-Bustami mengatakan hal-hal yang aneh ketika ia tiba di Fana' dan Baqa', seperti "Tidak ada Tuhan selain aku, sembahlah aku, Maha Suci aku, Maha Suci aku, Maha Suci aku." Kemudian diriwayatkan bahwa seorang pria mengetuk pintu rumah Abu Yazid (al-Bustami) ketika beliau lewat. "Pergilah, tidak ada yang ada di rumah ini kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi," kata Abu Yazid". Selain itu, Abu Yazid Al-Bustami menyatakan jika manusia bersih dari dosa akan kembali menyatu pada-Nya. Filsafat India monisme memberikan dasar bagi pemikiran ini. Menurut monisme, Brahman (Tuhan) adalah sumber dari segala sesuatu, dan atman (manusia) hanyalah bayangan (maya) dari padanya. Karena itu, Brahman (Tuhan) dan atman (manusia) adalah satu dan sama. Ini adalah tempat Abu Yazid mengungkapkan pengalaman misteriusnya yang aneh. dengan mengatakan, "Dalam jubbahku tidak ada sesuatu kecuali Allah." Aku sangat suci, sangat suci. Karena filosofinya berasal dari filsafat, jenis tasawuf ini disebut sebagai tasawuf falsafi. Ini juga sangat bertentangan dengan perspektif Sufi Sunni.

         Abu Yazid sering dituduh sebagai musyrik karena masyarakat bingung dengan apa yang baru saja dikatakannya begitupun juga menurut para ahli fikih. Tetapi murid-muridnya masih memegang teguh dan mengembangkan ajarannya, melalui perkumpulan "Thariqah Thaifuriyyah". Yaitu suatu istilah yang dinisbatkan kepada nama gurunya (Thaifur). Meskipun demikian sebenarnya ia tidak berniat mengaku sebagai Tuhan. Ittihad dianggap sebagai kufur oleh mereka yang ketat dalam keyakinan agama mereka, tetapi inhiraf (penyimpangan) oleh mereka yang toleran. Setelah itu, ittihad falam ini dapat bermanifestasi sebagai wahdat al-wujud dan hulul. Dengan demikian, mencapai hulul dan wahdatul wujud melalui fana' dan baqa' sama dengan mencapai al-ittihad.

         Menurut sudut pandang yang disebutkan di atas, pernyataan al-Bustami dibuat ketika ia berada dalam kondisi fana dan tidak dapat dianggap sebagai petunjuk karena dibuat ketika ia tertidur atau tidak dalam kondisi mukallaf yang sempurna. Lebih jauh lagi, tidak benar jika dikatakan bahwa al-Bustami adalah seorang sufi yang meragukan. Liqa al-arabbi juga dapat dibandingkan dengan pengertian Fana dan Baqa, yang keduanya ditujukan untuk membangun ittihad. Menurut uraian tersebut, ide-ide yang diusung Abu Yazid al-Bustami hampir sama dengan ide-ide al-Halaj. Selain itu, idenya tentang al-Ittihat mengarah pada keyakinan bahwa Allah Swt telah mengambil alih dirinya. Ia percaya bahwa dirinya adalah Allah dan Allah adalah dirinya. Lebih banyak orang akan percaya bahwa pendekatan ini menyimpang dari ajaran Islam jika diterapkan di masa depan. Orangorang awam yang rendah tingkat moral nya mudah mengarah ke dalam kesesatan.

C. Al-Hallaj

         Al-Hallaj adalah panggilan dari nama lengkapnya, Abu al-Mughits al-Husain Bin Mansur Bin Muhammad al-Baidhawi. Beliau lahir di sebuah dusun bernama "Thuur" pada tahun 244 H/858 M, dekat dengan desa Baidhaa di Persia.  Kakeknya, Muhammad, adalah seorang Muslim sebelum masuk Islam, dan ayahnya juga seorang Muslim. Sejarah ini tidak begitu meyakinkan. Ia dianggap sebagai keturunan dari sahabat Nabi, Abu Ayyub, oleh sebagian besar sejarawan Sufi.

         Dia dibesarkan di dekat Baghdad di Wasit. Pada tahun 260 H/ 873 M, ketika ia berusia 16 tahun, ia mulai tertarik dengan cara hidup Shufi dan dengan senang hati mencari seorang guru yang dapat memenuhinya sebagai hasil dari pencarian barunya. Sebagai hasilnya, ia menghabiskan dua tahun belajar di bawah bimbingan Sahal bin Abdillah At-Tustary, seorang ulama Shufi yang terkenal pada saat itu, di negara Ahwaz. Setelah belajar dengan Tustari, ia melakukan perjalanan ke Basrah untuk belajar dengan sufi "Amr al-Makki". Ia kemudian melakukan perjalanan ke Baghdad pada tahun 264 H/878 M untuk belajar dengan Al-Junaid, dengan penuh semangat mengikutinya di setiap padepokan. 

         Untuk memperluas pemahaman dan eksposurnya terhadap tasawuf. Kemudian, ketika ia melakukan perjalanan dari satu negara ke negara lain, ia mengajarkan pengetahuannya tentang tasawuf dan memperolehnya dari para Ulama' yang ia anggap sebagai ahli dalam bidang tersebut. Dia kadang-kadang diusir dan kadangkadang bahkan diancam akan dibunuh karena Tasawuf yang diajarkan di lokasi tersebut sering bertentangan dengan Tasawuf yang diajarkan di sana. Selama perjalanannya, ia singgah di kota-kota seperti Turstur, Khurasan, Sijistan, Karman, di belakang Sungai Persia, Ahwas, Bashrah, dan Baghdad.

         Sebagian besar karya Al-Hallaj hilang meskipun ada yang tersimpan di beberapa tempat. Hanya beberapa karya puisi dan prosa yang masih ada. Ibnu Nadhim, seorang sejarawan, mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Hallaj, yang meliputi 46 jilid, termasuk Madh al-Nabi wa al Hatsal al-A'la, At-Thowasin al-Azli, dan masih banyak lagi. Buku-buku ini termasuk Al-Akuf al-Muhaddatsah wal at-Azaliyah wa ai-Asma alKulliyah.

Konsep Pemikiran Tasawuf; Hulul

         Al-Hulul adalah salah satu gagasan sufisme; diciptakan oleh Hussein Ibn Mansur Al-Hallaj dan merupakan bentuk tambahan dari ittihad yang diajarkan oleh Bayazid. Dia adalah Shufi yang paling terkenal dalam sejarah sufi karena kegigihannya dalam menegakkan keyakinannya, terutama aliran pemikiran "Al-Hulul" yang dia sebarkan. Para ulama dan sufi pada zamannya mulai memperdebatkan Al-Hallaj.

          Al-Hulul, atau pengalaman batin dengan Tuhan yang dipublikasikan, adalah gagasannya yang paling kontroversial. Penggunaan "Ana al-Haqq" menjadi kontroversial. Beberapa orang tidak setuju dan mengutuk pernyataan Al-Hallaj, sementara yang lain mendukungnya. Tak disangka, kontroversi atas istilah tersebut berkembang.

         Dalam sejarah tasawuf Islam konsep hulul merupakan gagasan yang paling dianggap kontroversial dan ekstrim. Menurut hulul, setelah seseorang berhasil menggunakan fana' dan baqa' untuk memurnikan hati mereka dan mengatasi kecenderungan-kecenderungan manusiawi mereka, Tuhan akan masuk ke dalam tubuh mereka. Al-Hallaj menjelaskan tiga tahap fana': mematikan semua pikiran (tajrid taqli), imajinasi, emosi (perasaan), dan tindakan sehingga seluruhnya diarahkan kepada Tuhan; dan mengusir semua kemampuan fikiran dan kesadaran. Ketika manusia maju dari tingkat fana ke tingkat fana al fana, wujud aktualnya menjadi sadar akan Tuhan dan larut dalam hulul hingga hanya Tuhan yang disadari.

         Terdapat dua karakteristik mendasar dari manusia menurut Al-hallaj, yaitu esensi kemanusiaannya (nasut) dan sifat ketuhanannya (lahut).  Dia berpikir bahwa Tuhan memiliki sifat kemanusiaan di samping sifat ketuhanan-Nya. Penyatuan ini disebut oleh Al-Hallaj sebagai Al-Hulul (terjadi), Sehingga Al-Hallaj menyebuttnya sebagai Al-Hulul atau berpindah tempat.

         Al-Hallaj memahami bahwa sebelum menciptakan makhluk-makhluk-Nya, Allah hanya melihat diri-Nya sendiri. Tanpa menggunakan kata-kata atau huruf, Dia berbicara dengan diri-Nya sendiri secara terpisah. Dia hanya melihat ketinggian dan keagungan Zat-Nya, yang juga dipujanya. Cinta yang tidak dapat didefinisikan, dan cinta inilah yang menciptakan segalanya (makhluk-Nya). 

         Kemudian Dia menciptakan Adam dengan menciptakan bentuk dari ketiadaan. Sebagai hasilnya, Allah menjelma menjadi Adam, dan Adam memiliki sifat-sifat yang dipancarkan Allah. Ada sebuah ayat dalam Al-Qur'an yang berbunyi, "Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka semua, kecuali Iblis, yang enggan dan takabur dan termasuk golongan orang-orang yang kafir." Para malaikat diperintahkan dalam ayat ini untuk bersujud kepada Nabi Adam karena Allah ada di dalam dirinya, kecuali Iblis, yang menolak untuk melakukannya.

         Terdapat dua bentuk Al-Hulul Al-Hallaj yang tergambar jelas dalam konsep, yaitu:

  • Al-Hulul Al-Jawari; Al-Hulul Al-Jawari adalah dua, suatu kondisi di mana esensi yang satu dapat menggantikan esensi yang lain (tanpa penyatuan), seperti halnya air yang dapat menggantikan bejana. Cara hidup mistik adalah cara hidup seseorang yang menjalankan agama sebagai tindakan kebaikan dari Allah dalam upaya mendapatkan cinta yang saleh dan tidak dibatasi oleh sistem ibadah tertentu.  Penerapan cinta Allah dan definisi sistem ibadah yang benar antara Aqidah dan Akhlaq akan ditelaah, serta bagaimana kesamaan dan perbedaan beberapa jawaban tertentu terhadap musibah yang diakibatkan oleh pembagian Al Hallaj: bukanlah hal yang mudah menuduh seseorang hulul keluar dari Agamanya. Argumen di atas menunjukkan bahwa pernyataan al-Hallaj bahwa dia adalah kebenaran tidak secara tekstual membuktikan bahwa dia adalah Tuhan. Sebaliknya, itu adalah firman Tuhan yang disampaikan melalui al-Hallaj, dan perbuatan Tuhan adalah perbuatan Tuhan yang dilakukan oleh manusia setelah Tuhan menggabungkan sifat nasut dan lahut-Nya.
  • Al-Hulul Al-Sayarani adalah penggabungan dua esensi menjadi satu esensi, seperti halnya zat yang telah mengalir pada bunga. Al-Hallaj rupanya sampai pada pemahaman kedua ini.

         Penggalan berikut ini dari salah satu puisi Al-Hallaj menunjukkan statusnya sebagai pendiri mazhab al-hulul: "Jiwamu menyatu dengan jiwaku." seperti air suci dan anggur yang digabungkan. Jika Engkau tergerak, saya juga tergerak. Oleh karena itu, Engkau adalah saya dalam segala hal. "Akulah Dia yangKucintai" adalah puisi lainnya. Dan Akulah Dia yang aku puja. Kita berbagi tubuh dengan jiwa yang lain. Anda melihat Dia jika Anda melihat saya. Dan jika Anda melihat Dia, Anda melihat kami. Ayat-ayat ini memberikan bukti bahwa Al-Hallaj berpendapat bahwa manusia akan dapat bergabung dengan Tuhannya, atau yang disebutnya hulul, jika ia mampu menyingkirkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses fana.

         Definisi hulul dalam Al-Hallaj mengarah pada dua kesimpulan. Pertama, "mahabbah" yang dianut oleh Rabi'ah al-Adawiyah merupakan pengembangan atau bentuk lain dari "kata-kata cinta" yang dikemukakan oleh Al-Hallaj. Kedua, menurut Harun Nasution, Al-Hallaj (dengan pemahamannya tentang al-hulul) tidak memiliki kesatuan spiritual dengan Tuhan seperti yang dimiliki Abu Yazid ketika ia melakukan ittihad. Jika Abu Yazid bertemu dengan Tuhan, ia akan merasa seolah-olah identitasnya sendiri telah terhapus dan yang tersisa hanyalah Tuhan, atau satu-satunya wujud, yaitu Tuhan. Al-Hallaj tidak goyah dalam menghadapi Hulul. Aku adalah rahasia Yang Benar, ia menulis dalam puisinya. Aku bukanlah Yang Maha Benar. Hanya satu dari Yang Maha Benar adalah aku. Oleh karena itu, bedakanlah kami. 

         Syair ini menjelaskan dengan jelas bahwa Allah memutuskan untuk menggabungkan dua bentuk ke dalam satu tubuh manusia. Ittihad dan al-hulul berbeda karena Abu Yazid membandingkan Tuhan dengan dirinya sendiri ketika ia naik ke surga, sedangkan al-Hallaj membandingkan Tuhan dengan dirinya sendiri ketika ia turun ke bumi.

         Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa para ahli percaya bahwa tiga ajaran membentuk inti dari filsafat al-Hallaj: Hulul, atau Ketuhanan (Lahut) yang mengambil bentuk manusia (nasut); Al-Haqiqotul Muhammadiyah; Nur Muhammad sebagai sumber dari semua tindakan, pengetahuan, dan penciptaan semua tindakan ini dengan campur tangan-Nya.  Kesatuan segala agama dari ketiga tersebut di atas sesuai dengan judul makiah, bagian ini di fokuskan pada satu pokok bahasan saja yaitu al-Hulul.

         Menurut penafsiran para sejarawan terhadap Al-Hallaj, ia mengucapkan pernyataan-pernyataan yang bermasalah itu karena dua alasan: Pertama, ada kemungkinan bahwa pernyataan-pernyataan itu diekspresikan karena pengabdian yang begitu kuat kepada Ilahi sehingga si pembicara tidak menyadari bahwa yang berbicara adalah Ilahi. Kedua, pernyataan-pernyataan tersebut merupakan pernyataanpernyataan ilahi. Kemampuan untuk memastikan bahwa Tuhan "meminjam" bibir AlHallaj untuk menyampaikan keilahian Tuhan kepada duma mengindikasikan bahwa ada kekuatan di luar diri Sufi yang dapat menggunakan metode ekspresi Sufi untuk mengatakan apa saja. Hal ini ditolak oleh para sufi tradisional dan beberapa sufi lainnya karena secara signifikan menyimpang dari Syari'ah, tetapi ada juga beberapa yang mengklarifikasinya.

D. Imam Al-Ghazali

         Imam Al-Ghazaly lahir di desa Tus, Khurasan, pada tahun 450 H (1058 M) dan meninggal pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H / 1111 M, saat Nizamul Muluk menjadi perdana menteri Bani Saljuk. Ia dikenal dengan nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Al-Ghazali adalah nama yang digunakannya sejak ayahnya memintal benang wol. Ada yang mengatakan bahwa ia dilahirkan di kota Gazl, oleh karena itu ia dinamakan al-Ghazali.

         Keluarga al-Ghazali adalah keluarga miskin, akan tetapi cinta kepada ilmu pengetahuan dan bercita-cita tinggi. Lingkungan keluarganya membentuk sikap ketaatannya dalam menjalankan perintah agama, karena kedua orang tuanya sosok ahli ibadah. Perhatiannya mempelajari ilmu agama ditunjukkan sejak masih kecil, sehingga ia selalu mencari guru yang akan ditempati belajar. Karena keinginan besarnya itu dalam menguasai ilmu agama, dia terus mencari guru yang dapat mengajarkannya, dan dia bertemu dengan banyak guru, termasuk Ahmad bin Muhammad al-Zarqani al-Tusi, Ab Nasr bin Isma'il, dan Shekh Yusuf al-Nassaj alTusi, Ab al-Ma'al al-Juwayni (juga dikenal sebagai Imam Haramayn) dan Shekh Abu 'Ali al-Fadal bin Muhammad bin 'Ali al-Farmazi. Lapun sangat mahir dalam Ilmu Filsafat sehingga ketika dia diangkat menjadi guru besar di Perguruan Tinggi Nizamiyyah di Baghdad, dia mengajarkan Ilmu Filsafat daripada Tasawuf.. Di akhir hidupnya, ia kembali ke Tu, negeri kelahirannya, untuk mendirikan madrasah yang berfokus pada ajaran Tasawuf Sunni untuk mencegah pengaruh Tasawuf Falsafi yang telah menyebar ke seluruh Khurasan.

         Terlepas dari kemiskinan mereka, keluarga Al-Ghazali adalah keluarga yang aspiratif dan mencintai ilmu pengetahuan. Karena kedua orang tuanya adalah seorang yang taat beribadah, lingkungan rumahnya mempengaruhi sikap kesetiaannya dalam menjalankan perintah agama. Ketertarikannya untuk mempelajari agama sudah terlihat sejak ia masih kecil, sehingga ia selalu mencari guru untuk belajar. Beliau bertemu dengan banyak guru, termasuk Ahmad bin Muhammad al-Zarqani al-Tusi, Ab Nasr bin Isma'il, dan Shekh Yusuf al-Nassaj al-Tusi, serta Ab al-Ma'al al-Juwayni (yang juga dikenal sebagai Imam Haramayn) dan Shekh Abu 'Ali al-Fadal bin Muhammad bin 'Ali al-Farmazi. Karena keahliannya dalam bidang filsafat, ia memilih untuk mengajar filsafat daripada tasawuf ketika ia dipekerjakan sebagai profesor di Universitas Nizamiyyah Baghdad. Namun di akhir hidupnya, ia kembali ke Tu, tempat kelahirannya, dan mendirikan sebuah madrasah yang berkonsentrasi pada ajaran Sufi Sunni untuk melawan pengaruh tasawuf Falsafi yang telah mengakar di Khurasan..

Konsep Pemikiran Tasawuf; Al-Ma'rifat

         Dikenal sebagai seorang ulama, fuqaha, mutakallim, filsuf, dan shufi, Imam AlGhazaly sangat dikagumi oleh para ulama besar karena ilmunya yang luas dan dalam. Ia menegaskan bahwa para Mutakallimin sering melakukan kesalahan dengan menggunakan filsafat sebagai landasan penjelasan Ilmu Kalam. Dengan demikian, batas-batas filsafat adalah satu-satunya yang dapat dicapai oleh kebenaran ilmu pengetahuan, tidak dapat mencapai dasar-dasarnya. Akibatnya, ilmu pengetahuan tidak hanya tidak akan dapat memperkuat pendirian Tuhan, tetapi bahkan akan menggoyahkannya.

         Untuk mencari kebenaran agama, Imam Al-Ghazaly menggunakan teori filsafat. Namun, dia merasa teori tersebut tidak dapat memberikan jawaban yang tepat. Dari sinilah ia beralih ke Tasawuf. Dia benar-benar tertarik dengan bidang ini karena dia menyadari bahwa itu adalah hasil dari perasaan, atau hati, bukan hanya akal. Sebaliknya, ia mengakui bahwa ulama Shufi juga melakukan kesalahan, terutama mereka yang menganut ajaran Tasawuf yang bercorak Falsafi. Sebaliknya, ia mengakui bahwa para ulama' sufi juga bisa melakukan kesalahan, terutama mereka yang mengikuti tasawuf yang bercorak falsafi. Namun, kesalahan-kesalahan ini dapat diperbaiki, selama teori dan praktik (ilmu dan amal) terus saling berhubungan dan bukannya terpisah.

         Imam Al-Ghazaly menyusun suatu kitab yang terdiri dari beberapa jilid, yang diberi judul "Ihyaa' 'Ulumiddin" (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu Agama). Dalam kitab tersebut, beliau menghubungkan Ilmu Bathin dengan Ilmu Zhahir.24 Ini sebagai upaya untuk menyatukan ilmu Aqidah, Syare'at, dan Akhlaq ke dalam Ilmu Tasawuf, untuk menentang orang lain yang memisahkan ilmu Zahir dengan ilmu Batin. Dengan usaha ini, al-Ghazali digelari Hujjatu al-Islam. "Ihya' 'Ulumiddin" (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama) adalah karya dari Imam Al-Ghazaly. Beliau berusaha menyatukan ilmu Aqidah, Syari'at, dan Akhlaq ke dalam tasawuf dengan menjembatani kesenjangan antara ilmu-ilmu batin dan ilmuilmu lahiriah atau zhahir sebagai perlawanan terhadap mereka yang memisahkan keduanya. Al-Ghazali mendapatkan gelar Hujjatu al-Islam sebagai hasil dari hal ini. Jika sebelumnya, Al-Hallaaj menyatakan bahwa melalui proses "Al-Huluul", "AlKhaaliq" dan "Al-Makhluuq" dapat bergabung menjadi satu wujud, tetapi Al-Ghazaly menyatakan bahwa "Al-Khaaliq" adalah suatu wujud dan "Al-Makhluuq" adalah wujud yang berbeda. Meskipun manusia telah mencapai tingkatan maqam dan ahwal yang lebih tinggi, Oleh karena itu, falsafah Ai Huluul, Al-Ittihaad, dan Al-Fana' yang diajarkan oleh Ahli Tasawuf pada masa lalu tidak benar. Oleh karena itu, Tasawuf harus kembali ke ajarannya yang asli. Selain itu, Imam Al-Ghazaly mengkategorikan tingkat keimanan setiap hamba ke dalam salah satu dari tiga kategori, sebagai berikut: 

         Imam Al-Ghazaly juga membedakan tingkatan iman setiap hamba menjadi tiga tingkatan; yaitu: 

  • Iman orang Awam; yaitu orang-orang yang hanya beriman karena ada berita dari orang yang dipercayainya (Rasul).
  • Iman orang Alim; yaitu orang-orang yang beriman karena hasil penelitiannya, analisanya, serta kesimpulan dari upaya akalnya. 
  • Iman orang Arif (Bijaksana); yaitu orang-orang yang beriman setelah menyaksikan sendiri kebenaran hakiki yang didapatkan oleh pengalaman rohaninya, tanpa ada suatu hijab (tabir) yang menghalanginya. Untuk mencapai tingkatan iman Arifin, dapat ditempuh suatu cara dengan melepaskan diri dari pengaruh keduniaan (zuhud) serta melatih diri dan jiwa dengan ibadah kepada Allah dan selalu berdzikir kepada-Nya (Suluk).

         Dengan cara ini, keragu-raguan dan syak dapat dengan sendirinya hilang, menghasilkan ma'rifat. Sementara mereka yang mencapainya disebut sebagai "wali", yang berada di bawah Nabi dan mendapatkan wahyu dan ilham bersama Nabi., maka Wali hanya mendapatkan ilham saja. Karena ketidaktahuan yang melekat pada dirinya, manusia memiliki kebutuhan konstan untuk mempelajari hal-hal baru. Setelah mempelajari sesuatu, hati seseorang akan merasa puas dan gembira. Namun, ada dua jenis kesenangan: yang pertama adalah kesenangan yang dihasilkan dari kepuasan batin dan disebut sebagai Al- Ladzdzah, dan yang kedua adalah kesenangan yang dihasilkan dari kebahagiaan batin dan disebut sebagai As-Sa'adah.

         Semakin banyak pengalaman batin yang dialami hamba, semakin puas dan bahagia dia. Itu sebabnya orang yang memiliki pengalaman batin yang luas dan mendalam merasa lebih bahagia dan tenang, dibandingkan dengan orang yang memiliki pengalaman batin yang picik. Menurut Imam Al-Ghazaly, ma'rifat, atau mengenal Tuhan, adalah tingkat kepuasan dan kebahagiaan tertinggi, karena Dia adalah sumber semua kenikmatan dan keindahan yang dapat diterima manusia.

         Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, ma'rifat (mengenal Allah swt) adalah suatu keharusan bagi semua orang, karena dengan mengenal Tuhannya, seseorang akan mengenal dirinya sendiri. Al-Ghazali menegaskan bahwa kemampuan seseorang untuk memahami diri sendiri merupakan prasyarat untuk mencapai derajat ma'rifatullah karena tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai derajat ini sebelum ia mengenal diri sendiri. Selain itu, seperti yang dinyatakan dalam agama Islam, orang yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya di dunia fana ini

         Al-Ghazali mendefinisikan ma'rifat sebagai mengenal Allah; tidak ada yang ada kecuali Allah dan perbuatan-Nya sebagaimana ditulis oleh al-Taftazani. Menurut nya, Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu. Bukti kekuasaan dan kebesaran Allah adalah alam semesta. Ketika objeknya adalah Allah dan sifat-sifatnya, Ma'rifat yaitu Tauhid para shiddiqin, ma'rifat, di mana mereka melepaskan hak-hak mereka dan hanya mengakui keesaan Allah dalam segala hal. Ma'rifat adalah kondisi (hal) yang dimulai dengan upaya mujahadat, pembersihan sifat-sifat negatif, pemutusan semua hubungan dengan makhluk, dan penghadapan pusat cita-cita kepada Allah.

         Al-Ghazali mendefinisikan ma'rifatullah sebagai upaya untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan. Proses ini dimulai dengan menyucikan jiwa dan sering mengingat Tuhan. Pada akhirnya, hati nurani manusia akan memungkinkan mereka untuk melihat Tuhan. Ma'rifah yang paling mulia adalah ma'rifah yang paling lezat. Kemuliaannya ditentukan oleh tingkat ilmu yang telah dicapai. Ilmu akan menjadi paling lezat, paling mulia, dan paling baik jika ia lebih besar, lebih sempurna, lebih mulia, dan lebih agung dari ilmu-ilmu lainnya. Hal ini menunjukkan betapa manisnya sebuah informasi. Informasi yang paling lezat adalah tentang Allah swt, sifat-sifat-Nya, af'al sNya, bagaimana Dia memerintah, dan luasnya kekuasaanNya. Telah diketahui bahwa ma'rifah adalah kelezatan yang lebih kuat daripada kelezatan lainnya. Telah diketahui bahwa kelezatan ma'rifah melebihi kelezatan syahwat, kemurkaan, dan kelezatan indera-indera yang lain.

 Maqam Dan Hal Ma'rifatullah 

1) Maqam 

"Maqamat" secara harfiah diterjemahkan menjadi "tangga" dalam bahasa Inggris, tetapi juga merujuk pada landasan kehormatan atau tempat berdiri seseorang. Lalu, frasa ini juga digunakan untuk merujuk pada perjalanan sulit yang harus dilakukan seorang sufi untuk mendekati Tuhan.

a. Maqam Taubat 

Kata Arab "taba," yang berarti "pertobatan" atau "kembali," adalah asal muasal frasa "Al-Taubah". Di sisi lain, taubat adalah meminta pengampunan atas semua kejahatan dan kesalahan bersama dengan sumpah untuk menjalani kehidupan yang saleh dan tidak melakukan dosa itu lagi di masa depan, menurut para sufi. Al-Ghazali menegaskan bahwa taubat adalah kembali (ruju'). Dengan demikian, taubat adalah perubahan dari apa yang dicela oleh syariat menjadi apa yang dicari oleh syariat. Bagi seorang salik, taubat adalah tingkat pertama dari rumah. Hal ini dapat diibaratkan sebagai batu pertama yang harus diletakkan oleh seseorang ketika membangun jalan menuju Allah. Dalam perjalanan manusia menuju Allah, terkadang terlalu sulit untuk mengalami taubat yang benar dan merasa diterima oleh Allah. Terkadang mustahil untuk mencapai taubat yang benar dan merasa diterima oleh Allah karena tidak dapat diraih satu kali saja. 

b. Maqam Zuhud 

Zuhud secara harfiah diterjemahkan sebagai tidak menginginkan apapun dari dunia ini. Al-Ghazali mendefinisikan zuhud sebagai mengagumi akhirat dan membenci dunia. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa individu yang mengikuti jalan menuju Allah dan taat, memiliki sikap zuhud, yaitu memandang dunia dan mengabaikan perhiasannya. Selain itu, ia menjelaskan dasar-dasar agama ini dengan mencatat bahwa hal itu dimulai dengan memisahkan jiwa dari kenyamanan duniawi dan mengambil perilaku yang konsisten dengan keyakinan. 

c. Maqam Sabar 

Sabar secara harfiah berarti keteguhan. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, kesabaran adalah menahan diri dari tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang dalam menghadapi kesulitan, dan menunjukkan sikap puas bahkan ketika dalam kefakiran uang. Ibnu Atha menambahkan bahwa kesabaran mencakup sikap baik dan tabah dalam menghadapi kesulitan. Sudut pandang lain menyatakan bahwa kesabaran mencakup menghilangkan perasaan bahwa kita sedang mengalami kesulitan tanpa menunjukkan rasa permanen. 

d. Maqam Tawakkal 

Secara harfiah, tawakkal berarti berserah diri. Menurut Sahalbin Abdullah, permulaan tawakkal terjadi ketika seorang hamba nerdiri di hadapan Allah seperti mayat di hadapan orang yang memandikannya; yang terakhir ini mengikuti sesuai kehendak, tidak berdaya untuk menarik diri atau bertindak. Hamdun al-Qashshar mendefinisikan tawakkal sebagai berserah diri kepada Allah. Definisi yang ditawarkan oleh Harun Nasution juga sependapat dengan hal ini. Tawakkal, menurutnya, mencakup penyerahan diri kepada kehendak dan qada Allah. Selalu merasa tenang, menghargai apa yang diterima, sabar, dan taat pada qada dan qadar Allah.

e. Maqam Khauf (Takut) 

Wara', atau menahan diri dari segala sesuatu yang dilarang adalah tingkat khauf yang paling rendah, menurut Imam al-Ghazali. Tingkat berikutnya adalah menahan diri dari segala sesuatu yang memungkinkan untuk melakukan perbuatan haram atau syubhat, yang tidak langsung terlihat halal atau haram. Konsep ini disebut "Taqwa". Rasa takut juga dapat menyebabkan seseorang menghindari sesuatu yang tidak benar-benar haram karena khawatir bahwa hal tersebut dapat mengandung komponen haram.

f. Maqam Ar-Raja' (Harapan) Ar-Raja' atau pengharapan 

Ini adalah salah satu maqam para salik, atau mereka yang mencari Allah. Imam al-Ghazali mendefinisikan ar-Raja' sebagai keadaan di mana hati merasa tenang ketika menantikan sesuatu yang diinginkan atau disayangi. Menurut AlQusyairi, "Ar-Raja' adalah keterikatan hati kepada sesuatu yang dicintai yang akan diperoleh esok hari." Oleh karena itu, sesuatu yang dicintai harus ada terlebih dahulu sebelum bisa dicintai.

2. Hal 

"Hal adalah posisi yang dimiliki seorang hamba pada suatu waktu," kata Imam al-Ghazali. "Hal adalah saat ketika hati seorang hamba berubah," dan "seorang hamba akan menjadi jernih hatinya pada saat berada di dalam hal tersebut dan setelahnya."  Hal dicirikan sebagai anugerah yang diberikan Allah. Ia dapat berubah-ubah dan bersifat sementara maqam hanya dapat diperoleh melalui usaha yang gigih, kerja keras, dan tindakan. Seorang hamba harus membersihkan jiwanya dari segala sesuatu yang dapat menyinggung perasaan Tuhan untuk mencapai maqam.

Ma'rifatullah Sebagai Landasan Utama Pendidikan Akhlak al-Karimah.  

         Ma'rifatullah berfungsi sebagai peta jalan untuk membuat arah hidup seorang Muslim menjadi lebih jelas. Ia sampai pada kesadaran bahwa Allah adalah satusatunya yang menjadi tujuan hidupnya. Insya Allah, jika seseorang menjalani hidupnya sesuai dengan prinsip-prinsip ma'rifatullah ini, maka alam semesta akan mendukungnya. Salah satu ilustrasinya adalah bekerja tanpa mengharapkan pujian dari orang lain atau menjadi sukarelawan tanpa mengharapkan pemimpin untuk bekerja di depan Anda. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Fasilitas ini akan membuat hidup lebih mudah bagi manusia dalam segala usahanya.

         Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang Muslim harus memahami bahwa mencintai Allah adalah ketika cinta itu berada dalam bentuk yang paling murni dan indah. Mengenal Allah adalah landasan dasar yang harus diletakkan oleh seorang Muslim untuk mengalami keindahan cinta. Ma'rifatullah adalah jaminan bahwa seorang Muslim akan berhasil semaksimal mungkin dalam hidup. Keyakinan dan konsistensi hidup tidak mungkin dicapai tanpa itu.

         Menurut penjelasan di atas, dalam keadaan ini, Allah memenuhi hati seseorang dengan kasih sayang, memancarkan nur-Nya, membukakan rahasia alam malakut kepadanya, dan melapangkan dadanya. Karena kelembutan rahmat Allah, kelalaian hati orang tersebut tersingkap, dan hakikat masalah ketuhanan muncul dalam hati orang tersebut. Dengan cara yang serupa, para nabi dan waliullah memperoleh pengetahuan dan nur memenuhi dadanya. Mereka memperolehnya tanpa mempelajari atau membaca apa pun; sebaliknya, mereka memperolehnya melalui kehidupan duniawi yang zuhud, membebaskan diri dari belenggunya, membersihkan hati dari kekotoran, dan menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah. Ini dapat dicapai karena fakta bahwa jika seseorang bergantung pada Allah, maka Allah juga bergantung padanya.

        ...

Artinya: "Apakah orang-orang yang hatinya dibukakan oleh Allah kepada Islam dan yang mendapatkan cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang-orang yang hatinya tetap membatu)?" (Q.S. Az-Zumar: 22)

         Keduanya mengacu pada cahaya Tuhan, seperti yang dijelaskan dalam penjelasan ayat sebelumnya. Ternyata Tuhan dapat memilih untuk mengizinkan hamba-hamba pilihan-Nya untuk mendapatkan cahaya. Orang-orang yang menerima cahaya akan menavigasi kehidupan dengan mudah, sementara mereka yang tidak akan tersesat. Seorang sufi menemukan iluminasi dalam ma'rifah Tuhan. Sebagai hasilnya, sangat mungkin Islam akan mengadopsi ajaran ma'rifah.

E. Ibnu Araby

         Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin 'Arabi al-Hatimi al-Tai, dan ia juga dikenal dengan nama Ibnu Arabi dan Muhyi al-Din. Beliau adalah keturunan Arab dan lahir di Murcia, Spanyol, pada tahun 570 Hijriyah (atau 1165 Masehi), dan wafat di Damaskus pada tahun 630 Hijriyah (atau 1240 Masehi). Ia dikenal dengan nama Ibn al Arabi di Barat dan Ibn Suraqa di Spanyol. Di Timur, ia disebut sebagai Ibnu Arabi tanpa awalan "al" untuk membedakannya dengan Abu Bakar, seorang Qadi yang berbasis di Sevilla yang juga menggunakan nama Ibnu Arabi.

         Sejak masa remajanya, telah terlihat potensi kecerdasan dan ketekunannya yang luar biasa, yang pertama kali diakui oleh Ibnu Rusydi ketika dia baru berusia 15 tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar agamanya, dia selalu memiliki impian untuk pergi ke Timur dan mendalami berbagai jenis ilmu pengetahuan, sering kali membayangkan dirinya melakukan perjalanan jauh. Beberapa tahun kemudian, impian itu menjadi kenyataan ketika dia akhirnya melakukan perjalanan ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.

         Setelah selesai, ia tidak pulang ke negerinnya, tetapi pergi ke beberapa kota untuk belajar pada beberapa ulama. Tidak hanya menemukan guru Tasawuf, tetapi juga guru ilmu pengetahuan dan filsafat. Karena dia mahir dalam berbagai bidang ilmu agama dan umum, dia dapat menginterpretasikan pengalaman mistik dengan menggunakan berbagai teori dari berbagai ilmu pengetahuan. Termasuk pemikiran tentang wahdatu al-wujud, yang berarti kesatuan wujud, dan juga menyetujui wahdatu al-adyan, yang berarti kesatuan agama-agama, dari karya al-Hallaj sebelumnya.

         Dua buku paling terkenal yang dikarang oleh Ibnu Arabi adalah Fushush al Hikam dan al Futuhat al Makkiah. Harun Nasution menyatakan bahwa di Damaskus pada tahun 626 H, Nabi Muhammad memperoleh Fushush al Hikam secara keseluruhan dalam sebuah mimpi. Kodrat kemanusiaan dan rohaniah setiap nabi tercakup dalam Fushush, dan digunakan untuk menjelaskan bagaimana nabi tersebut menerima pengetahuan Ilahi.

Konsep Pemikiran Tasawuf; Wihdatul Wujud

a) Konsep Wahdatul Wujud

Sebelum membahas wahdat al wujud, berikut system pemikiran filsafat mistis Ibnu Arabi, di antaranya; 

  • Pemikiran tentang metafisika (Ma Ba'da al Thabi'ah). Ibnu Arabi menyatakan bahwa Allah adalah ma'alim pertama dari empat yang tidak ada lagi ma'lum di belakangnya. Allah sebagai al Wujud al Muthlaq karena tidak ada hal lain yang berkontribusi terhadap eksistensi-Nya; segala sesuatu yang ada adalah Dzat-Nya sendiri (wa wujuduhu laisa ghoiru dzatihi).
  • Ma'lum kedua adalah hakekat universal yang ada pada Tuhan dan pada alam semesta.  Hakikat ini dikenal sebagai qidam, yang didefinisikan sebagai sesuatu yang ada tanpa permulaan dan tanpa ada yang mendahuluinya, atau Hadits, yang didefinisikan sebagai sesuatu yang ada setelah kejadian, yaitu sesuatu selain Allah Ta'ala.
  • Ma'lum ketiga adalah alam semesta yang terdiri dari apa-apa yang ada di bumi dan di langit dan apa-apa yang tercakup dalam keduanya selain manusia.
  • Ma'lum keempat adalah manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang juga disebut dengan alam kecil (mikro kosmos). Sedang tiga ma'alim sebelumnya disebut dengan alam besar (makro kosmos).

         Suatu yang mungkin untuk menyebut alam universal sebagai alam atau tidak. Ini disebut Tuhan (al Haq) dan bukan Tuhan (khalq). Tergantung dari jumlah pribadi yang ada di alam, bisa satu atau beberapa. Allah telah hadir sebelum ada sesuatu yang lain (kana Allah wa lam yakun ma'ahu syaiun ghoiruhu). Kemudian Dia berkehendak untuk mewujudkan alam dalam bentuk yang telah Dia ketahui, dan ini mengarah pada penciptaan materi yang dikenal sebagai al haba'. Para filsuf menyebut sesuatu sebagai manifestasi pertama dari alam dan menyebutnya sebagai hayula.

         Maujud awal dibentuk oleh sebuah kekuatan (al quwwah al shalahiah), dan dari kekuatan tersebut muncul tindakan (al fi'il), yang berkembang dari waktu ke waktu hingga mencapai kesempurnaan. Cahaya Allah diterima oleh semua makhluk hidup sesuai dengan kapasitasnya. Hal ini dapat dibandingkan dengan bagaimana sebuah ruangan di rumah menerima cahaya dari siraj, di mana semakin dekat ruangan tersebut dengan siraj, semakin banyak cahaya yang diterimanya.

         Al haba' adalah hakikat Muhammad, yang juga disebut sebagai Aql, yang paling mirip dengan nur Allah. Dia adalah sayyidul alam yang mencakup segalanya, dan dia mengambil wujud pertama, diikuti oleh manifestasi-manifestasi lainnya dalam urutan kekuatan yang paling tinggi hingga rendah. Ada empat jenis wujud: Allah; Akal Universal, yang juga dikenal sebagai al Haqiqat al Muhammadiah; Jiwa Universal, yang menjiwai semua jiwa; dan Tubuh Universal, yang juga dikenal sebagai al haba' atau hayula.

         Di dalam kitab Fushush al Hikam disebutkan: Ada wujud yang azali dan ada wujud yang tidak azali (Hadits). Yang tidak azali adalah wujud Haq dalam bentuk alam yang tetap, sedangkan yang kekal adalah wujud Haq karena diri-Nya sendiri. Karena ia muncul dalam bentuk-bentuk tertentu dari alam semesta untuk kepentingannya sendiri dan sebagian untuk sebagian yang lain, maka ia dikenal sebagai hadis.

5) Filsafat Wahdatul Wujud

         Wahdat al-Wujud meyakini bahwa hanya ada satu Wujud dan bahwa seluruh alam semesta ini adalah manifestasi dari Yang Satu itu. Allah Ta'ala adalah Yang Satu itu. Yang Satu itu meliputi semua fenomena yang ada dan merupakan sumber daya akal yang menghidupkan alam semesta secara keseluruhan. Dalam konteks ini, Dia disebut al Hakekat al Muhammadiah; Dia adalah sumber kosmos yang mengatur alam semesta, jadi Dia disebut Jiwa Universal; dan Dia melakukan tindakan pada setiap wujud (mikro) di alam semesta, jadi Dia disebut Tubuh Universal. Dia berada dalam bentuk al haba' karena keberadaannya sebagai jauhar yang menghadap pada segala bentuk kejadian.

         Ibnu Arabi menyatakan bahwa hanya ada satu realitas yang ada. Kita memiliki dua perspektif tentang dunia ini. Ungkapan "esensi dari semua fenomena" (haq) dan "fenomena yang memanifestasikan esensi tersebut" (khalq) digunakan secara bergantian. Kata-kata "Yang Satu dan Yang Banyak", "Haq dan "Halq", hanyalah dua sisi subyektif dari realitas yang sama. Meskipun memiliki perspektif empiris yang berbeda, mereka semua adalah satu hal yang sama. Sebenarnya, inilah Tuhan. Ibnu Arabi berkata, "Apabila engkau pandang Dia melalui Dia, maka kesatuan itu menghilang".

         Wujud Tertinggi, dalam filosofi Plotinus, ada di mana-mana dan tidak ada di mana-mana. Ibnu Arabi mereplikasi filosofi Plotinus, meskipun dalam bentuk yang berbeda, demikian klaim AE Affifi (1989). "Yang Esa" Ibnu Arabi muncul sebagai esensi, bukan Esensi Universal, tetapi "Yang Esa" Plotinus muncul sebagai penyebab.

         Wujud Allah itu Mutlak. Wujud yang mutlak ini menampakkan diri dalam tiga martabat yaitu:

  • Martabat Ahadiah. Tuhan dipandang sebagai Wujud yang tidak memiliki sifat, nama, atau atribut lain dalam peringkat ini. Tuhan adalah segala sesuatu yang ada. Tuhan bukanlah apa yang ada setelah, apa yang ada sebelum, apa yang ada di atas, apa yang ada di bawah, bagaimana, di mana, atau kapan. Sebaliknya, Dia adalah apa yang ada saat ini. Dia tidak terdiri dari isim dan musamma, karena Dia adalah isim dan musamma-Nya.
  • Martabat Wahidiah . Dzat (tajalli) terungkap sebagai sifat-sifat dan asma dalam martabat ini. Al Asma Al Husna adalah istilah yang digunakan dalam tajalli ini untuk menggambarkan Allah sebagai pengikat sifat-sifat dan asma yang indah. Di sisi lain, sifat-sifat dan asma ini sama persis dengan Dzat Allah yang tak terbatas. Ada A'yan Tsabitah yang berada di antara Ahadiah dan Wahidiah dan memiliki kualitas eksistensi aktif dan pasif. Ia bersifat aktif dan pasif karena hubungannya dengan objek-objek fenomena dan menerima pelimpahan dari Yang Esa.
  • Martabat Tajalli Syuhudi . Allah memperlihatkan sifat-sifat dan asma-Nya dalam keagungan ini. Dengan firmanNya "kun", A'yan Tsabitah, yang sebelumnya merupakan wujud potensial di dalam Dzat Ilahi, kini mewujud dalam berbagai gambaran alam empiris. Hal ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan wahdat al wujud. Ibnu Arabi juga memiliki sejumlah gagasan lain, salah satunya adalah gagasan tentang agama global.

Tentang Agama Universal

        Sebuah agama dikatakan sebagai agama universal jika ide wahdat al wujud ini digunakan untuk menggambarkannya. Menurut aliran kepercayaan ini, hanya ada satu jalan yang jelas yang mengarah kepada Tuhan. Manifestasi penyembahan berhala yang paling ekstrem hingga ideologi agama yang paling halus semuanya diwakili oleh keyakinan ini. Ibnu Arabi berpendapat bahwa Islam monoteistik Muhammad bukanlah satu-satunya agama yang benar; sebaliknya, satu-satunya agama yang benar adalah agama global yang merangkul semua agama dan ideologi lain, yang ia sebut sebagai "Islam". Ibnu Arabi menegaskan bahwa "Islam" mencakup semua agama dan ideologi, tidak hanya yang dipraktikkan oleh Muhammad. 

        Ibnu 'Arabi juga menegaskan bahwa dasar dari semua bentuk pengabdian adalah cinta. Mencintai sesuatu yang dipuja adalah apa yang ditunjukkan oleh istilah "ibadah". Cinta adalah konsep universal yang meliputi semua wujud dan menyatukannya. Cinta itu suci. Oleh karena itu, objek tertinggi dan paling otentik dari Tuhan adalah cinta. Berikut ini penulis paparkan salah satu gubahan Ibnu Arabi: Dulu tidak kusenangi temanku Jika agamanya lain dari agamaku Kini kalbuku bisa menampung semua Ilalang perburuan kijang atau biara pendeta Kuil pemuja berhala atau Ka'bah haji berdatangan Lauh Taurat atau Mushaf Al Quran Kupeluk agama Cinta, kemampuan yang kutuju Kendaraanku cinta, ialah agamaku dan imanku.

        Ini adalah perspektif Ibnu Arabi tentang agama yang dibuktikan dengan filosofi wahdat al wujudnya, dan masih ada ide-ide yang terhubung dengannya, seperti ide Insan Kamil

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun