Ketika kita mengajar, apakah kita lebih sibuk menyelesaikan materi atau sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan unik setiap anak?
Seberapa sering kita berhenti sejenak untuk bertanya: apa yang sebenarnya anak ini butuhkan hari ini?
Anak-Anak Bukan Robot
Dalam pelayanan anak, ada satu hal yang sering luput dari perhatian para guru: anak-anak bukanlah robot. Mereka bukan mesin yang hanya bisa diperintah, diatur, dan dikendalikan sesuai kehendak kita. Anak-anak adalah pribadi dengan hati, perasaan, dan kebutuhan unik yang harus kita perhatikan dalam setiap proses pengajaran Firman Tuhan.
Sayangnya, kecenderungan yang terjadi adalah guru lebih suka mendikte: “Duduk yang rapi, dengarkan, catat ayatnya, hafalkan, lalu jawab pertanyaan.” Metode ini memang menghasilkan keteraturan, tetapi sering kali membuat anak hanya menjadi pendengar pasif, tanpa benar-benar menghayati pesan Firman. Padahal tujuan utama pengajaran bukanlah sekadar anak tahu kisah Alkitab, melainkan agar mereka mengalami Firman dalam hidupnya.
Ketika kita memperlakukan anak seperti robot, kita lupa bahwa setiap anak memiliki emosi yang berbeda. Ada yang datang ke kelas dengan hati gembira, ada yang lelah setelah seminggu penuh kegiatan sekolah, bahkan ada yang mungkin bergumul dengan masalah keluarga. Jika kita hanya fokus pada materi, kita bisa kehilangan kesempatan untuk menyentuh hati mereka. Anak-anak butuh guru yang mau mendengar dan memahami, bukan hanya yang memberi instruksi.
Selain itu, setiap anak punya gaya belajar yang berbeda. Ada yang belajar lebih baik melalui gambar, ada yang senang mendengar cerita, ada yang harus bergerak dan berinteraksi. Guru yang hanya mengajar dengan cara satu arah akan membuat sebagian anak tertinggal. Mengajar bukan sekadar menyampaikan informasi, tapi menemukan cara agar Firman bisa hidup dalam diri mereka.
Anak-anak juga perlu ruang untuk berekspresi. Mereka senang bertanya, bercerita, bahkan berimajinasi. Di sinilah guru dapat memberi kesempatan: ajak mereka berperan sebagai tokoh Alkitab, menggambar kisah, atau menceritakan ulang dengan bahasa mereka sendiri. Ketika anak-anak terlibat secara aktif, mereka tidak hanya mengingat cerita, tetapi juga menghayatinya.
Yang terpenting, anak-anak membutuhkan relasi. Mereka tidak butuh guru yang hanya memberi perintah, tetapi sahabat yang mau mendengarkan. Ketika anak merasa diterima, mereka akan lebih terbuka untuk belajar dan percaya bahwa apa yang diajarkan guru bukan sekadar teori, melainkan kebenaran yang hidup.
Anak-anak bertumbuh ketika mereka didengar, dimengerti, dan mengalami kasih Allah melalui guru yang peduli.
Firman Tuhan dalam Amsal 22:6 berkata, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Kata “menurut jalan yang patut baginya” mengingatkan kita bahwa setiap anak itu unik. Guru dipanggil bukan untuk menjadikan semua anak seragam, melainkan menuntun mereka sesuai jalannya, sesuai karunia dan kebutuhan masing-masing.
Oleh sebab itu, mari kita ingat bahwa mengajar anak bukan hanya soal disiplin dan aturan. Anak-anak bukan robot yang bisa diatur dengan tombol perintah. Mereka adalah pribadi yang sedang bertumbuh, yang membutuhkan kasih, pengertian, dan pengalaman nyata akan Firman Tuhan.
Mengajar adalah seni menuntun anak menemukan Tuhan, bukan sekadar mengisi memori dengan hafalan.
Mengajar bukan sekadar transfer ilmu, tetapi membentuk hati anak agar Firman hidup dalam keseharian mereka.
Sebagai guru, tugas kita bukan hanya mengisi pikiran mereka, tetapi juga membentuk hati mereka agar mengenal dan mengasihi Tuhan seumur hidupnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI