Setiap langkah dalam prosesi Pedang Pora menyimpan makna mendalam. Ketika pedang diangkat membentuk gapura, itu melambangkan gerbang baru yang akan dilalui oleh pasangan pengantin.Â
Ini menjadi lambang bahwa pernikahan bukan hanya penyatuan dua insan, tetapi juga penyatuan nilai-nilai militer dalam kehidupan berumah tangga.
Bagi istri atau suami non-militer dari prajurit, prosesi ini menjadi simbol penerimaan ke dalam keluarga besar militer.Â
Artinya, sejak hari itu, ia tak hanya menjadi pasangan hidup seorang prajurit, tetapi juga bagian dari sistem nilai, pengorbanan, dan komitmen yang menyatu dalam kehidupan militer.
Selain itu, formasi dan barisan pedang menunjukkan nilai disiplin, solidaritas, dan loyalitas yang sangat dijunjung tinggi di kalangan militer.Â
Semangat kebersamaan dalam mengawal pasangan yang menikah juga menunjukkan bahwa kehidupan seorang prajurit tak pernah berjalan sendiri selalu ada saudara seperjuangan yang siap mendukung.
Pelaksanaan yang Sarat Etika
Tradisi Pedang Pora tidak dilakukan sembarangan. Ada prosedur dan tata cara yang harus diikuti dengan disiplin tinggi.Â
Biasanya, Pedang Pora dilakukan oleh 6 hingga 10 orang prajurit yang dipilih secara khusus, biasanya dari angkatan yang sama atau rekan seangkatan di akademi.Â
Mereka mengenakan seragam dinas lengkap dengan atribut pedang dan mengikuti komando komandan upacara.
Pasangan pengantin akan berjalan perlahan melewati barisan tersebut sambil memberi hormat, dan para prajurit akan mengangkat pedangnya membentuk gapura.Â
Di titik tertentu, pedang akan disilangkan sebagai bentuk ujian simbolis bagi pasangan, menandai tantangan dan perjuangan yang akan dihadapi dalam kehidupan rumah tangga.
Beberapa variasi juga menyertakan "penghalangan"Â oleh prajurit wanita dengan menyilang pedang di ujung barisan, yang hanya akan dibuka ketika pengantin pria mencium tangan istrinya sebagai simbol kesiapan untuk menjaga dan menghormati pasangannya seumur hidup.