Mohon tunggu...
Jamrin Abubakar
Jamrin Abubakar Mohon Tunggu... wartawan

Penulis sejarah dan budaya yang beraktivitas di Donggala

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Donggala: Kota Kolonial Harus Jadi Kota Heritage

18 Desember 2024   19:01 Diperbarui: 18 Desember 2024   19:01 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bekas Rumah KPM Donggala peninggalan Hindia Belanda (Sumber: Jamrin Abubakar)

Di satu sisi pernah mengalami keterpurukan ketika masuknya pemerintahan Jepang. Penurunan drastis saat Jepang tidak ada pembangunan karena misinya melakukan perang ekspansi dalam arti memperkuat kekuatan perang di Asia Tenggara. Akibat perang, rumah Asisten Residen menjadi sasaran pengeboman setelah direbut oleh pemerintah Jepang.

Dalam perkembangan tahun 1945 terjadi perang yang melibatkan Sekutu untuk merebut Kota Donggala dari tangan Jepang. Banyak fasilitas kota mengalami kehancuran saat perebutan tentara Sekutu melawan tentara Jepang itu. Kembalinya pemerintah Belanda tahun 1945 setelah proklamasi itu, dimulai lagi pembangunan infrastruktur untuk membangkitkan kejayaan Kota Donggala dan pelabuhannya. Karena apa? kota ini pada masanya merupakan gerbang utama Sulawesi Tengah. Dari inilah segala jenis barang dari berbagai daerah, dalam hal ini dari pulau Jawa, Kalimantan, termasuk dari Eropa masuk melalui pelabuhan utama.

Pemerintah Belanda yang kembali berkuasa kembali membangun Borsumi, perusahaan yang memasok makanan dan pakaian serta berbagai keperluan sehari-hari. Borsumi ini lokasinya dikenal Aduma Niaga di kawasan Pelabuhan Donggala, mengalami kejayaan tahun 1946 sampai 1958. Bangunan itu dikenal pula Budi Bhakti setelah dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia hingga dalam perkembangan berikutnya silih berganti namanya. Dari sebutan Budi Bhakti berganti Aduma Niaga, Pantja Niaga dan Dharma Niaga. Sejak 20 tahun yang lalu namanya menjadi PT.PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia).

Pascakemerdekaan hingga dekade awal 1980, Kota Donggala dikenal kota niaga. Ketika itu dalam sehari, kapal yang berlabuh berbagai macam ukuran, dari yang kecil sampai yang besar mencapai 30 unit dalam sehari. Pekerja yang terlibat mencapai 500 orang sebagai buruh yang bekerja siang dan malam itu sepertinya tidak habis. Para buruh dipimpin mandor, setiap mandir memiliki buruh  antara 30 sampai 100 orang. Saking banyaknya barang yang akan dibongkar muat.

Bekas Pesanggarah Donggala di Kebun Kopi, Desa Nupabomba, Tanantovea merupakan peninggalan Belanda (sumber foto: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabup
Bekas Pesanggarah Donggala di Kebun Kopi, Desa Nupabomba, Tanantovea merupakan peninggalan Belanda (sumber foto: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabup

Kenapa Donggala dulu mengalami kejayaan, sedangkan sekarang mengelami kelesuan? Menurut saya, ada beberapa faktor. Faktor pertama, karena pusat pemerintahan Hindia Belanda semula berada di Kota Donggala kemudian dipindahkan ke Kota Palu sejak tahun 1945. Artinya pemindahan pusat pemerintahan dari Donggala ikut mempengaruhi perubahan perekonomian kota ini. Secara otomatis yang dibangun secara massif adalah Kota Palu yang menjadi ibu kota kabupaten dan ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah.

Faktor kedua, itu adalah ketika secara berangsur-angsur, aktivitas Pelabuhan Donggala dialihkan ke Pantoloan salah satu kota kecil di bagian Timur Teluk Palu. Pelabuhan itu dibangun 1975 dan diresmikan 1978 dan puncaknya tahun 1980. Dampak dari pengalihan itu memperburuk situasi Kota Donggala. Pelabuhan itu jiwa dan raganya orang Donggala, ibarat nadi perekonomian. Memindahkan pelabuhan, itu sama dengan mencabut rohnya penduduk.

Bayangkan, semula ada ribuan penduduk Kota Donggala yang menggantungkan hidupnya di pelabuhan sebagai buruh, sebagai pengecer barang, penjual makanan, tukang dokar dan lainnya. Ada puluhan warung makan, ada puluhan warung kopi yang siang dan malam beraktifitas di dekat pelabuhan, terutama di dekat pasar. Sepanjang Jalan Mutiara dan sekitarnya dekat pelabuhan ada banyak warung dan toko-toko kelontong, kemudian tutup dan kolaps. Penduduk pada waktu itu memang tidak sebanyak saat ini. Tetapi yang membuat ramai setiap hari ada banyak kapal kecil yang datang berlabuh berupa sandek, bagok, pinisi, kapal asing dan berbagai jenis perahun dari wilayah Pantai Barat arah selatan dan dari arah utara pesisir Sulawesi Tengah.

Sejak lesunya pelabuhan, kota mulai ditinggalkan dan jadi sepi. Para pedagang banyak yang pindah seperti pedagang Arab, pedagang Bugis, pedagang Cina dan berbagai suku Nusantara. Banyak yang pindah ke Kota Palu, Surabaya, Samarinda, Balikpapan, dan sebagian merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib.

Donggala yang dulu memiliki sebutan kota pemerintahan, kota pelabuhan, kota pelajar, kota perdagangan, kini tak lagi relevan. Secara realitas, tinggal catatan sejarah. Kini saatnya mengembalikan kejayaan dengan industri pariwisata. Bukan semata memoles potensi alam pantai dan lautnya yang indah seperti alam di seluruh Indonesia. Sebagai kota warisan, Donggala memiliki kekayaan sejarah dan heritage dengan gaya arsitektur kolonial tidak semua kota memilikinya.

Kini saatnya Kota Donggala yang kaya heritage itu direvitalisasi dengan menghidupkan suasana kota historis yang bergaya klasik dibarengi agenda event festival budaya berbsis publik setempat. Revitalisasi kawasan kota tua adalah penyelamatan warisan peradaban manusia dari masa kolonial menjadi kota wisata heritage. Acuannya adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun