Idries Shah dalam kumpulan tulisannya: The Exploits of The Incomparable Mulla Nasrudin, menceritakan sebuah kisah seperti ini.
Nasrudin sampai di Kota Baghdad yang ramai sekali. Melihat begitu banyak orang di situ, ia takut hilang. ”Bagaimana orang bisa tidak hilang di tempat macam ini,” pikirnya.
Waktu ia masuk ke sebuah kedai, dan ingin tertidur sejenak, ia menghadapi problem: bagaimana ia nanti menemukan dirinya kembali waktu bangun.
Waktu ia bisikkan soal ini kepada orang di sampingnya, ia dapat saran: ikatkan saja balon ke kakimu. ”Kalau kau bangun, cari orang yang ada balon di kakinya—itulah kamu”. Nasrudin setuju.
Tapi waktu ia bangun, ia dapatkan balon itu terikat di kaki temannya tadi. ”Itu dia saya,” kesimpulannya.
Tapi tiba-tiba ia bingung dan membangunkan si teman: ”Bangun! Jika kau adalah saya, lantas, ya Allah. siapa saya?”
Cerita tadi dikutip dari tulisan Gunawan Mohamad, juga terjadi dalam berbagai rupa dan bentuknya dalam kehidupan kita sekarang – kita bingung – betul-betul bingung.
Bingung bagaimana kita beradaptasi dengan keadaan esok hari, bingung harus memilih yang mana dan bingung-bingung yang lainnya. Kenapa bingung – karena apa yang kita pikirkan dan rencanakan kemarin bisa berubah seketika esok hari.
Kalau orang ekonomi menyebutnya gig economy. Lalu apa yang bisa kita jadikan acuan untuk terus melangkah kalau begitu?.
Kembali kepada apa yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Yaitu nurani dan akal sehat. Menurut pemahaman saya, uraian Jared Diamond dalam bukunya The World Until Yesterday akhirnya berujung pada nurani dan akal sehat saja.