Mohon tunggu...
James P Pardede
James P Pardede Mohon Tunggu... Freelancer

Menulis itu sangat menyenangkan...dengan menulis ada banyak hal yang bisa kita bagikan.Mulai dari masalah sosial, pendidikan dan masalah lainnya yang bisa memberi pencerahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benarkah Ada yang Cari 'Cuan' dari Penerapan Restorative Justice?

26 April 2025   14:29 Diperbarui: 26 April 2025   16:55 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antara tersangka dan korban di Gunungsitoli akhirnya berdamai setelah difasilitasi jaksa fasilitator Kejari Gunungsitoli (Foto : Dok Kejari Gunungsitoli)

PENERAPAN keadilan restoratif atau restorative justice dalam penyelesaian sebuah perkara, tujuan akhirnya adalah bagaimana perkara tersebut selesai dan tidak perlu lagi dilanjutkan sampai ke persidangan. Penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif lebih mengutamakan perdamaian dan mengembalikan keadaan ke keadaan semula.

Artinya, antara tersangka dan korban saling memaafkan dan korban berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Apakah proses penyelesaian sebuah perkara dengan menerapkan keadilan restoratif begitu mudahnya dicapai?

Sejak diterapkan, penerapan restorative justice yang akrab disebut RJ telah menuai banyak opini. Ada yang menyebut, RJ menjadi peluang bagi aparat penegak hukum untuk mendapatkan 'cuan' dari penerapannya, ada juga yang memberi tanggapan positif dimana dengan penerapan RJ maka jumlah terpidana atau penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa ditekan jumlahnya.

Berdasarkan beberapa referensi terkait penerapan RJ ini, ditemukan bahwa penerapan Restorative Justice di Indonesia mulai diakui dan diimplementasikan sejak tahun 2012 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU ini memuat konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak melalui upaya diversi.

Kemudian pada tahun 2020, dikeluarkannya Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif yang kemudian semakin gencar digalakkan oleh institusi Kejaksaan di seluruh Indonesia.

Belakangan, penerapan RJ ini semakin populer di kalangan aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan bahkan Pengadilan. Tujuan akhirnya adalah penyelesaian perkara tanpa harus berakhir dengan kata 'memenjarakan' atau memasukkan tersangkanya ke dalam penjara.

Sesuai dengan judul yang diambil dalam tulisan ini, benarkah ada yang cari 'cuan' dari penerapan RJ di lapangan? Jawabannya kembali kepada diri kita masing-masing apakah kita benar-benar ingin menciptakan suasana damai, menghentikan rasa dendam berkepanjangan atau hanya ingin mendapatkan keuntungan dari kesengsaraan orang lain?

Mengulas sedikit tentang penerapan RJ di Indonesia, keadilan restoratif ketika diterjemahkan secara arif artinya adalah suatu metode yang secara filosofinya dirancang untuk menjadi suatu resolusi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.

Artinya, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila sebuah perkara diselesaikan dengan penerapan keadilan restoratif. Kalau berdasarkan Perja No.15 Tahun 2020, syarat utamanya adalah tersangka belum pernah melakukan tindak pidana, ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun penjara, kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2,5 juta, kemudian antara tersangka dan korban ada kesepakatan untuk berdamai.

Mengedepankan Hati Nurani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun