Mohon tunggu...
Mudzakir Ruslan
Mudzakir Ruslan Mohon Tunggu... Nelayan - Homo sapiens

Manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Waspada! Generasi Milenial Indonesia Rentan Terpapar Radikalisme

7 November 2019   15:26 Diperbarui: 7 November 2019   15:33 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Generasi milenial rentan terpapar radikalisme. Merujuk pada Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial Indonesia terbitan 2018 oleh BPS, generasi milenial adalah mereka yang dilahirkan antara tahun 1980 s.d. 2000. Data ini diperkuat dengan pernyataan Wawan Purwanto pada Agustus 2019. Dalam suatu acara radio ia mengatakan bahwa anak-anak muda berumur 17---24 tahun itu menjadi target utama penyebaran paham radikal termasuk ekstremisme dan terorisme. Hal ini karena mereka masih muda, energik, mencari jati diri, dan masih memiliki semangat yang tinggi. Selain itu, mereka relatif belum memiliki tanggungan keluarga.

Fakta-fakta sejarah membenarkan pernyataan tersebut. Pertama, Dani Dwi Permana (18 tahun, kelahiran 1985) asal Bogor, pada 2003, tercatat meledakkan bom JW Marriott. Salah satu dampaknya adalah batalnya kunjungan Manchaster United ke Indonesia. Kedua, Umar (19 tahun) WNI asal Banten, ia menjadi pengantin bom bunuh diri di Suriah. 

Ketiga, merujuk Kompas, MNZ alias Zamzam alias Jek (33 tahun, kelahiran 1985) dan tiga sekutunya telah ditangkap Densus 88 pada 2 Juni 2018. Empat orang itu merupakan alumi Universitas Riau dan secara tahun kelahiran masuk ke dalam kluster generasi milenial. Selanjutnya, hal ini perlu menjadi atensi, mengapa generasi milenial yang menjadi sasaran?

Generasi milenial rentan karena banyak menggunakan media sosial. Hal ini menjadi katalis generasi tinggi terpapar radikalisme. Riset Boston Consulting Group (BCG) pada generasi milenial Amerika Serikat menunjukkan bahwa 1) minat membaca secara konvensional kini sudah menurun karena Generasi Y lebih memilih membaca lewat smartphone, 2) milenial wajib memiliki akun sosial media sebagai alat komunikasi dan pusat informasi, 3) milenial pasti lebih memilih ponsel dari pada televisi, dan 4) milenial menjadikan keluarga sebagai pusat pertimbangan dan pengambil keputusan mereka.

Riset di atas juga digunakan di Indonesia serta relevan dengan data keluaran We Are Social dan Hootsuite pada Januari 2019. Sebanyak 268,2 juta penduduk di Indonesia, 150 juta di antaranya telah menggunakan media sosial. Angka itu meningkat 20 juta pengguna dibanding tahun 2018. Generasi milenial mendominasi penggunaan media sosial dan mereka menghabiskan waktu 3 jam 26 menit bersosial media dengan segala tujuan; tiga menit lebih lama dari pada tahun sebelumnya. Walaupun para ekonom menganggap hal ini sebagai pelung bisnis, negatifnya perilaku ini menjadi celah yang dimanfaatkan "kaum radikal" untuk mencari "pengikut" baru.

Diprediksi penyebaran radikalisme akan meningkat melalui jagat maya. Perkiraan ini dapat ditelaah dari "perkawinan apik" meningkatnya lama durasi generasi milenial bersosial media dengan laporan intelijen bahwa kasus radikalisme bermula dari media sosial. Dengan kata lain, di Indonesia, durasi bersosial media berbanding lurus dengan tingkat radikalisme pada generasi milenial. 

Kajian lain, Salju di Aleppo guratan seorangan pengamat Timur Tengah sekaligus dosen HI di Universitas Padjajaran, Dina Y. Sulaeman berargumen bahwa ketidakskeptisan dan ketidakcerdasan masyarakat dalam menanggapi konten di media sosial bisa berbuah radikalisme. Menurutnya, banyak warga negara Indonesia ter-framing oleh media sosial dan emosinya tersulut. Lebih parah, pasca terpapar hoaks terkait Suriah mereka mengumpulkan uang untuk berangkat jihad. Padahal, sejatinya mereka hanya menjadi korban.

Apabila dibiarkan, tentu hal ini akan menjadi "bom waktu". Generasi milenial yang telah terinveksi "virus" radikalisme memiliki potensi menurunkan "wabah radikalisme" kepada anaknya---generasi pasca milenial. Secara laten (tersembunyi), rasa toleransi bangsa Indonesia akan tersubtitusi dengan ruh intoleransi. Kerentanan ini menjadi "amunisi" untuk membuat mengadu domba masyarakat Indonesia oleh kelompok kepentingan.

Tentunya radikalisme dapat dicegah dengan modifikasi konsep "perang semesta". Konsep ini lahir pertama kali oleh Jenderal Besar A.H. Nasution dan tertuang dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid I. Di lain sisi, penanganan lintas instansi atau multistakeholder terus dilaksanakan. Namun, hal ini belum mewakili "perang semesta" sehingga perlu dimasukkan unsur keluarga, media sosial, dan literasi rasikal. Kemudian, hal ini perlu dilakukan oleh semua unsur, bukan hanya pemerintah, melainkan santri, mahasiswa, masyarakat desa, dan seluruh komponen bangsa.

Pelaksanaanya, bisa mengadopsi Segitiga Konflik milik seorang Sosiolog Norwegia sekaligus pionir studi perdamaain dan konflik, Johan Galtung. Tentunya hal ini perlu dikaji dari dua sisi: generasi milenial dan oknum penyebar radikalisme. Segitiga itu terdiri atas direct violence (visible) serta cultural violence dan structural violence (invisible). 

Hal yang terlihat adalah meningkatnya durasi penggunaan media sosial dan konten radikal. Hal terpenting adalah. Sedangkan hal yang tidak terlihat dari sini generasi milinial sudah terjawab oleh pernyataan Pak Wawan di atas. Adapun dari sisi oknum penyebar radikalisme diantaranya adalah dendam pribadi atas pemerintah dan kebencian terhadap Pancasila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun