Saya tidak mengataan bahwa agama Islam yang dipegang oleh rakyat Brunei tidak kuat, tidak tahan uji bila berhadapan dengan agama Kristen, tetapi alasan yang dipakai oleh pemerintah Brunei itu terlihat begitu menggelikan. Tentu saja doktrin-doktrin dalam agama Islam sangat kuat dan tidak mudah digoyahkan.
Saya lebih cenderung mengatakan bahwa ujilah iman kepercayaan anda dengan bertemu langsung dengan iman kepercayaan lain yang berbeda. Berkaca pada iman kepercayaan anda dengan melihat kepercayaan orang lain. Diskursus antar agama melahirkan pemahaman baru. Tesa, antitesa dan Sintesa akan sebuah iman akan melahirkan iman baru yang lebih kuat. Tuhan menciptakan perbedaan di antara umat manusia, agar saling menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna selagi kita masih di dunia ini.
Apakah pemerintah Brunei sangat khawatir jika agama Kristen berkembang di Brunei? Ataukah pemerintah Brunei takut jika Perayaan Natal itu akan membuat rakyatnya tertarik menganut agama Kristen? Ataukah pemerintah Brunei melihat bahwa dalam perayaan Natal itu telah disusupi oleh gaya hidup materialisme, hedonisme, konsumerisme? Alasan terakhir ini mungkin saya cenderung setuju.
Jika dibandingkan dengan Brunei, Indonesia mungkin bisa dikatakan jauh lebih baik. Pemerintah masih menjamin dan melindungi perayaan Natal di mana-mana, kecuali di daerah-daerah tertentu. Maka orang-orang Kristen yang tinggal di Indonesia bersyukur tidak diperlakukan seperti di Brunei.
Namun satu hal yang perlu menjadi catatan bagi orang Kristen adalah perayaan Natal sekarang ini apalagi di Jakarta, sudah cenderung menjadi perayaan komersial yang disusupi oleh gaya hidup hedonisme, konsumerisme dan materialisme. Hal itu sangat kentara sekali di mal-mal dan di pusat-pusat perbelanjaan. Hal itu sebetulnya telah merusak esensi dari perayaan Natal itu sendiri yang dirayakan dalam kesederhanaan. Mungkin hal terakhir inilah yang ditakuti oleh pemerintah Brunei.