Mohon tunggu...
Jailam Dafiq
Jailam Dafiq Mohon Tunggu... mahasiswa

mencoba adalah seni untuk berhasil

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sejarah Pemikiran Asy'ariyah dan Perkembangannya

13 Oktober 2025   07:47 Diperbarui: 13 Oktober 2025   07:47 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

SEJARAH PEMIKIRAN ASY'ARIYAH DAN PERKEMBANGANNYA
Moh. Jailam Dafiq
Mahasiswa Ekonomi Syariah
Universitas Kiai Haji Achmad Siddiq

ABSTRAK
Asy'ariyah adalah teologi yang didirikan oleh Abu Hasan Al-Asy'ari. Teologi ini sering disebut sebagai "Teologi Moderat". Ia merupakan tokoh penting yang berpengaruh besar saat ini. Penelitian ini menggunakan Metode Studi Pustaka, yang bertujuan untuk menjelaskan dan menguraikan sejarah lahirnya Asy'ariyah dan pemikiran-pemikirannya, khususnya tentang Kasb, akal, dan wahyu. Rumusan teologis ini memanfaatkan dalil-dalil tekstual berupa teks-teks suci Al-Qur'an dan Sunnah, seperti yang dilakukan para muhadditsin, dan juga menggunakan dalil-dalil rasional berupa mantiq dan logika. Pendekatan ini cukup unik, ia mampu mengambil hal-hal baik dari Salafiyyah---pendekatan tekstual namun tidak seketat Hanabilah dalam penolakan mereka terhadap argumen-argumen logis dan berupa kombinasi pendekatan logis-kontekstual namun tidak sebebas Mu'tazilah. Sikap teologis Asy'ariyah terhadap kehidupan kontemporer bersifat terbuka, realistis, pragmatis (selektif, kritis, akomodatif, dan responsif) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Singkatnya, dengan melihat lintasan dan betapa kokohnya fondasi paradigma Asy'ariyah, hal tersebut telah terwujud dalam bentuk relevansinya dan bagaimana ia mempertahankan Ahlus Sunnah wa Al-Jama'ah dalam kehidupan kontemporer.
Kata Kunci : Asy'ariyah, Teologi, dan Pemikiran

PENDAHULUAN
Dalam sejarah pemikiran Islam, kemunculan berbagai aliran teologi (kalam) merupakan konsekuensi dari dinamika intelektual dan sosial umat Islam dalam memahami ajaran agama, khususnya dalam hal ketuhanan, kehendak manusia, dan hubungan antara akal dan wahyu. Sebelum munculnya berbagai mazhab seperti Khawarij, Murji'ah, Qadariyah, Jabariyah, dan Mu'tazilah, umat Islam belum mengenal istilah khusus Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebagai sebutan untuk mazhab tertentu. Pada masa itu, seluruh umat Islam dianggap sebagai bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah secara umum karena belum terjadi perpecahan pemikiran yang tajam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan munculnya berbagai aliran dengan pendekatan yang berbeda terhadap konsep ketuhanan dan perbuatan manusia. Kaum Mu'tazilah, misalnya, dikenal sebagai kelompok rasionalis yang menekankan kebebasan akal manusia secara mutlak serta menempatkan logika di atas teks wahyu. Sebaliknya, muncul pula kelompok tradisional seperti Hanabilah yang menolak penggunaan logika secara berlebihan dalam memahami teks suci. Dalam situasi yang diwarnai pertentangan dua kutub ekstrem tersebut, muncul Abu Hasan al-Asy'ari sebagai tokoh yang berupaya memadukan antara pendekatan rasional dan tekstual dengan lebih seimbang.
Abu Hasan al-Asy'ari awalnya merupakan pengikut setia ajaran Mu'tazilah di bawah bimbingan Abu 'Ali al-Jubba'i. Namun, setelah melalui pergulatan intelektual dan spiritual yang mendalam, ia merasa tidak puas terhadap pemikiran Mu'tazilah yang dianggap terlalu menuhankan akal dan mengabaikan otoritas wahyu. Ia kemudian meninggalkan aliran tersebut dan mendirikan sebuah sistem teologi baru yang berupaya mengharmonikan antara akal dan teks wahyu, yang kemudian dikenal sebagai teologi Asy'ariyah. Aliran ini menjadi bentuk awal dari teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dan berfungsi sebagai jembatan antara rasionalisme Mu'tazilah dan tradisionalisme Hanabilah.
Dalam pandangan al-Asy'ari, Tuhan memiliki kekuasaan mutlak atas segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia. Namun demikian, manusia tetap memiliki peran tertentu dalam bentuk ikhtiar atau usaha, yang disebut dengan konsep Kasb. Melalui teori ini, al-Asy'ari berusaha menengahi pandangan ekstrem Jabariyah yang meniadakan kehendak manusia dan Qadariyah yang memberikan kebebasan mutlak kepada manusia. Dengan demikian, teologi Asy'ariyah dikenal sebagai "teologi moderat" (the middle theology), karena menyeimbangkan antara peran Tuhan dan peran manusia dalam kehidupan.
Selain itu, al-Asy'ari juga berpendapat bahwa penggunaan akal tidak boleh menyalahi wahyu. Akal berfungsi untuk memperkuat dan memahami teks, bukan menentangnya. Dalam konteks ini, ia menolak pandangan Mu'tazilah yang mendahulukan akal di atas wahyu, namun juga tidak bersikap anti-rasional sebagaimana Hanabilah. Pemikiran ini kemudian menjadi fondasi bagi berkembangnya teologi Islam yang bersifat kritis namun tetap berpijak pada otoritas teks suci.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara mendalam sejarah lahirnya teologi Asy'ariyah serta menguraikan pokok-pokok pemikiran utamanya, terutama teori Kasb dan hubungan antara akal dan wahyu. Kajian ini juga dimaksudkan untuk meluruskan pandangan sebagian pihak yang menilai bahwa aliran Asy'ariyah menyimpang dari Ahl al-Sunnah wal-Jama'ah, dengan menunjukkan bahwa justru aliran inilah yang menjadi representasi paling otentik dari teologi Ahl al-Sunnah wal-Jama'ah sepanjang sejarah Islam.
Penelitian ini menggunakan metode studi literatur (library research) dengan pendekatan historis dan analisis deskriptif. Sumber utama yang digunakan antara lain kitab Al-Ibanah 'an Ushul ad-Diyanah karya Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan buku Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam karya M. Abdul Karim. Melalui kajian pustaka ini, penulis berupaya menguraikan dinamika lahirnya teologi Asy'ariyah, perkembangan pemikirannya, serta relevansinya terhadap konteks kehidupan umat Islam modern yang menghadapi tantangan rasionalitas, kemajuan ilmu pengetahuan, dan perubahan sosial.
Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman tentang posisi teologi Asy'ariyah sebagai warisan intelektual Islam yang moderat, adaptif, dan tetap relevan dalam menghadapi berbagai persoalan teologis maupun praktis di era kontemporer.

PEMBAHASAN
Latar Belakang Lahirnya Faham al-Asy'ariyah
Teologi Asy'ariyah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang sangat berpengaruh dan menjadi fondasi bagi mayoritas umat Islam, khususnya penganut Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Aliran ini didirikan oleh Abu Hasan al-Asy'ari sebagai bentuk reaksi terhadap pemikiran Mu'tazilah yang terlalu menekankan rasionalitas dan kebebasan manusia. Dalam konteks sejarahnya, kemunculan Asy'ariyah berupaya menghadirkan jalan tengah antara dua ekstrem dalam teologi Islam, yaitu antara rasionalisme Mu'tazilah dan tekstualisme Hanabilah.
Al-Asy'ari pada awalnya merupakan murid dari Abu 'Ali al-Jubba'i, seorang tokoh besar Mu'tazilah. Namun, ia mulai meragukan beberapa prinsip dasar yang diajarkan gurunya, terutama mengenai konsep al-Ashlah (bahwa Tuhan wajib melakukan hal yang terbaik bagi manusia). Melalui berbagai perdebatan dan pencarian spiritual, Al-Asy'ari akhirnya meninggalkan Mu'tazilah dan menempuh jalan teologi yang memadukan antara akal dan wahyu, tanpa menafikan salah satunya. Langkah ini menjadi awal berdirinya teologi Asy'ariyah, yang menegaskan keseimbangan antara rasionalitas dan keimanan tekstual.
Dalam teologi Asy'ariyah, terdapat dua pokok pemikiran utama yang menjadi ciri khasnya, yaitu teori kasb (usaha manusia) dan teori hubungan antara akal dan wahyu.

Biografi Imam Abu Hasan AL- Asy'ari
1. Nama Lengkap dan Kelahiran
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Hasan 'Ali bin Isma'il bin Ishaq al-Asy'ari. Beliau lahir di kota Basrah, Irak, sekitar tahun 260 H / 874 M. Beliau berasal dari keturunan Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat Nabi Muhammad yang terkenal karena keilmuan dan ketaatannya.
2. Latar Belakang dan Pendidikan
Sejak kecil, Abu Hasan al-Asy'ari tumbuh di lingkungan ilmiah di Basrah  salah satu pusat ilmu pengetahuan Islam kala itu. Beliau awalnya belajar di bawah bimbingan para ulama Mu'tazilah, terutama Abu 'Ali al-Jubba'i, salah satu tokoh terkemuka mazhab rasionalis Mu'tazilah.
Selama sekitar 40 tahun, beliau dikenal sebagai penganut dan pembela ajaran Mu'tazilah, yang menekankan penggunaan rasio (akal) dalam memahami teologi Islam.
3. Titik Balik Kehidupan
Sekitar usia 40 tahun, Imam al-Asy'ari mengalami perubahan besar dalam pandangan teologinya. Beliau menyadari kelemahan logika Mu'tazilah yang terlalu mengedepankan akal di atas wahyu. Menurut riwayat, beliau bermimpi bertemu Rasulullah, yang memerintahkannya untuk membela sunnah dan meninggalkan bid'ah.
4. Kontribusi dan Pemikiran
Setelah pertobatannya, Imam al-Asy'ari mengembangkan mazhab teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yang kemudian dikenal dengan "Asy'ariyyah". Mazhab ini berusaha menyelaraskan antara dalil naqli (wahyu) dan dalil 'aqli (akal) tidak menolak rasio, tetapi menempatkannya di bawah bimbingan wahyu.

Pokok Pemikiran Asy'ariyah
Teori Kasb
Dalam aliran Asy'ariyah, yang mewujudkan perbuatan manusia pada hakikatnya adalah Allah SWT, hanya saja manusia memiliki kemampuan yang disebut dengan kasb. Dalam konsep al-Kasb, Abd al-Rahman Badawi memberikan pengertiannya sebagai berikut: "Hubungan antara kemampuan dan kehendak manusia dengan perbuatan yang pada hakikatnya diciptakan oleh Allah"
Dalam hal ini, yang mewujudkan perbuatan manusia adalah Allah. Namun, manusia diberi daya dan pilihan untuk berbuat atas kehendak Allah. Manusia dalam perbuatannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Allah. Oleh karena itu, manusia, dalam pandangan al-Asy'ari, bukan f'il, tetapi ksib Berdasarkan itulah muncul teori al-kasb.
Menurut para ahli bahasa, kata kasb mempunyai makna dasar yang meliputi "menginginkan, mencari, dan memperoleh". Dari sini kemudian muncul, makna "mencari rezeki (usaha), "berjalan untuk mencari rezeki", dan "mencari sesuatu yang diduga mendatangkan manfaat (keuntungan), dan ternyata mendatangkan mudharat (kerugian)". Anak juga disebut kasb karena bapaknya menginginkannya dan berusaha untuk mendapatkannya. Al-Asy'ari membedakan antara khliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
Teori Akal Dan Wahyu
Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari dalam konsep akal dan wahyu beliau dan pengikutnya memiliki manhaj yang sangat baik yaitu dengan menggabungkan dua dalil yaitu dalil naql (Al-Quran dan Al-Hadits) dan dalil aqli yang besifat yaqiniyat atau dalam ilmu mantiq ulama menamakannya dengan istilah Al-Burhan. Beliau dan pengikutnya tidak pernah mendahulukan akal terhadap dalil naqli seperti yang biasa dilakukan kaum Mu'tazilah
Dalam teori kasab, Asy'ariyah berpendapat semua manusia memiliki kehendak untuk berbuat secara bebas, namun harus tetap mengindahkan norma dan etika kebaikan seperti yang disyartiatkan Islam. Teori ini menjadi penengah dari kaum Jabariyah dan Qadariyah, tidak juga memberikan kebebasan mutlak kepada manusia namun juga tidak memasrahkan semuanya kepada takdir Allah Swt karena membutuhkan ikhtiar di dalamnya.
Sedangkan dalam teori akal dan wahyu, Asy'ariyah berpendapat bahwa manusia harus tetap mendahulukan wahyu atau naql, akan tetapi manusia juga boleh menggunakan akal atau aql sebagai penguat atas apa yang mereka lakukan dan juga sebagai eksistensi manusia di muka bumi ini sebagai makhluk yang memiliki akal dan pikiran.

KESIMPULAN
Dari pembahasan singkat yang disampaikan dalam tulisan ini, sangat terlihat paham Asy'ariyah muncul sebagai solusi dari pelbagai macam masalah dalam sejarah pemikiran Islam. Di mana Abu Hasan Al-Asy'ari, mengalami banyak pembelajaran dalam perjalanannya mengarungi luasnya bahtera pemikiran Islam. Meski sudah sangat mendalami pemikiran dari paham mu'tazilah sebelumnya, namun hidayah tetap datang kepada Imam Al-Asy'ari dan akhirnya beliau membebaskan diri dari mu'tazilah lalu meneguhkan aliran Asy'ariyah. Banyak sekali pokok pemikiran yang dihasilkan dari Asy'ariyah, namun dalam tulisan ini hanya dibahas 2 pokok pemikirannya saja yang luar biasa sangatbesar manfaatnya hingga saat ini, yaitu  tentang teori kasab dan teori relasi antara akal dan wahyu.
Dalam teori kasab, Asy'ariyah berpendapat bahwa semua yang dilakukan manusia, dalam perbuatannya, bebas tapi terikat, terpaksa tapi masih mempunyai kebebasan. Sedangkan, dalam teori relasi akal dan wahyu, Asy'ariyah mengedepankan wahyu atau dalil naql terlebih dahulu baru dijabarkan menggunakan akal (dalil aql). Sehingga manusia memiliki peran juga di dalam hidup mereka di dunia ini dalam setiap langkah yang mereka jalani. Pemikiran inilah yang membuat eksistensi teologi Asy'ariyah masih bertahan hingga saat ini. Dengan membaca penjelasan dari tulisan ini, masyarakat modern saat ini, akan mampu bertindak sesuai kapasitasnya tanpa melewati batasannya.
Pertama, Secara teori koherensi, penelitian tersebut tidak memiliki kesesuaian pada setiap proposisi yang dimiliki, di awal bahasan tidak membicarakan kekurangan Asy'ariyah namun di dalam isi membicarakan banyak kekurangan Asy'ariyah sedangkan diakhir tidak dibahas kembali bagaimana hasil dari pernyataannya dalam penelitian tersebut. Kedua, secara teori korespondensi, pernyataan yang diutarakan dalam penelitian itu tidak sesuai dengan fakta ilmiah yang empiris yang sudah mapan, ketika fakta mengatakan Asy'ariyah adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, namun penelitian tersebut tidak demikian dan cenderung hanya menyampaikan opini yang tidak memiliki landasan kuat. Ketiga, secara teori pragmatisme, secara praktis maupun teoritis, pernyataan yang disampaikan dalam penelitian itu tidaklah memberikan solusi terhadap problem sosial yang ada, dan bertendensi membingungkan umat.
DAFTAR PUSTAKA
Sulaeman Yogi. (2023). Teologi Asy;ariyah : Sejarah Dan Pemikirannya. Bogor : EL- ADABI
Mahmudi, Wildana Latif. (2019). "Pertumbuhan aliran-aliran dalam Islam dan
Historisnya", Jurnal Bagun rekap Prima, 5 (2), 78-86.
Supriadin. (2014). "Al-Asy'ariyah (Sejarah, Abu Al-Hasan Al-Asy'ari dan Doktrin doktrin Teologinya)", Sulesana, 9 (2), 61-79.
Zein, Adnin dan Muhammad. (2020). "Epistemologi Kalam Asy'ariyah dan Al
Maturidiyah", Al-Hikmah Jurnal Theosofi dan Peradaban Islam, 2 (1), 112.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun