Mohon tunggu...
Jaeza Amalina Ghaisyani
Jaeza Amalina Ghaisyani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kapitalisme dan Keheningan: Mengapa Masyarakat Tidak Lagi Marah?

26 Juni 2025   23:54 Diperbarui: 26 Juni 2025   23:54 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
'Silence is not golden.' Sumber: https://mainebeacon.com/hundreds-turn-out-in-bangor-for-golden-empty-chair-town-hall/

Di tengah dunia yang penuh ketimpangan, mengapa amarah kolektif jarang muncul sebagai gerakan politik yang kuat? Tulisan ini menyelidiki bagaimana sistem kapitalisme meredam kemarahan sosial dan mengubahnya menjadi konsumsi, hiburan, atau apatisme.

Korban kekerasan dipaksa berdamai karena pelaku orang berkuasa, lahan warga digusur atas nama pembangunan, para aktivis dikriminalisasi. Semua ini bukan lagi kejutan. Ketidakadilan hadir di hadapan kita setiap hari. Tapi yang mencemaskan justru bukan hanya ketimpangan itu sendiri, melainkan bagaimana masyarakat tampak semakin terbiasa. Tidak ada gelombang kemarahan kolektif. Tidak ada mobilisasi besar-besaran. Bahkan, suara-suara yang bertanya pun semakin pelan.

Mengapa kita tidak lagi marah?

Fenomena ini tidak bisa dijelaskan semata lewat minimnya pendidikan politik atau apatisme generasi. Di balik diamnya publik, ada kerja sistemik yang berlangsung lama dan halus. Kapitalisme hari ini bukan hanya sistem ekonomi, melainkan juga cara berpikir, merasa, dan memaknai hidup.


Kapitalisme Emosional: Amarah yang Dijinakkan

Dalam budaya populer dan keseharian kita, emosi seperti kemarahan perlahan dikaitkan dengan ketidakmatangan. Kita diajak untuk tetap positif, bersyukur, dan fokus memperbaiki diri. Padahal, dalam banyak kasus, rasa marah adalah reaksi yang sehat terhadap ketidakadilan.

Sosiolog Eva Illouz (2007) menyebut fenomena ini sebagai emotional capitalism, yakni bagaimana sistem ekonomi turut mengatur dan mengkomodifikasi emosi manusia. Masyarakat didorong untuk "mengelola perasaan secara bijak", tetapi dalam praktiknya, ini sering berarti menahan kemarahan dan menerima keadaan.

Dengan kata lain, sistem hari ini tidak membungkam kemarahan secara kasar. Ia hanya membuat kita merasa bahwa marah itu tidak produktif, bahkan memalukan.


Ketika Kritik Menjadi Konten

Di era media sosial, banyak orang tetap menyuarakan ketidakpuasan. Tapi apakah itu cukup? Marah di Twitter atau membuat thread panjang bisa menjadi bentuk pelampiasan, tapi sering kali berhenti di sana. Respons publik terfragmentasi, cepat tergantikan, dan tidak punya daya dorong politik yang kuat.

Kemarahan di era digital sering kehilangan daya subversif karena langsung dikemas ulang menjadi konsumsi. Kritik sosial bisa viral, tapi juga cepat tenggelam. Lauren Berlant (2011) menyebut kondisi ini sebagai cruel optimism: kita berharap pada sistem yang sama yang justru melemahkan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun