Mohon tunggu...
Jacka Roo
Jacka Roo Mohon Tunggu... -

Perempuan conservative, jarang nyisir rambut, sedikit gaya+galak juga seruntulan, yang sok sibuk & senang menulis *ala kadarnya*. Kelahiran Sumatera tinggal di Australia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Xenophobiaku: Migrasi ke Luar Negeri

20 Juni 2011   10:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:20 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Haduh, gimana makanannya nanti disana. Ada toko groseri Indonesia gak ya? bagaimana caranya mendapatkan teman? Masjid jauh gak? Itu beberapa pertanyaan yang berseliweran dibenakku sebelum migrasi ke Negeri Kangguru (sebelumnya sih berkunjung hanya sebagai turis saja). Belum lagi membayangkan bagaimana nanti bepergian dalam kota di kota tujuan migrasi dan kendala bahasa serta budaya, pokoknya hidup ini serasa mulai dari nol lagi. Maklum Katak ini melompat jauh sekali dari tempurungnya, yakni ke Australia. Setelah sampai saya kaget karena berasa sepi banget suasanya, tidak ada pedangang kaki lima atau angkot yang hilir mudik apalagi ojek. Besoknya kami mencari pusat pertokoan Asia, syukurnya ketemu dan ternyata dekat, kebetulan toko tersebut bernama White Lotus punya orang Indonesia keturunan Cina. Namanya juga toko groseri Indonesia maka pembelinyapun rata-rata orang Indonesia, girangnya hati ini. Apalagi tersedia tempe, tahu, terasi, dan ikan asin. Layak saja daerah itu banyak restoran Indonesianya. Oh ya, bagi yang berminat ke Sydney daerah tersebut bernama Kingsford, catet ya... Basa-basi dengan beberapa pengunjung tokopun dilakukan, nah ada seorang wanita berjilbab yang memberitahukan sebuah kelompok pengajian di UNSW (University of New South Wales) yang dikelola oleh pelajar muslim Indonesia. Organisasi tersebut bernama KPII (Keluarga Pelajar Islam Indonesia), gak nyangka sampai sekarang saya masih aktif didalamnya dan bisa mendapatkan banyak teman, pernah memimpin untuk kajian akhwat periode 1 tahun dan kini masih aktif (insya Allah) mengajar baca Qur'an buat ibu-ibu di TPA Khairu Ummah - KPII. Silaturahmi indah dan bermanfaat. Keresahan lainnya adalah tentang daging halal namun bisa teratasi karena terdapat beberapa halal butcher yang tidak jauh lokasinya, akhirnya saya pilih yang di daerah Mascot karena tersedia eye fillet, salami dan pastrami. Kedua jenis yang terakhir itu bisa dipakai untuk topping pizza, sedangkan eye fillet adalah daging steak kegemaran suamiku. Oh good Gracious God, alhamdulillah! Masalah makanan dan mencari teman teratasi sudah. Sekarang tinggal menghafalkan rute jalan dan nomor bus. Selama 3 bulan lebih kerjaan saya jalan-jalan terus berduaan dengan anak saya yang usia saat itu masih 2 tahun, suami kasih aku peta berikut brosur bis, kereta dan kapal ferry, dia tidak bisa sering mengantar karena kesibukan dalam hal pekerjaan. Untuk itu saya harus berjiwa independent tidak lagi tergantung dengan ojek, becak ataupun angkot seperti di Indonesia. Pegang slogan "Malu bertanya sesat di jalan". Ternyata jalan-jalan seputar Sydney itu mudah, convenient dan sangat mengasyikkan, langitnya yang biru, gedung yang historic, taman yang asri, udaranya yang segar, pantainya yang indah, masyarakat yang multikultural (gak hanya bule doang), yang jelas gak perlu ngeluarin kocek untuk menikmatinya serta aman dari tindak kejahatan. Jalan-jalan memberikan kita kesempatan untuk bersosialisasi dengan penduduk lokal dimana bisa mengasah keterampilan berbahasa Inggris kita. Namun itu saja tidak cukup, sayapun bersekolah bahasa yang diberikan gratis oleh pemerintah Australia sebagai pemegang Permanent Resident. Wah baik sekali, andapun bisa belajar bahasa Inggris sampe tua jika memang dirasa belum cukup juga - keterlaluan itu sih - tapi emang betul lho. Sekarang saya merasa settled down 80% sisanya masih kangen suasana di Indonesia. Dugaan bakal menemui kesulitan yang luar biasa, kesepian, manyun, belum lagi pendidikan agama buat anak ternyata Xenophobia belaka. Jika kita berani, gesit, mandiri, keen to learn dan adaptable khususnya dalam bermigrasi maka akan sukses melewati tahap Culture Shock dan Xenophobia pun terkikis dengan hati lapang as you never been thought before. (fp) * Istilah xenophobia & cultur shock silahkan pake search engine (google) ** Tulisan lama saya yg saya re-post *** Image dari googling **** Tulisan ini saya ikutkan lomba lho (gak nanya) ^_^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun