Beberapa hari ini langit masih membumi binasakan harapan dengan air, meluruhi perut bumi dengan segenap air langit. Datang beriringan tak kesepian sama sekali. Jatuh satu persatu hingga menampar wajah bumi dengan halus penuh perasaan. Walau tanah tanah humus itu menjadi berserakan dan pada akhirnya kehidupan ada padanya. Semua butuh itu.
Pria lusuh itu masih mengecup batang rokok dibibirnya, dengan kecupan indah lalu asap mulai bergerombol keluar dari bibir kusutnya. Asap asap itu mencuat mengudara keluar halaman dan hilang ditengah deras rintik hujan yang mengguyur kos-an Jaka. Tanpa sehelai benang ditubuhnya, jaka duduk didepan teras halaman rumah kos-an menatap kosong pada langit yang sedang basah.
Orang orang diseberang jalan, masih berteduh takut pada hujan yang membasahi. Motor motor itu dibiarkan luruh dibasahi hujan. Semoga motor motor itu mendapatkan berkah dari hujan yang jatuh, fikir Jaka. Semua orang di seberang jalan itu hanya diam dan menatap pada segerombol air yang jatuh dan menggenangi lubang jalan yang kemudian berlarian pergi menyusuri got got jalan. Yang entah kemana berakhirnya.
Otaknya kosong, tak ada apa-apa disana. Hanya ada utang utang yang menghiasi kepalanya. Seluruh hidupnya terlalu kaku untuk dibicarakan. Dan terlalu bodoh untuk disampaikan. Dia terlalu korup bila dijadikan anggota DPR, dan terlalu rakus bila dijadikan Presiden negeri ini. Maka Jaka memutuskan untuk menganggur saja. Ketimbang menjadi budak budak buruh pabrik.
Sepertinya ada yang menjagal ketika hujan turun sedari tadi, perasaannya tak begitu nikmat. Oh tentu saja. Jemuran yang sudah empat hari lalu di keringkan dibelakang rumah lupa diangkatnya. Lari, Jaka berlari menuju halaman belakang. Jemuran itu disana.
Tamat, riwayat jemuran itu sudah tak lagi diharapkan. Semuanya sudah basah dan sebagian jatuh berserakan. Hati biasa saja melihat itu, tapi besok mau pakai apa. Sial, Jaka kesal pada kelalaiannya. Bahkan Jaka menyimpan dendam pada hujan hari ini. Mengapa hujan tak mengabari dirinya sebelum jatuh, padahal jemuran itu sudah berusaha dikeringkan sejak empat hari silam. Dasar pelupa.
Dari luar kos-an terdengar suara orang meminta bantuan. Bukan minta sumbangan buat pemilu (canda doang). Jaka keluar dan melihat apa yang perlu dibantu. Mobil, dijalanan ada mobil mogok ketika hujan mengguyur. Jaka dengan gesit menuju lokasi perkara. Dan sesampai disana mereka berbasa basi hingga basa basi indonesia terkesan basi, kurang dipanaskan.
Orang itu butuh tali untuk menarik mobil yang mogok itu memakai mobilnya. Sudah sangat ramai. Mobil yang mogok menghalangi mobil lain untuk lewat. Bukan itu saja, ibu-ibu dengan jas hujan berwarna pink terlihat kusut. Tampak ada amarah yang dipendam. Mobil itu, mobil yang mogok itu menjadi sumber masalah dijalanan berhujan ini.
Jaka sudah basah, biarkan saja. Dia berlari kebelakang kos-an. Sangat gesit. Kemudian membuka sampul tali dengan cekatan, cepat dan akurat. Baju baju itu dibiarkannya berserakan. Loh, itu-kan tali jemuran milik kos-annya. Biarkan saja. Mungkin dia ingin terlihat baik didepan orang banyak seperti seseorang yang berkampanye didepan masyarakat dungu. Dungu? Kok bisa. Entah.
Akhirnya. Mobil itu telah pergi dan kemacetan jalan sudah binasa. Sayangnya tali jemuran menjadi kambing hitam ditengah hujan yang mengguyur. Yang penting jangan agama yang di kambing hitamkan. Itu saja. Jaka ngantuk dan butuh kehangatan ditengah derai hujan yang deras ini. Tidur juga pada akhirnya.