Mohon tunggu...
Izzuliyah Nur Baitullah
Izzuliyah Nur Baitullah Mohon Tunggu... Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memandang Fenomena Coming Out LGBTQ+ Dari Sisi Psikologi

8 Oktober 2025   17:30 Diperbarui: 8 Oktober 2025   17:26 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Media sosial merupakan wadah yang semakin lapang untuk menjadi media ekspresi individu, termasuk individu dengan identitas seksual yang beragam (LGBTQ+). LGBTQ+ merupakan akronim dari Lesbian, Gay, Transgender, Queer/Questioning dengan tanda + yang berarti identitas gender diluar kategori tersebut. Istilah ini merupakan istilah untuk menaungi keberagaman orientasi seksual diluar heteroseksual (American Psychological Association, 2021; Human Rights Campaign, 2023). Semakin hari, banyak individu yang secara terbuka mendeklarasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok LGBTQ+. Fenomena ini disebut sebagai coming out. Fenomena yang rasanya sudah sering kita lihat dalam unggahan TikTok, Instagram atau utas panjang di X (Twitter). Bahkan, tidak jarang kita lihat influencer melakukan coming out di media sosial dengan segala bentuk resikonya. Ada yang memuji karena berani, namun ada pula yang menuliskan ujaran kebencian secara dominan. Fenomena ini menjadi menarik sebab media sosial menimbulkan dualitas kondisi. Satu sisi menjadi ruang aman, satu sisi menjadi ladang subur untuk ujaran kebencian. 

Analisis hate speech di media sosial oleh Indotoxic2024 dan AJI-Monash menunjukan bahwa sentimen negatif terhadap kelompok minoritas (LGBTQ+) di media sosial terus naik dari tahun ke tahun. Alih-alih menjadi ruang aman, media sosial menjadi media ujaran kebencian dan penolakan terhadap eksistensi kelompok LGBTQ+ (Prameswara dkk., 2024; Monash-AJI, 2024). Fakta-fakta ini menunjukan bahwa gaungan narasi keterbukaan tidak cukup kuat untuk mengikis resistensi sosial yang masih cukup kuat. 

Mengapa Tetap Berani Untuk Coming Out? 

Kalau di pikir-pikir, ujaran kebencian terus meningkat, salah satunya karena netizen lebih banyak fokus pada "kenapa kamu melanggar norma/agama" daripada "apa yang kamu alami?" 

Sebenarnya, fenomena ini tidak jauh-jauh dari sisi psikologis, yakni bagaimana individu memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia. Maslow (1954) menjelaskan dalam teori hierarki kebutuhannya bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia adalah belongingness: kebutuhan untuk merasa memiliki, diterima dan dicintai. McLeod (2023) bahkan menegaskan bahwa kebutuhan ini terkadang lebih mendesak daripada kebutuhan atas keamanan. Tidak jarang kita melihat atau bahkan mengalami penolakan hanya agar kita bisa lebih jujur pada diri sendiri dan tidak merasa sendirian. 

Banyak kondisi yang menjadi contoh nyata bahwa diterima dan diakui adalah kebutuhan dan dorongan yang normal dimiliki oleh manusia. Marahan dengan pacar bisa selesai dengan bunga, chat yang panjang atau kehadiran tiba-tiba di depan rumah. Tapi, kalau masalahnya adalah dikucilkan dari circle nongkrong, enggak diajak makan siang padahal yang lain diajak, tidak digubris di WhatsApp Group hingga merasa invisible, rasanya pasti lebih sakit. 

Hal ini menjadi contoh nyata mengapa belongingness dalam teori Maslow dikatakan lebih menyakitkan saat tidak terpenuhi dibandingkan ketika kita kehilangan kenyamanan yang sifatnya sementara. Kita semua memiliki kebutuhan dasar tersebut. Hanya saja, saat ini perbedaan kecil kerap membuat pemenuhan kebutuhan dasar ini menjadi bias, seolah-olah pemenuhan kebutuhan dasar menjadi biasa atau kontroversi tergantung dari kelompok orientasi seksual mana suatu individu berasal. 

Dilema Ruang Aman Media Sosial

Media sosial memang memberi panggung yang aman sekaligus media pemenuhan kebutuhan dasar bagi komunitas LGBTQ+. Komunitas daring yang mudah didapatkan dari hashtag #Pride atau #LoveisLove, misalnya. Bisa juga anonimitas dan grup tertutup yang semakin mendukung kepercayaan diri untuk coming out. Atau bahkan kontrol narasi dimana individu bisa memilih kapan, bagaimana dan kepada siapa ia akan mendeklarasikan identitasnya. Wadah yang sangat ideal untuk coming out, bukan?

Namun, diluar itu penolakan dan ujaran kebencian juga tidak bisa dielakkan. Hadirnya panggung yang aman juga berbanding lurus dengan panggung kebencian berbasis norma, agama, moral dan budaya. Sangat masuk akal bagi Indonesia dengan penduduk mayoritas beragama. 

Situasi tarik ulur antara kebencian dan ruang aman tentu akan melahirkan konsekuensi sosial. Tajamnya ruang diskusi dan melebarnya ruang aman akan berdiri sebagai konsekuensi positif. Namun, arus besar coming out yang berbanding lurus dengan melebarnya sentimen negatif akan menimbulkan paradoks sosial sebagai ancaman krusial. Tajamnya polarisasi sosial, normalisasi ujaran kebencian serta diskriminasi struktural adalah dampak dari paradoks sosial yang tidak bisa dihindarkan. Ujungnya adalah melemahnya keharmonisan sosial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun