Meskipun sudah memiliki Perpres TBC, tampaknya upaya penanggulangan TBC di Indonesia belum berlari kencang. Padahal, TBC sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang sangat serius. Berdasarkan Global TB Report 2023, Indonesia merupakan negara dengan beban TB tertinggi kedua di dunia setelah India, yakni dengan estimasi kasus sebanyak 1.090.000 kasus atau 387 kasus per 100.000 penduduk. Sedangkan kematian akibat TBC mencapai 125.000 per tahun atau setara dengan 14 kematian per jam.
Data Kemenkes tahun 2024 menunjukkan capaian pengobatan untuk kasus TBC Sensitif Obat (SO) baru mencapai 84 persen dari target 90 persen, sedangkan pengobatan kasus TBC Resisten Obat (RO) baru sebesar 58 persen dari target 80 persen.
Salah satu tantangan besar dalam program penanggulangan TBC adalah masih rendahnya kesadaran pasien untuk menyelesaikan pengobatan TBC sampai tuntas. Juga, masih kurangnya kesadaran masyarakat menjalani terapi pencegahan TBC (TPT), yang sangat berguna untuk mengurangi risiko TBC sebesar 24-86 persen pada seluruh populasi berisiko, termasuk yang terdiagnosis TBC laten.
Quick Win Momentum untuk Sinergi Multi-sektor
Di tahun 2025 Presiden Prabowo Subianto mencanangkan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yang dikenal sebagai Quick Win. DPR RI dalam rapat panita kerja (Panja) B telah menyetujui besaran anggaran Quick Win sebesar Rp 121 triliun. Sebanyak Rp 8 triliun diantaranya akan diprioritaskan untuk program penanggulangan TBC, yakni untuk skrining kontak erat, pengobatan berkualitas, dan edukasi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang TBC.
Kabar ini awalnya cukup menggembirakan, dalam upaya percepatan penanggulangan TBC di Indonesia. Namun dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran di sejumlah kementerian dan lembaga, ada kekhawatiran bahwa anggaran Quick Win program TBC juga ikut terpangkas. Apalagi hingga saat ini belum ada pernyataan resmi pemerintah terkait ada atau tidaknya kemungkinan pemangkasan anggaran untuk program TBC tersebut.
Terlepas dari adanya kekhawatiran pemangkasan anggaran untuk program Quick Win TBC, sekarang ini sebenarnya adalah waktu yang tepat bagi semua pihak untuk berkolaborasi mendukung program eliminasi TBC. Momentum pencanangan Quick Win TBC oleh Presiden Prabowo Subianto sejatinya bisa menjadi momentum untuk menguatkan peran multi-stakeholder yang belum optimal di tahun-tahun sebelumnya.
Misalnya penguatan peran dari Wadah Kemitraan Penanggulangan Tuberkulosis (WKPTB) yang dibentuk pada 2021 dengan konsep pentahelik, dan digadang-gadang menjadi wadah sinergi, sinkronisasi dan kolaborasi stakeholder di tingkat pusat. Sejatinya WKPTB bertugas mendorong keterlibatan komunitas, mengkoordinir potensi dan sumber daya para mitra, dan menjadi penghubung antar-Tim Percepatan Penanggulangan Tuberkulosis (TP2TB) dengan komunitas dan multi-sektor.
Pencanangan Quick Win TB bisa menjadi momentum untuk kembali memperkuat komitmen semua pihak terkait, termasuk juga memperkuat koordinasi dan kolaborasi multi-sektor. Apalagi, pada November tahun lalu, Menkes Budi Gunadi Sadikin menghadiri diskusi nasional multi-sektor bertajuk "Diseminasi Memo Kebijakan Tuberkulosis (TBC) 2024-2029" yang diinisiasi Stop TB Partnership Indonesia (STPI). Memo Kebijakan ini menguraikan tantangan kritis, serta peluang strategis untuk mengendalikan dan mengurangi angka kejadian TBC dalam mempercepat eliminasi TBC di Indonesia.
Kita berharap diskusi nasional ini tidak hanya menjadi ajang evaluasi capaian tahun 2024, tapi lebih dari itu menjadi titik penyemangat bagi persiapan koordinasi, kolaborasi dan sinergi semua pihak di tahun 2025. Sebab, kita tak ingin membiarkan Kemenkes sendirian mengemban tugas eliminasi TBC 2030.
Momentum Hari TB Sedunia (HTBS) pada hari ini, tanggal 24 Maret 2025, bisa menjadi saat terbaik untuk mengencangkan tali sinergi multi-sektoral. Apalagi ini sejalan dengan tema  HTBS yakni GIATKAN: Gerakan Indonesia Akhiri Tuberkulosis dengan Komitmen dan Aksi Nyata. Tema ini mengingatkan, sekaligus mengajak semua pihak, untuk bergerak bersama mendukung progam penanggulangan TBC. Bersama kita bisa, berkontribusi bagi percepatan penanggulangan tuberkulosis, menuju eliminasi TBC 2030!