Target ambisius Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) untuk menemukan 1 juta kasus TBC di tahun 2025 berpotensi terancam. Tantangan khususnya datang dari sisi pendanaan, dipicu pemangkasan anggaran Kemenkes sebesar Rp 19,63 triliun. Mungkinkah program Quick Win untuk percepatan penanganan tuberkulosis sebesar Rp 8 triliun juga ikut terpangkas? Belum lagi imbas dari keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menghentikan pasokan obat Tuberkulosis, HIV, dan malaria ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Haruskah Kemenkes ditinggalkan sendirian mengejar target eliminasi TBC? Mungkinkah kolaborasi multi-sektor bisa memberikan dukungan maksimal hingga mengubah tantangan ini menjadi harapan?
Â
Pada 22 Januari lalu, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025. Inpres ditindaklanjuti dengan Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025, yang mengamanatkan penghematan anggaran kementerian dan lembaga sebesar Rp 256,10 triliun.
Kabar ini membuat banyak pihak terhenyak. Penghematan anggaran kementerian dan lembaga dikhawatirkan berdampak pada pelayanan kepada masyarakat luas. Salah satunya yang diperkirakan akan berdampak cukup signifikan adalah layanan kesehatan.
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menjelaskan pemangkasan anggaran Kemenkes RI mencapai Rp 19,63 triliun dari total Rp 106,76 triliun. Efisiensi anggaran ini kemungkinan berdampak terhadap vaksin dan obat-obatan.
Di tengah isu penghematan anggaran nasional, tersiar kabar dari negeri Paman Sam tentang penghentian pasokan obat Tuberkulosis, HIV, dan malaria ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.
Dua kabar tak mengenakkan ini cukup memukul pihak-pihak yang bergiat dalam program penanggulangan TBC. Masalahnya pemerintah sudah memiliki target khusus untuk mencapai eliminasi TBC pada 2030. Dikhawatirkan efisiensi anggaran dan penghentian bantuan obat-obatan akan berdampak pada terhambatnya program penanggulangan TBC.
Dukungan Perpres TBC
Upaya keras yang sudah dilakukan pemerintah dan masyarakat/komunitas untuk eliminasi TBC tidak main-main. Perkembangan dalam 5 tahun terakhir menunjukkan langkah yang positif. Indonesia adalah satu-satunya negara yang memiliki Perpres terkait tuberkulosis, yakni Perpres No.67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Perpres ini mengamanatkan untuk menggalang dukungan lintas sektor dan semua lapisan masyarakat dalam mendukung penanggulangan TBC. Terdapat tiga arahan presiden dalam percepatan penanggulangan TBC ini, yakni pelacakan secara agresif, harus tetap berlangsungnya layanan diagnostik dan pengobatan TBC, dan upaya pencegahan yang melibatkan lintas sektor.
Berbagai strategi sudah dilakukan pemerintah untuk mencapai target eliminasi TBC pada 2030. Dimulai dengan secara bertahap menambah dan melengkapi fasilitas pelayanan kesehatan, dengan sarana prasarana yang mendukung proses identifikasi dan pengobatan TBC. Dilanjutkan dengan strategi memperkuat dan memperluas surveilans berbasis laboratorium. Proses pemeriksaan TBC tidak hanya menggunakan TCM, tetapi juga menggunakan laboratorium PCR yang tersebar di seluruh Indonesia.
Strategi lainnya adalah mengembangkan TB Army secara luas ke beberapa daerah. TB Army adalah kegiatan pelacakan pasien initial Lost to Follow Up (iLTFU) TBC RO dengan melibatkan peran penyintas TBC dan organsiasi TBC. Terakhir, Kemenkes juga tengah mengembangkan 3 jenis vaksin TBC yang menggunakan teknologi berbeda-beda.