Perlahan deretan kendaraan yang baris tak teratur merangkak menyusuri jalanan yang dibatasi tiang-tiang jembatan dengan diiringi alunan klakson yang tak henti bergema sepanjang kepadatan. Entah apa yg diburu, seperti sebuah pertandingan kecepatan, berlomba sampai ke tujuan tanpa mengindahkan aturan, sehingga menambah kekacauan arus lalu lintas di jalanan.Â
"Bang, kiri... Di sini aja, Bang! " terdengar suara seorang wanita muda yang tampak sudah tak sabar dengan kebisingan dan kemacetan jalan.
Dia adalah Jingga, wanita sederhana yang setiap harinya bergelut dengan kebisingan jalanan saat pagi dan sore tiba. Â Berkawan dengan berbagai pedagang warung makanan, menjadi kegiatan wajib dia sehari-hari. Iya tentu saja, karena Jingga membantu ibunya berjualan gorengan, dan menitipkannya ke warung-warung makan, untuk membiayai kuliah dan kehidupan sehari-hari keluarganya. Tapi justru itu yg membuat dia selalu tampak bahagia di tengah zaman yang belum tentu bersahabat dengan kehidupannya.
Jingga terus menelusuri trotoar sambil menggandeng tas kecil berwarna abu-abu dengan pernik sebuah tulisan "Hope" di depannya. Langkah kakinya yang mulai terasa berat, tak menghentikan niatnya untuk segera pulang menemui keluarganya di rumah.Â
Beberapa kali Jingga melirik jam tangannya yang sudah mulai lusuh. Waktu pun seperti berlomba dengan langkahnya beriringan.
"Masih jam setengah 6...Aku masih ada waktu buat beli kolek untuk buka puasa nanti", gumamnya sendiri sambil tersenyum membayangkan kolek pisang kesukaannya.
Jingga pun berhenti di samping sebuah gerobak kecil yang menjual berbagai takjil. Tak butuh waktu lama untuknya membeli beberapa bungkus takjil kesukaannya.
"Kriinngggg... Kriinngggg... ", dering telepon tiba-tiba terdengar dibalik tasnya.
" Halo.. Assalamu'alaikum,Mah?", sapa Jingga.
"Jingga...!!", dengan suara perlahan dan terdengar lirih ibu Jingga menjawab. "Jingga... Dia kembali. Dia kembali ke rumah kita setelah sekian lama...", belum sempat ibu Jingga meneruskan kalimatnya, suara tangisan pilu terdengar jelas dibalik telepon genggam itu.
Senyum yang tadi terlukis di wajah Jingga kini berubah. Jantungnya mulai berdegup kencang, seolah ribuan rasa bercampur di sana. Nafasnya terasa sesak, menahan sesuatu yang tak bisa dia ungkapkan. Â Rasa perih yang menusuk tepat di hatinya. Tangannya mulai gemetar, bersamaan dengan tubuhnya yang seperti tak mampu lagi menopang sebuah beban.