Mohon tunggu...
Iwan Nurdin
Iwan Nurdin Mohon Tunggu... -

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)-Jakarta. www.adisuara.blogspot.com www.kpa.or.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melawan Gusuran Tanah

19 April 2010   08:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Konflik pertanahan, seperti yang terjadi di Priok, yang kerap menimbulkan korban akan masih terus terjadi kedepan. Bukannya berharap. Tapi, penggusuran memang masih akan terus terjadi. Jangankan kejadian di Priok, dimana Pelindo sudah punya sertifikat (syah tidaknya sertifikat masih debatable), di banyak tempat, surat izin saja bisa meggusur banyak rakyat.

Di Jambi, Riau, Kalimantan Barat, perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mengantongi izin dari Menteri Kehutanan, bisa mengerahkan polisi, brimob, pam swakarsa perusahaan, dan bahkan aparat TNI untuk menggusur kebun-kebun dan perkampungan rakyat. Bisa kampung yang baru, bisa juga kampung yang sudah lama keberadaannya sebelum republik ini ada.

Mengapa bisa? apakah surat izin bisa mengalahkan hak-hak rakyat yang secara hukum dan konstitusi wajib dilindungi. Apakah kepolisian benar-benar memahami hukum agraria sehingga berani terlibat dalam proses gusuran rakyat. Surat izin menteri kehutanan untuk HTI perusahaan bisa mengalahkan hak rakyat dan menjadi alasan penggusuran bukan hal baru. Ratusan kejadiannya di Indonesia.

Hutan di Indonesia itu ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah. Pemerintah menyebutnya kawasan hutan. Nah, penetapan kawasan secara sepihak itu, seringkali, ditetapkan di atas peta saja oleh pejabat di Jakarta, dan belum diverifikasi di lapangan kenyataannya sudah berbentuk apa. Jadi, yang disebut hutan di Indonesia ini adalah: Jika kementerian Kehutanan menyatakan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan. Itu saja.

Kemudian, kawasan Hutan singkatnya dibagi menjadi dua kawasan utama, yaitu kawasan produksi dan non produksi (lindung dan selevelnya). Nah, di dalam kawasan hutan produksi, belum pernah ada kebijakan yang kuat agar kawasan ini bisa dikelola rakyat. Dahulu, waktu kayunya mau diambil, diberikan kepada pemegang izin HPH. Setelah kayu habis, biasanya diberikan izinnya kepada perusahaan HTI. Ingat, 70 persen daratan Indonesia kawasan hutan, sementara orientasi rakyatnya nol besar.

Bagaimana dengan areal di luar kawasan hutan. Sama saja. Tanah diperuntukkan sebagian besar kepada perusahaan perkebunan, pengembang perumahan skala besar, perusahaan pertanian besar dan perusahaan infrastruktur seperti bendungan, jalan tol dll. Bagaimana caranya perusahaan-perusahaan ini memperoleh tanah: ada dua cara yaitu (1) membebaskan tanah yang dimiliki rakyat dengan proses ganti kerugian (diganti masih rugi) (2) perusahaan mengajukah kepada pemda dan menteri kehutanan agar tanah yang diminta yang kebetulan berada di kawasan kehutanan dilepaskan atau dikeluarkan dari kawasan hutan.

Lepas dari itu semua, apakah tanah dalam kawasan kehutanan (lindung maupun produksi) dan non kawasanan kehutanan, jika ditemukan tambang minyak, gas dan mineral, maka perusahaan tambang yang mau mengeksploitasi kawasan tersebut diperbolehkan oleh negara mendapatkan izin dengan syarat yang mudah.

Jadi, bisa disimpulkan, semua sumber agraria (tanah, air udara dan kekayaan alam) di Indonesia sesunggguhnya diabdikan sebesar-besarnya untuk kepentingan para pamilik modal. Maka, konsekuensi logisnya penggusuran masih (akan) tetap marak.

Sayangnya, pelajaran dari gusuran itu cuman satu. Lawan! maka jalan keluar akan terlihat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun