Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengangkat Kembali Nilai Kehidupan Bertetangga

14 Januari 2017   09:56 Diperbarui: 14 Januari 2017   17:35 3309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bertetangga dan bekerja bakti (koleksi pribadi)

Kehidupan bertetangga zaman dulu memang dekat dan berkesan. Kehidupan bertetangga dulu membuat kami bisa mengenal satu sama lain. Saya sangat mengenal bulik dan paklik, pakdhe dan budhe, atau mas dan mbak di rumah-rumah sebelah, bahkan hingga sekampung. Hal sebaliknya mereka juga mengenal keluarga kami.

Wujud hidup bertetangga zaman dulu, misalnya saling pinjam perkakas atau alat, antara lain pinjam perkakas pompa untuk sepeda, tangga untuk membenahi atap rumah, cangkul untuk membersihkan selokan. Kerja bakti atau ronda siskamling juga sering dilakukan saat itu. Ada juga kegiatan tahlilan atau kumpulan arisan. Atau saling berkunjung atau anjangsana bila ada keluarga sakit, tetangga punya hajat, ada tetangga baru, atau ada tetangga yang pindah ke tempat lain.

Ada kebiasaan yang saya lakukan saat kecil dulu. Sebagai misal, saya biasa dan sering diminta bantuan oleh Ibu untuk mengirim makanan ke tetangga. Misalnya suatu ketika Ibu masak kue yang jumlahnya tidak banyak. Kue itu selain untuk kami sekeluarga, juga dibagi ke dua atau tiga rumah tetangga sebelah. Juga misalnya Ibu-Bapak kebetulan dari bepergian dan membawa oleh-oleh. Itu juga dibagi. 

Belum lagi kalau ada momentum khusus, misalnya saat menjelang puasa, menjelang lebaran; atau hajatan sunatan atau lulus sekolah. Ibu memasak makanan dalam volume lebih besar lagi. Saya dan adik berbagi tugas, mengirim ater-ater ini selain ke tetangga dekat, atau tempat famili atau teman Bapak atau Ibu ke alamat yang lebih jauh (atau bisa disebut sebagai tetangga jauh). Hidup bertetangga seperti di atas, dinyatakan dengan wujud saling berbagai makanan.  

Fenomena itu juga dijalankan oleh tetangga satu kepada tetangga lain. Keluarga kami juga sering menerima kiriman makanan, dari siapa saja. Dan itu sangat berkesan dan membekas hingga saat ini. Teringat benar setiap tetangga memberi makanan yang khas dan unik. Kami menerima buah dari tetangga A, biskuit dari tetangga B, masakan capcay dari tetangga C, kue dari tetangga D, atau berkat (kenduri) dari tetangga E.

Berbagi makanan itu masih dilakukan oleh Ibu hingga sekarang. Ibu saya seolah memiliki energi yang besar untuk berbagi, dan senantiasa ada orang tertentu sebagai sasaran untuk berbagi. Kebiasaan Ibu itu, tidak jauh-jauh dari kebiasaan Almarhumah Nenek dahulu. Kami anak-anak berusaha mengikuti kebiasaan Ibu itu, meski rasanya tidak segiat ibu saya.


Nilai hidup bertetangga

Sedikit pengalaman di atas menunjukkan banyak hal positif dari hidup bertetangga, sebagai berikut.

Kepedulian. Zaman saya kecil, pendapatan per kapita masih sekitar 200 dolar, dan secara umum kehidupan masih miskin. Tetapi nilai budaya, keluarga, dan sosial masih dipegang erat tentang hidup peduli ke tetangga, atau kemuliaan berbagi atau memberi. Saat itu seperti tidak pernah menghitung-hitung uang untuk memberi makanan atau saling meminjam ke tetangga. Norma sosial begitu kuat untuk berinisiatif membantu yang lemah, saling menolong dan perhatian ke orang lain, tanpa takut kekurangan. Kami pegang erat nasihat orang tua tentang kepedulian dan menghormati orang lain.

Itu semua terwujud dalam kehidupan bertetangga, khususnya oleh anak-anak seusia saya. Saya merasa malu bila tidak bisa berbahasa halus (kromo inggil) dan lembut ketika berbicara dengan orang tua atau tamu. Orang tua juga malu kalau anaknya tidak mampu berbahasa halus. Saya juga malu kalau diberi uang oleh tetangga karena sudah membantu beliaunya. Karena membantu siapa pun adalah otomatis dan wajib tanpa mengharap apa pun. Karena itu saya merasa harus segera lapor ke Ibu tentang uang pemberian itu.

Nuansa kepedulian juga tertanam di pembelajaran sekolah. Pendidikan pelajaran akhlak dan budi pekerti serta ekstra kepramukaan memperkuat nilai dan norma sosial (dari keluarga) tentang kepedulian, bekerja keras dan menghormati orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun