Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kampung Madinah, Temboro

22 November 2012   02:44 Diperbarui: 4 April 2017   17:39 13125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi penulis, setiap perjalanan selalu memberikan kesan yang unik dan menarik.  Perjalanan, baik itu jauh atau dekat, sendirian atau berombongan, dengan moda transportasi apapun, dimanapun lokasinya, atau apapun tujuannya, sudah selayaknya dinikmati.  Hal ini juga membuat hati lebih nyaman, tenang dan terang.  Dengan menikmatinya, banyak hal, pengalaman, dan manfaat diperoleh.  Perjalanan kali ini, menikmati liburan 1 Muharam 1434H yakni ke Kampung Madinah benar-benar sangat luar biasa, sungguh sangat berkesan. Kampung Madinah terletak di desa Temboro, kecamatan Karas, kabupaten Magetan, pada posisi geografi  7°35’14.41″ Lintang Selatan; 111°23’24.09″ Bujur Timur.  Menuju desa Temboro ini, dapat dicapai melalui jalan raya dari Madiun menuju Ngawi.  Sesudah terminal

Maospati (dekat komplek Angkatan Udara Iswahyudi), sekitar 200 m ke arah Ngawi, kemudian belok ke kiri (barat)  memasuki jalan desa sejauh kurang lebih 1.5 km.  Kampung Madinah ini berdekatan dengan pondok pesantren (PP Al Fatah), dan kehidupan sehari-hari banyak dipengaruhi oleh pondok yang memiliki santri sekitar delapan ribuan.
Kata yang tepat adalah Masya Allah (itu semua atas kehendak Allah), .. luar biasa… ketika masuk masjid.  Bangunan masjid merupakan komplek menyatu yang terdiri masjid, ruang-ruang pembelajaran, taman, dan pondokan santri (lihat galeri foto).  Di bagian belakang juga ada kantin dan toko koperasi.  Komplek pondok secara keseluruhan mencapai lebih dari 50 ha, termasuk perkantoran, toko serba ada, pondok putri, dan pondok lama.  Suasana dalam komplek masjid sangat tertata, teratur, bersih, segar.  Air bersih melimpah, padahal dulunya sangat terbatas saat belum dibangun pondok. Penulis sempat berjalan-jalan menikmati keadaan komplek masjid, mengamati para santri yang sedang beraktivitas.  Ada santri yang sedang mencuci baju, ngobrol, dan tentu sedang membaca.  Mereka umumnya sedang bersantai menikmati liburan setiap hari kamis.  Penulis sempat masuk toko koperasi, yang menjual aneka kebutuhan hidup santri misalnya pakaian, peralatan mandi, parfum, dan buku-buku agama.
Setelah istirahat dan bersih-bersih, sekitar jam 15.00, kami ke masjid untuk mengikuti pengajian (bayan).  Disini, kumandang adzan Ashar jam 16.00 dan iqomat jam 16.30.  Selesai sholat Ashar; pengajian kembali digelar oleh ustadz lain (belakangan kami kenal sebagai ustadz Sugeng).  Kami lalui amalan berikutnya dengan sholat Maghrib, pengajian, Sholat Isha dan pengajian. Kiranya pengajian ba’da Isha (Kamis malam Jum’at) menjadi puncak kegiatan malam itu.  Pengajian rutin mingguan ini disampaikan oleh pimpinan pondok KH Uzairan Thayfur Abdillah.  Jumlah peserta mencapai enam ribu orang, terdiri dari santri pondok, penduduk desa Temboro dan sekitarnya, penduduk Magetan, Madiun, Ngawi, Solo, hingga Wonogiri.  Materi pengajian menegaskan kembali keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, serta memelihara kalimat toyibah LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUR RASULULLAH untuk senantiasa hadir dalam kalbu umat.  Jamaah diingatkan untuk meneladani perjuangan dan sifat-sifat para sahabat[1] dalam menegakkan agama.  Keistimewaan berjuang dideskripsikan dengan pengalaman lapangan yang senantiasa menghasilkan peningkatan keimanan dan ketaqwaan. Kegiatan esok hari (Jumat) dimulai dengan sholat Shubuh berjamaah.  Adzan Subuh dilantunkan dua kali, yakni jam 03.00 dan 03.45.  Iqomat diserukan jam 4.15.  Jamaan shubuh sangat ramai, mengisi amalan dengan sholat sunah, tahajud, dzikir dan baca Quran di sela waktu-waktu itu.  Selesai sholat kemudian dilanjut lagi dengan pengajian.  Pagi itu kami sudah memiliki program untuk pindah posisi ke masjid lain di desa Temboro, yakni masjid Al Huda.  Namun sebelumnya, kami diberi arahan-arahan oleh ustadz Salim untuk menguatkan niat, arah, dan rambu-rambu program. Tidak lupa kami juga berdoa bersama memohon kekuatan, perlindungan dan  pertolongan kepada Allah. Program ini lebih tepatnya adalah belajar mengimplementasikan kehidupan para sahabat.  Selesai sarapan pagi, kami segera beranjak menuju ke masjid Al Huda, yang berjarak sekitar satu kilometer dari masjid pondok.
Kegiatan di masjid Al Huda ini adalah inti tujuan perjalanan kami.  Atas kehendak Allah, penulis dapat menyelesaikan program hingga hari Minggu, sementara rencana reuni yogya dibatalkan. Masjid yang terletak di tengah pemukiman warga desa ini memuat sekitar 50 jamaah.  Masjid sedang direhab, dan diperluas ke arah pelataran belakang, dengan bangunan bertingkat. Istimewanya, masjid ini menyediakan ruang atau kamar (5×5 m) untuk menerima kehadiran tamu, bisa memuat sekitar 15 orang dengan tidur di lantai karpet.  Di ruang inilah kami menginap dan beraktivitas. Dari sinilah kesan dan pengalaman Kampung Madinah lahir.  Apa saja kesan itu?
  1. Muhajirin dan Ansor.  Kedatangan kami dianggap sebagai tamu oleh warga setempat, dan semua kegiatan sudah dikoordinasikan dengan baik.  Kami berombongan sebanyak 12 orang (tambahan 3 orang dari Surabaya) dianggap sebagai kaum Muhajirin.  Warga sebagai kaum Ansor dengan bersemangat menerima kehadiran kami sebagai
    saudara.  Kami sangat terharu dengan sambutan tersebut.  Sungguh luar biasa.  Kebutuhan menu makan (tiga kali sehari) dijamin, ditambah dengan minum, buah dan snak khas lokal.  Kami sangat antusias dengan hidangan tempe goreng tepung pada sore hari.  Tempe lokal Magetan bertekstur kenyal sehingga ada sensasi saat mengunyahnya,.. mak nyus.  Rupanya, warga sudah terbiasa menerima tamu dan sudah memiliki jadwal menyediakan menu (berkhidmad). Kegembiraan tersebut bukan hanya dari menu makanan.  Warga Temboro dapat berkomunikasi dengan ramah, ikhlas, sabar dan ngemong.  Kami diberi nasehat, pencerahan atau informasi perihal kehidupan para sahabat, cara bersuci (istinjak), sejarah Temboro, dan peran pondok.
  2. Masjid yang makmur.  Jumlah jamaah yang sholat wajib, khususnya Maghrib, Isha dan Shubuh, memenuhi ruangan masjid Al Huda.  Di tiga waktu itu, warga juga meramaikan dengan amalan sholat sunah, baca Quran dan dzikir.  Saat adzan pertama Shubuh jam 03.00, warga sudah berdatangan untuk sholat Tahajud dan sunah lainnya.  Masjid juga punya program ceramah ba’da sholat.  Ba’da Shubuh juga ada musyawarah untuk mendiskusikan kemakmuran masjid dan menguatkan fungsi dakwah. Setiap hari Jum’at ba’da Ashar ada program dakwah untuk mengundang warga mendatangi masjid.  Program dakwah ini adalah keunggulan masjid ini, dan menjadi tempat praktek para tamu dalam upaya memakmurkan masjid.  Proses membangun kemakmuran masjid ini memang butuh proses yang panjang, perlu takmir yang handal dan ustadz yang sabar dan rendah hati.  Jamaah masjid ini memiliki 20 Tahfidz (menghafal) Quran, puluhan orang yang sudah bepergian dakwah ke seluruh dunia.  Jadi, para jamaah umumnya sudah memiliki pengetahuan ilmu keagamaan yang mumpuni.  Namun mereka ikhlas duduk berlama-lama mendengarkan ceramah agama dari ustadz kawannya sendiri.  Duduk berlama-lama adalah bagian dari ketawadhukan dan amal yang mulia sebagaimana para sahabat mendengar nasehat Rasulullah.  Pendeknya masjid telah menjadi pusat kegiatan bagi banyak kepentingan umat.
  3. Kehidupan sosial. Di tahun tujuh puluhan sudah terdengar kata kota santri.  Itu merujuk kepada kota Gresik, atau lebih spesifik kepada kecamatan Bungah.  Profil kota santri Gresik antara lain (i) ada pendidikan umum dan diniyah, (ii) ada pondok p
    esantren, (iii) penduduknya berbaju muslim (bersarung dan berpeci hitam), (iv) banyak pendatang dan (v) kehidupan ekonomi perdagangan menonjol.  Profil Kampung Madinah hampir sama dengan Gresik namun lebih bernuansa Madinah (atau Arab).  Keadaan ini berkembang sejak tahun 1998, seiring dengan berkembangnya program dakwah oleh pondok.  Di Kampung Madinah Temboro, warga banyak menggunakan gamis dan berjilbab atau cadar (wanita), jubah (termasuk jubah pakistan) dan bertopi putih (pria).  Kehidupan sosial di Temboro juga sangat tenang, layaknya kota Madinah yang penulis rasakan saat berhaji.  Penulis mengamati kehidupan pasar desa cukup ramai tetapi lembut.  Tukang kayu bekerja tenang, tidak ngoyo. Tukang-tukang bangunan bekerja sama dengan lembut tanpa banyak bicara.  Anak-anak sekolah bertingkah lembut tidak berisik.  Suasana desa terasa sejuk, tenang, kalem, sederhana dan syahdu. Suasana ini sungguh.. sangat merindukan. Suasana ini patut dicontoh bagi lingkungan perumahan, kantor, atau organisasi lainnya.  Kehidupan sosial di desa ini memang sungguh ramah dan hangat. Setiap selesai shalat, sedikitnya ada dua warga yang bertahan menemani, berbincang, dan membantu kami. Mereka berinisiatif memberi pencerahan ilmu keagamaan, ngobrol ringan, bahkan untuk konsultasi pribadi.  Kami biasa ditawari pijatan relaksasi, untuk mengurangi keletihan akibat tidur di lantai.  Bahkan mereka memberi tip pijatan khusus untuk kesehatan reproduksi.  Dari sini benih persahabatan muncul.  Rombongan kami, yakni Pak Mukhsim, pak Bajuri dan pak Suhaemi, yang punya pengalaman
    program dakwah, sangat gayeng bercengkerama dengan warga (lihat galeri foto).
  4. Banyak Pendatang.  Kelebihan lainnya di Temboro adalah jumlah pendatang yang mencapai 40 persen dari jumlah penduduk.  Sangat masuk akal, memang kehidupan disini mirip kampung Madinah.  Beberapa jamaah (khususnya para ustadz di pondok) kebanyakan pendatang. Ada yang dari Palembang, Padang atau Jawa.  Bahkan ada jamaah yang pensiun dini (usia muda) dan berpindah di Temboro untuk menggapai kehidupan religius. Disini, para pendatang dapat melaksanakan sholat berjamaah lima waktu, atau beraktifitas amaliyah di masjid.  Mereka ingin mengimplementasikan kehidupan para sahabat nabi, seperti di Madinah.  Memang ini menjadi impian setiap muslim.  “Siapa yang meninggal dunia di Madinah hendaknya dia menerimanya (dengan bahagia) karena tidak ada orang yang meninggal dunia di Madinah kecuali kelak aku akan memberi syafaat kepadanya.” (HR Ibnu Majah dan Al Turmudzi)

Lembah Panderman, 21 Nopember 2012 http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/2012/11/kampung-madinah-yang-syahdu/ [1] (i) mengucap La Ilahailallah Muhammadur Rasulullah, (ii) menegakkan shalat fardhu dengan Khusyu dan Khudhu, (iii) ilmu disertai dzikir, (iv) memuliakan sesama muslim, (v) meluruskan niat dengan mengharap ridha Allah SWTdan (vi) melaksanakan dakwah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun