“...if you are writing without zest, without gusto, without love, without fun, you are only half a writer. It means you are so busy keeping one eye on the commercial market, ..that you are not being yourself. For the first thing a writer should be is-- excited. He should be a thing of fevers and enthusiasms.” ― Ray Bradbury (1)
Pekerjaan memasak di dapur bukan hal mudah. Seorang ibu rumah tangga meski sudah biasa memasak, ia juga sering bertanya-tanya. Pertanyaannya misalnya, apakah menu masak hari ini? Pikirannya juga melayang menu apakah yang disukai suami, anak pertama, anak perempuan. Ia bisa ragu, masih terngiang masak yang kemarin saja belum habis. Kemarin lusa juga, anaknya mengeluh tentang menunya yang itu-itu. Dan masih banyak lagi keraguan tentang menu masakan.
Itu juga belum selesai. Ibu harus berpikir mencari bahan belanjaan. Kemarin toko langganannya mengabarkan akan tutup karena menemani libur sekolah anak. Berarti si ibu akan mencari penjual lain..duhh..toko itu antrenya panjang lagi.
Demikianlah, seorang ibu yang mau memasak, memerlukan perencanaan atau berpikir apa yang akan dilakukan. Setelah itu ibu menata alat dan bahan di dapur, mengerjakan mana harus mengupas, tumis, gongso, ungkep, rebus atau goreng. Ini dilanjutkan hingga menata di meja makan untuk siap dilahap.
Ibu tentu mencintai keluarganya. Wujud cinta ibu dinyatakan dengan memenuhi selera menu seluruh anggota keluarganya. Cinta ibu dihayati sepenuhnya, bahkan saat di meja makan, ibu melihat dan menunggui sampai suapan sendok terakhir oleh suami atau anaknya. Si Ibu cuma berharap, menu makan segera habis, memuaskan keluarganya. Baginya cukup, kepuasan keluarga dari meja makan itu, adalah bukti saling cinta dan kebahagiaan keluarga. Esoknya ibu akan bersemangat kembali memasak menu-menu lain yang disukai keluarganya.
“If you love cooking and decorating, let your hobbies and expertise influence the way you teach writing. Your enthusiasm will spill over to your children, and maybe—just maybe—they’ll never see writing the same way again”. ― Daniella Dautrich (2)
Saat ibu sudah menemukan menu hidangan, giliran mencari bahan. Penulis juga menemui hambatan yang sama perihal memilih materi apa yang relevan dengan tema. Ia perlu mengingat pengalaman, telaah pustaka, menggali data, serta menyajikan ilustrasi yang tepat. Itu kemudian dilanjut dengan menemukan kata-kata, ekspresi dan frase sesuai kebutuhan.
Terakhir, ibu meramu resep makanan. Ini memerlukan kronologi, jumlah, dan sentuhan kelembutan untuk menciptakan cita rasa dan ragam masakan. Saat itu penulis sedang meramu tulisan, artikulasi dan struktur sintaksis. Penulis melakukan upaya menemukan ruang lingkup, keseimbangan dan harmoni (4). Ini memerlukan perhatian, kepekaan dan improvisasi, yang menunjukkan kemampuan penulisan. Naluri cinta seorang ibu perlu dipahami oleh penulis untuk merumuskan ide dan memberi makna tulisan. Pengalaman memandu penulis mengeluarkan gaya, tekanan dan ketajaman olah kata dan kalimat. Tulisannya berharap berisi, tajam, kredibel, seolah hidangan yang lezat.
Setiap penulis pada dasarnya tidak pernah mudah mulai menuliskan gagasan. Semua tidak semudah dibayangkan. Berbagai alasan menjadi hambatan, misalnya karena kesibukan, waktu, tema, mood, atau urgensi. Tetapi, tulisan harus diselesaikan. Proses ini harus dilewati. Sebaiknya ditulis saja, disegerakan dengan kesungguhan, agar segera tahu hasilnya. Bagaimanapun hasilnya menjadi pengalaman berharga, untuk dievaluasi dan diperbaiki. Berikutnya menulis lagi dengan kualitas lebih baik.
Memang, menulis butuh energi besar. Tapi tidak perlu khawatir. Filosofi ibu memasak perlu dihayati oleh seorang penulis. Cinta seorang ibu perlu dimiliki seorang penulis, yakni cintanya ibu memasak sejak di dapur, di meja makan hingga kehidupan keluarganya. Ini yang membuat mudah segalanya. Cinta itu sama seperti chemistry, yang tiba-tiba saja menggerakkan pikiran dan tangan untuk berekspresi dan berkreasi.