Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pemimpin Sembrono Menuai Resiko Badai Perang

24 Juni 2025   05:23 Diperbarui: 24 Juni 2025   05:23 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Al Udied US Air Base/mil.sina.cn

Pemimpin yang Sembrono: Menuai Resiko Badai KonflikDi tengah hiruk pikuk geopolitik yang tak menentu, seorang pemimpin dunia yang gegabah menemukan dirinya berdiri di bibir jurang---terjebak dalam kemelut perang yang tidak hanya sia-sia, tetapi juga mahal harganya. Setiap keputusan yang dibuat, setiap perintah yang dilontarkan, kini kembali menghantam, menciptakan riak yang mengancam menenggelamkan semua yang ada di hadapannya.
Kegagalan di Fordow: Titik Balik yang Penuh Malapetaka
Kepercayaan diri yang berlebihan telah membutakan mata sang pemimpin. Terlalu yakin dengan kekuatan militernya, ia menyetujui serangan nekat terhadap fasilitas nuklir Fordo di Iran. Rencananya, sebuah serangan yang dirancang untuk melumpuhkan ambisi nuklir Iran, justru berakhir dengan kegagalan telak. Fordow, benteng bawah tanah itu, tetap berdiri kokoh. Jenderal Ebrahim Jabbari, penasihat senior Garda Revolusi Iran (IRGC), dengan sinis mencemooh, "Situs nuklir Iran tidak bisa dihancurkan dengan satu serangan dan beberapa ledakan." Kata-kata ini menjadi pukulan telak, meruntuhkan mitos bom "penghancur bunker" yang selama ini diagungkan. Kegagalan ini bukan hanya kerugian militer, tetapi juga tamparan keras bagi ego dan reputasi. Ini bagai tantangan untuk kembali menyerang Fodow untuk menuntaskan operasi yang 'gagal', padahal bisa saja dengan waktu yang cukup fasilitas ini sudah direlokasi di tempat lain atau di situs sebelah kompleks bawah tanah yang sekarang ini.

Api Balasan: Ketika Perang Menemukan Jalan Pulang
Konsekuensi dari keputusan gegabah itu datang dengan cepat dan brutal. Iran, yang diperkirakan akan lumpuh, justru bangkit dengan amarah. Pangkalan militer AS di seluruh kawasan menjadi sasaran. Di Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar, rudal-rudal Iran menghantam. Meskipun sebagian besar berhasil dicegat, satu rudal tetap menembus pertahanan, mendarat di dalam pangkalan itu sendiri. Meskipun tidak ada korban jiwa, pesan yang disampaikan Iran sangat jelas: agresi akan dibalas setimpal.
Serangan serupa dilaporkan terjadi di pangkalan-pangkalan AS di Irak. Badai balasan ini menunjukkan betapa besar salah perhitungan yang telah terjadi. Sang pemimpin dunia kini harus menghadapi kenyataan pahit bahwa keterlibatan mereka dalam konflik yang dianggap "tidak berguna" ini justru memicu badai yang lebih besar.

Ancaman Terselubung: Sel Tidur dan Jaringan Kriminal
Namun, ancaman tidak hanya datang dari langit. Yang lebih mengkhawatirkan adalah laporan tentang sel-sel tidur Iran dan jaringan kriminal yang kini diaktifkan di luar negeri. Kedutaan Besar AS di Swedia mengeluarkan peringatan keamanan, mengindikasikan bahwa Iran mungkin menggunakan geng kriminal lokal, seperti Jaringan Foxtrot, untuk melancarkan serangan terhadap kepentingan AS dan Israel. Ini adalah bukti bahwa perang ini telah melampaui medan pertempuran konvensional, merembes ke dalam komunitas global. Ancaman ini tidak terduga dan sulit ditangani, menciptakan rasa ketidakamanan yang meluas.

Beban Kepemimpinan: Menghadapi Konsekuensi
Kini, sang pemimpin dunia harus menghadapi konsekuensi dari kesembronoannya. Reputasi yang tercoreng, basis militer yang terancam, dan potensi serangan di seluruh dunia adalah harga yang harus dibayar. Dia harus menjelaskan kepada rakyatnya mengapa mereka terseret dalam konflik yang tidak mereka inginkan, dan bagaimana dia akan mengatasi badai yang telah dia ciptakan sendiri.
Pertanyaan yang menggantung di udara adalah: akankah pemimpin ini belajar dari kesalahan fatalnya, atau akankah kesembronoan terus menyeret dunia ke dalam kekacauan yang lebih dalam? Beban kepemimpinan yang sembrono ini adalah pengingat pahit akan dampak destruktif dari perang yang tidak perlu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun