Mohon tunggu...
Iwan Wibowo
Iwan Wibowo Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Membaca Alkitab Membaca Dunia

pegiat kata-kata.\r\nhttp://www.morningtraveler.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masa Kampanye: Musimnya Penipu Menipu Penipu:-(

27 Juni 2012   07:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang kawan berkomentar sinis terhadap slogan kampanye salah satu pasangan peserta Pilkada DKI Jakarta: “3 tahun Bisa!” “Sudah jelas bohongnya. Dasar penipu!” katanya. Aku timpali agak serius, “Kadang-kadang yang seperti itu yang rakyat suka. Coba kalau ada yang berani jujur, pakai slogan: “Memperbaiki Jakarta: 8 Tahun bisa!”, pasti ndak dipilih tuh oleh rakyat, meski 8 tahun itu angka realistis. Rakyat ‘diam-diam,’ kadang sadar sering tidak sadar, senang ditipu calon pemimpin maupun pemimpinnya. Seperti sikap seorang cowok yang cintanya ditolak cewek dalam sinetron yang kebetulan kutonton sekilas semalam. Si cewek bilang: “Gua ga rasa apa-apa ke loe, Bim.” Si cowok setengah menangis berkata: “Loe jujur banget sih. Bo’ong dikit napa sih, nyenengin gue dikit kek..”

Kadang aku penasaran janji-janji tidak realistis sebatas pemanis bibir itu ide sang calon pemimpin atau ide partai pengusung mereka, atau ide dua-duanya. Tapi pertanyaanku kali ini adalah, kenapa ya masyarakat kita tetap memilih pemimpin tertentu meski tahu waktu kampanye tokoh itu lebay janji-janji politiknya alias penipu parah, bahkan berniat memilih kembali pemimpin saat ini yang selama menjabat terbukti tidak menepati janji-janji kampanyenya dulu itu?

Tentu saja jawaban mudahnya bisa kita simpulkan dari fenomena kasat mata praktek “suap” halus maupun vulgar yang dilakukan oleh (tim sukses) pasangan calon pemimpin: mulai dari pembagian nasi bungkus, kaos, pengobatan massal, pembagian sembako, pembagian “amplop tipis” hingga “amplop tebal,” dll. Maksudku, banyak rakyat tahu dan rela ditipu demi keuntungan sesaat. Tapi kurasa ada jawaban/penjelasan yang lebih dalam, lebih mendasar, ....sekaligus lebih ironis:

Kurasa mereka (terutama kalangan akar rumput atau masyarakat kelas bawah yang sering jadi massa utama kegiatan kampanye yang ada) itu sengaja membiarkan diri ditipu karena ‘nasib’ memposisikan mereka dalam kondisi dilematis yang menyedihkan:

Di satu sisi, kualitas hidup yang buruk membuat mereka ingin mendengar janji-janji indah yang diobral di musim kampanye. Janji tentang masa depan yang lebih baik itu, walau sekedar tipuan, masih terasa manis di telinga mereka, sejenak menjadi pelepas dahaga mereka akan hadirnya perubahan yang mereka impikan.

Namun di sisi lain, mereka rela ditipu karena sedikit banyak merasa realitas hidup yang mereka hadapi akan tetap buruk, siapapun orang baru yang akan memimpin mereka.  Pengalaman telah membuktikan kepada mereka fakta seperti itu. Jadi lubuk hati mereka yang terdalam sudah pesimis duluan, sudah pasrah duluan, makanya mereka siap pilih siapa saja, yang penting dapat untung kecil-kecilan selama masa kampanye ini. Poin yang terakhir itu menurutku merupakan reaksi naluriah mereka untuk survived.

Andy Kuo dalam  “A (very) brief History of Cheating”  menulis bahwa dalam sejarah manusia, sejak adanya struksur sosial, sejak itu pula muncul para penipu, yakni orang-orang yang berupaya  mengelak dari aturan main dan demi mencapai tujuan berusaha menemukan jalan pintas yang haram bahkan ilegal. Bahkan dalam masyarakat modern, natur manusia yang satu ini belum berubah sedikitpun. Zaman hanya memperbaruinya: Makin kreatif dan makin vulgar teknik menipunya, makin canggih modus operandinya. Dan fakta terburuknya adalah: penipu itu membangkitkan insting menipu dalam diri para korbannya. Saya jelaskan maksudnya:

Pada waktu gempa besar melanda pulau Alor tahun 2005, tempat kuliahku mengutusku dan tim untuk membantu para korbannya. Kami menuju salah satu desa korban gempa yang terletak di puncak gunung. Waktu ngobrol, aku bertanya pada penduduk setempat: “Pak Bupati sudah meninjau para korban gempa di desa ini?” Mereka menjawab dengan polos, “Belum.” Kutanya lagi apakah pak Bupati pernah ke sini, dengan lugu mereka menjawab, “Pernah,...4 tahun lalu, waktu berkampanye.” (Anehnya koran Kompas 4 tahun lalu pernah memuat profil bupati ini sebagai salah satu bupati penerima penghargaan dari presiden SBY dalam kategori “Bupati yang Dekat dengan Rakyat”).

Dalam perkembangannya, rakyat tak selamanya polos dan lugu. Akibat sering ditipu, banyak di antara rakyat yang tak lagi lugu. Ya, keseringan ditipu itu membuat mereka akhirnya juga mahir menipu. Seorang teman bercerita dengan gemas bahwa di gerejanya diwartakan untuk memilih calon pasangan tertentu. Dia menengara itu ‘bentuk bayar hutang’ karena ijin gereja mereka akhirnya dikeluarkan menjelang masa kampanye oleh pemimpin yang ikut lagi dalam pilkada kali ini. Bukan hanya itu, ditawarkan pula sejumlah uang untuk memuluskan skenario tipuan ini. Mendengar cerita itu, seorang teman yang lain menimpali, “Ambil aja uangnya, tapi ntar jangan pilih dia. Dia sudah bersikap cerdik, kitapun juga harus cerdik.” Semua menimpali setuju (akupun diam-diam setuju:-)). Kuyakin sikap orang-orang ini mewakili sikap kebanyakan rakyat (kecil) negri ini. Singkatnya, bisa kusimpulkan anomali pesta demokrasi negri ini sudah menciptakan penipu yang melahirkan penipu, telah melegalkan kejahatan penipuan dibalas penipuan, telah membiarkan bangsa ini makin berisi pemimpin dan rakyat yang adalah penipu. Sedih sekali aku. Galau kelipatan seribu!

PR buat kita semua: Apa yang bisa mengikis bahkan mengenyahkan budaya saling menipu antara pemimpin dan rakyat ini? Mari berdoa dengan keras dan berpikir dengan jernih  demi makin dewasanya demokrasi Republik tercinta. Bagaimana menurut Anda?

Salam Optimisme Perubahan Indonesia!

Jakarta, 27 Juni 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun