"Masih kau simpan gaun yang kau pakai saat itu, Tari?"
"Jagan berharap banyak A, sejak lama ibu menjadikannya kain lap di dapur!"
"Kau memang tak peka sejarah, garwaku!"
Aku sesali apa yang terjadi pada gaun itu. Gaun pertama yang kubelikan untuk Tari. Satu ketika, kupandangi gadis di hadapanku. Ia tampak jelita dengan gaun itu. Saat itu, aku menatapnya lekat. Mataku tak berkedip, kagum memandangi Tari calon istriku. Hanya dehem suara kakek, kamera pengawas itu, Â yang memutus lekatnya pandanganku dari Tari.
"Wan, Â Wan,", terdengar suara dari balik pagar. Tari beranjak menuju rumah. Mencari A Ridwan di kamarnya. Ia kembali disertai Aa.
"Ia abah Bandot", kata Tari. Ia seakan tak ingin kehadiran lelaki tua itu merusak acara mudik kami.
"Siapa dia?"
"Bukan siapa-siapa, hanya lelaki tua yang jalannya diseret karena stroke".
"Apa maksud Neng Tari?"
"Sudahlah, A. Jangan sebut dia lagi!"
Kemeriahan hari Lebaran di kampung kami demikian terasa. Begitu beduk maghrib berkumandang, di hari terakhir Ramadhan, bunyi petasan bersahutan di sudut-sudut kampung. Cahaya kembang api berpijar penuh warna di angkasa. Cahaya yang berasal dari komplek permukiman mewah, tak jauh dari kampung kami. Warga berlarian keluar dari pintu rumah. Melangkah dengan cepat agar kebagian memandangi kilatan api, yang beraneka warna itu.