Tayangan sebuah video pendek mengisahkan seorang suami tengah "diinterogasi" istrinya. Sang suami kedapatan mengganti kelengkapan sepedanya ke kelas yang lebih tinggi.Â
Menjawab pertanyaan istri, ia menyebut sejumlah angka harga suku cadang yang diganti itu. Namun, sang istri ternyata lebih pandai. Ia menyodorkan secarik kertas kuitansi, bukti pembelanjaan sang suami. Nilainya, jauh melambung dari angka yang disebut suami.
Video jenaka itu sempat viral saat masyarakat dilanda "demam bersepeda " , beberapa waktu berselang. Grup Whats App yang saya ikuti meneruskan pesan itu berulang-ulang.Â
Beragam komentar menyertainya. Menertawakan sang suami "naas" dalam video itu.  Atau  mungkin menertawakan diri sendiri yang nyaris mengalami kejadian yang mirip.
Satu hal yang ingin diungkap pembuat konten video tersebut adalah "harga" untuk sebuah hobi. Demi mendandani tunggangannya, suami (juga istri) berani memberi informasi berbeda (baca: bohong).Â
Segala upaya dikerahkan untuk menjalani hobi yang dilakoni. Termasuk menghadapi reaksi kemarahan sekiranya langkah yang diambil "melenceng" dari garis kebijakan yang disepakati dalam keluarga. Â
Bersepeda adalah satu diantara hobi yang dijalani masyarakat luas. Hobi sejuta umat ini tak mengenal tingkatan usia, jenis kelamin, atau status sosial. Siapa saja senang duduk di atas sadel, mengayuh pedal menyusuri jalan. Adalah hal yang biasa kita lihat di akhir pekan atau pada hari libur masyarakat luas memenuhi jalanan kota dengan menaiki sepeda.
Layaknya sebuah hobi, Sepedaan telah membawa penggemarnya pada dinamika yang beragam. Satu diantara dinamika itu disodorkan dalam video tersebut.Â
Bapak-bapak umumnya "merahasiakan" hobi meng- up grade sepedanya pada orang terdekatnya, sang istri. Di sisi lain, harga suku cadang sepeda boleh disebut mahal. Bila sudah menjadi hobi maka batasannya hanya langit, begitu ungkapan yang sering kita dengar.
Ajak Istri Berunding