Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Bang Bule", Ikon Persimpangan

2 November 2021   12:04 Diperbarui: 2 November 2021   12:21 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Kompas.com/Markus Yuwono

"Thank you brother",  kata "Pak Ogah" di persimpangan jalan sambil menerima uang receh yang kami sodorkan. Di kesempatan lain ia berkata, "Have a nice day". Di waktu lain lagi ia berdoa, "God bless you". Bila kebetulan melintas di persimpangan yang ramai tersebut kami tak memberinya "tip", ia puasa bicara. Tak sepatah kata pun meluncur dari lisannya.

Begitulah kebiasaan abang "petugas" penyebrangan itu. Ia menunjukkan kemampuannya berbahasa Inggris di sela-sela pekerjaannya. Mengamati caranya melafalkan kata, ia terbilang fasih. Lidahnya tidak terkesan kagok mengucapkan kata-kata.

Gayanya yang unik dengan rambut pirang sebahu serta ber-cas, cis, cus Bahasa Inggris mengantar "Bang Bule" menjemput "popularitas". Warga di seputar tempat tinggal kami begitu akrab dengan sosoknya. Ia menjadi bahan perbincangan. Kala warga berkumpul, topik pembicaraan kerap mengarah pada dirinya.

Warga merasa terhibur. Dengan selembar uang seribu atau dua ribu, warga merasa terbantu saat hendak masuk jalur lalu lintas yang selalu ramai tersebut. Ditambah bonus hiburan berupa ungkapan berbahasa Inggris. Tercipta keriangan dalam kendaraan yang ditumpangi. Setiap penumpang tersenyum cukup lebar.

Pak Ogah yang satu ini memang nyentrik. Saya menduga ia memiliki kemampuan berbahasa asing yang lumayan. Memang sepatah, dua patah kata yang ia ucapkan belum cukup jadi ukuran kemampuannya. 

Namun, melihat keteguhannya melafalkan kata-kata asing, bolehlah saya menyebut demikian. Minimal untuk diri saya. Tak mudah memilih mempraktikan bahasa asing di tengah lingkungan yang riuh dan "keras" seperti persimpangan jalan.

Keberadaan petugas pengatur jalan tidak resmi seperti "Bang Bule" tak sedikit membawa "masalah". Kehadirannya dirasa menambah penuh jalan yang telah sesak. Saat kendaraan yang kita bawa memasuki areanya, kita wajib menginjak rem. Menunggu "instruksi" darinya. Maju atau bertahan beberapa saat.

Ketika waktu yang kita miliki cukup leluasa, dengan senang hati kita menjalani apa yang ia perintahkan. Namun sebaliknya, saat kita diburu waktu, langkah mereka seperti "menghalang-halangi", mengulur-ulur  waktu kita. Kita berpikir bila kendaraan bisa kita bawa tanpa kehadiran petugas partikelir tersebut.

Alih-alih menambah ruwet, kehadiran kaum "Bang Bule" tak sedikit pula yang membawa kemudahan. Di banyak lokasi jalan, mereka berjasa dalam memberikan "prioritas" bagi pengguna jalan. Mereka tahu mana yang mesti "didahulukan" atau diberi kesempatan kemudian.

Bang Bule dan kawan-kawan seolah hadir sebagai "penengah" bagi para pengemudi. Mereka berperan ibarat wasit dalam dunia olah raga. Bang Bule tahu bila setiap pengemudi ingin sampai di tujuan lebih cepat. 

Karenanya, jamak terlihat pengemudi tak saling memberi kesempatan pada pengemudi lain. Pengemudi tak saling menghormati. Saling menyerobot jalan jadi hal yang lumrah. Bang Bule "memutus" rantai keakuan para pengemudi.

Keberadaan juru atur jalan seperti Bang Bule akan selalu ada. Di penjuru kota mana pun mereka kita temui. Mereka hadir sebagai respon akan kesempatan kerja yang terbatas. 

Mereka berupaya "menciptakan" lapangan kerja sendiri di persimpangan jalan. Meski jauh dari kesan formal dan hanya berbekal peluit, mereka membantu memperlancar arus lalu lintas.

Tak berbeda jauh dengan dunia Pak Ogah, terdapat warga yang berinisiatif menjaga pintu perlintasan kereta api. Menjadi petugas perlintasan kereta yang tak berseragam. 

Umumnya mereka "berdinas" di tempat terpencil. Berjaga di jalan-jalan dekat permukiman warga yang ramai dilewati. Di perlintasan kereta yang tak dilengkapi petugas jaga.

Kehadiran petugas jaga palang pintu suka rela ini begitu penting. Di pundak mereka tersandar keselamatan pengguna jalan. Mereka berpanas-hujan bekerja, demi membantu pengguna jalan terhindar dari kecelakaan, "diseruduk" si ular besi.

Pengguna jalan yang melintas di palang pintu memberi tip ala kadarnya. Uang receh diberikan sebagai tanda terima kasih pada kebaikan mereka, memandu kita menyebrangi jalan rel. Berapa rupiah pun uang yang kita sodorkan tak mengurangi ketulusan hati.  Mereka selalu mengucap terima kasih, dengan diiringi senyuman ramah.

Tak jauh dari tempat tinggal kami terdapat plang peringatan di sebuah perlintasan kereta. Tertulis data korban yang meninggal sebelum perlintasan tersebut dijaga. Di dekatnya terdapat rongsokan mobil yang ringsek, korban tertabrak kereta api . Plang berikut rongsokan mobil dijadikan "monument" sebagai pengingat bagi pengguna jalan.

Pak Ogah dan penjaga palang pintu kereta menjadikan jalanan sebagai ladang rejeki. Mereka mengais rejeki dengan menjual jasa sebagai pemandu arus lalu lintas. Kita mendapat banyak manfaat dari kehadiran pekerja sektor informal tersebut. 

Walau tidak memaksa, mereka berharap derma dari sebagian rejeki kita. Mereka menggantungkan penghasilannya dari seribu, dua ribu rupiah yang kita rogoh dari saku. Tak elok rasanya, bila kita "mematahkan" harapan mereka dengan tidak memberikan sekeping rupiah.                   

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun