Mohon tunggu...
Alfian Nawawi
Alfian Nawawi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lelaki yang menyukai hujan. Terkadang lebih memilih sunyi di antara lalu lintas ide dan peristiwa. Petani, pekerja seni, penyiar radio, penulis buku dan blogger. Tapi sampai saat ini masih belum mahir juga menulis.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Basing Suku Kajang, Pantun Sunyi Kematian di Zaman Bising

15 September 2010   01:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:14 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di tengah larut malam sunyi mengelam di atas sebuah rumah panggung terdengar Basing yang melarutkan pedih. Terlihat dua perempuan dan dua lelaki berpakaian serba hitam melantunkan pantun yang diiringi alunan seruling bambu yang disebut Basing. Tercium aroma magis dan suasana menyayat dari pantun elegi berbahasa daerah Konjo. Suara seruling dan nyanyian elegi semakin mengiris di tengah malam. Udara basah melengkapinya dengan hawa dingin sekitar kebun kelapa dan semak belukar. Kampung semakin sunyi. Hanya suara pantun purba dan seruling meningkahi gemerisik daun-daun dan atap rumbia pada rumah-rumah kayu yang sederhana milik penduduk.

Itulah Basing seperti yang sempat tertangkap dalam jepretan suasana di atas. Basing adalah pantun meratapi kematian secara elegan dan estetis yang membedakannya dengan ratapan biasa pasca kematian manusia. Basing adalah ritual seni sebab justru dimainkan dengan penuh aturan estetik. Salah satu bentuk pantun milik suku Kajang di Sulawesi Selatan ini adalah nyanyian dan suling yang dimainkan oleh empat orang, dua orang pria memainkan suling Basing dan dua orang perempuan sebagai penyanyi. Seruling Basing yang mereka gunakan terbuat dari bambu kecil berdiameter 3 sentimeter, panjang 50 sentimeter.

Dalam sejarah masyarakat suku Kajang pada mulanya Basing hanya dimainkan dalam suasana kematian untuk mengiringi sebuah elegi nyanyian ratapan dari keluarga yang ditinggalkan. Basing yang dilantunkan untuk kematian itu disebut Basing Tempa Sorong. Ada pula jenis Basing bernama Tabu yang dilantunkan disembarang waktu, boleh dinyanyikan pada saat tidak ada kematian.Seiring perubahan zaman Basing telah dimainkan dalam upacara adat, menyambut tamu, dan lain-lain. Bahkan Basing sudah sering ditampilkan dalam acara-acara seni budaya tingkat nasional. Termasuk pernah dipentaskan dalam Pantun Nusantara di Jakarta pada 2007. Sayang sekali penulis belum sempat melacak nama-nama para seniman Basing yang pernah ataupun masih eksis.

Sebenarnya berbagai bentuk pantun masih dapat dijumpai pada banyak suku di nusantara selain Basing di Kajang. Mungkin kita kenal Upacara Nelu Bulanin (Bali), Kayat (Riau), Panas Pela (Ambon), dan Belian Sentu (Kutai), Pantun Meminang (Kepulauan Riau), Sebuku Gayo (Aceh), Kacar-Kucur (Jawa tengah), Malake-an Gala (Sumatra Barat), Nenggung (Palembang), Jantuk (Betawi), Kaganti (Buton), dan masih banyak lagi yang tidak dapat lagi dilacak oleh penulis (siapa tahu ada pembaca yang ingin membantu melacak pantun suku-suku lainnya). Produk tertua dari budaya kita sesungguhnya adalah pantun. Beragam jenis pantun di tanah air telah berusia ribuan tahun termasuk Basing dari Kajang.

Nilai-nilai dan cita rasa tinggi dalam kesantunan, keindahan, dan keunikan berbahasa pada pantun berbagai suku di tanah air menunjukkan ketinggian budaya sejak berabad-abad lampau pada bangsa ini. Entahlah jika beberapa dekade lagi kekayaan semacam ini tak dikenali lagi oleh anak-anak bangsa. Mungkinkah misalnya Basing dari Kajang akhirnya benar-benar hanya akan menjadi pantun sunyi kematian di tengah zaman yang bising?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun