Mohon tunggu...
Ivan Affriandi
Ivan Affriandi Mohon Tunggu... Tutor - Mahasiswa

Tumbuh dalam kestabilan ritme.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Manusia Menggunakan Otak Hanya 10%?

3 Desember 2019   15:14 Diperbarui: 3 Desember 2019   15:29 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada akhir tahun, hampir sekolah-sekolah di Indonesia mengadakan kegiatan tahunan dengan mengundang para motivator menjelang ujian sekolah, ujian nasional (UN), ujian masuk perguruan tinggi, dan sebagainya. 

Dan tentunya, kita akan sangat familiar ketika para motivator mulai berkata "jangankan kita bahkan Albert Einstein sekalipun hanya menggunakan 10% dari kapasitas otak yang ia miliki," dan poin inilah yang seringkali menjadi miskonsepsi sekaligus pseudoscience terbesar dalam bidang biologi.

Mengapa kekeliruan yang sedemikian besarnya ini bisa sebegitu populernya khususnya pada kalangan kita, yang konon disebut-sebut sebagai kalangan terpelajar? Yuk kita telusuri asal mula miskonsepsi ini dapat terjadi, kencangkan ikat pinggang dan sabuk pengaman karena kita akan terbang melintasi ruang dan waktu dan kembali ke awal abad ke-20! Siap? oke, meluncur!

Pada awal abad ke-20, semuanya diawali oleh para peneliti media yang kala itu sedang mempelajari bagian-bagian otak yang mengontrol segala aktivitas makhluk hidup dengan mengkomparasikan bagian-bagian otak daripada penderita stroke dan bagian-bagian otak daripada binatang. Yang mana metode dari uji coba ini menggunakan efek kejut dari aliran listrik, sebagai contoh saya akan memberi efek kejut pada saraf fasialis, dan ternyata respon yang timbul adalah pergerakan pada wajah (ekspresi), atau contoh yang lain saya akan memberi efek kejut pada saraf okulomotor, dan respon yang muncul adalah pergerakan pada kelopak mata.

Berdasar pada uji coba di atas, hasil yang didapatkan cukup mengejutkan. Ternyata ketika listrik menstimulasi bagian otak, hanya 10% bagian otak yang memberikan respon. Sisanya? mereka menyebutnya sebagai silent-cortex lantaran fungsinya yang belum diketahui. Masih belum diketahui, bukan tidak berfungsi sama sekali.

Cukup disayangkan ketika sebagian orang mulai menganggap bahwasannya 90% area yang belum diketahui fungsinya tadi dianggap sebagai bagian yang dorman total. Dan dari sinilah premis-premis akan miskonsepsi 10% otak dimulai. Seiring berkembangnya teknologi, peralatan-peralatan canggih sangat membantu dalam pengambilan kesimpulan mengenai pemetaan fungsi otak terhadap aktivitas tubuh dengan sangat tepat lagi presisi. Sangat jauh dibanding satu abad yang lalu yang masih menggunakan alat jepit elektrode yang hanya diberi kejutan atau aliran listrik. 

Tidak hanya tentang aktivitas fisik saja, dengan alat-alat canggih ini kita dapat mengobservasi aktivitas otak secara virtual seperti gelombang otak hingga hormon-hormon yang bereaksi di otak. Sekaligus menjawab bahwasannya 90% silent-cortex tadi pun memiliki fungsi, yaitu sebagai pusat kontrol kognitif seperti kemampuan berpikir dan menggunakan bahasa.

Premis "kita hanya menggunakan 10% dari kapasitas otak" sebenarnya hanya digunakan untuk memberikan kita sebuah harapan bahwasannya "kita bisa lebih dari itu." Namun, sains tetaplah sains. Bedakan antara pseudoscience dengan sains.

Jika saat ini kita berpikiran bahwasannya kapasitas memori otak manusia sangatlah besar untuk sekadar menampung beberapa informasi sekaligus, sebuah hasil penelitian pada awal tahun 2016 kemarin agaknya dapat mengubah pandangan kita saat ini. Sebab, telah diketahui bahwasannya kapasitas memori otak manusia 10 kali lebih besar dari yang kita kira.

Penelitian ini dilakukan oleh seorang peneliti dari Salk Institute, Terry Sejnowski. Ia mengemukakan bahwasannya kapasitas memori otak manusia setidaknya 1 petabyte atau setara dengan 10 juta gigabyte. Pada penelitian tersebut, ia melakukan uji coba pada hippocampus -pusat memori- dari seekor tikus untuk mengetahui kapasitas memori dari sinapsisnya. 

Untuk mengetahui apa itu sinapsis, sekarang kita kembali pada struktur daripada neuron. Jadi, sinapsis adalah titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain yang dibentuk oleh terminal akson yang membengkak. Mudahnya, ia yang mengirimkan sinyal ke neuron.  Menurut para peneliti, semakin besar sinapsis maka tingkat keberhasilan dalam pengiriman sinyal akan semakin sukses. 

Dan dari penelitian tersebut ditemukan sinapsis dengan berbagai ukuran yang berbeda dan setidaknya dapat bertambah sekitar 8%. Dan dimungkinkan ada sekitar 26 kategori ukuran sinapsis. Jumlah yang sedemikian tak terduganya membawa pada kesimpulan bahwa potensi kapasitas memori otak manusia  dapat lebih hebat dari yang kita ketahui saat ini.

Lalu apakah otak kita bisa penuh?

Jawabannya adalah tidak. Sebuah penelitian yang diterbitkan di Jurnal Nature Neuroscience mengungkan bahwa alih-alih berkerumun, informasi lama seringkali didorong keluar dari otak agar informasi baru dapat terbentuk. Lalu bagaimana dan apa yang akan terjadi di otak ketika kita mencoba mengingat informasi yang sangat mirip dengan informasi yang sudah lama kita ketahui? 

Dalam sebuah studi perilaku pernah dilakukan penelitian pada perubahan aktivitas otak ketika kita berusaha mengingat sesuatu, misalnya sesuatu yang sangat spesifik atau bahkan mirip. Dan hasil yang didapat adalah ketika kita mencoba memanggil ingatan kita lebih sering, maka aktivitas dalam otak kita akan meningkat. 

Sedangkan, aktivitas otak untuk memori yang bersaing secara bersamaan melemah. Perubahan-perubahan ini lebih sering terjadi di daerah dekat bagian otak seperti prefrontal cortex, dibanding struktur memori utama yang berada di tengah otak seperti hippocampus -pusat memori- yang seringkali dikaitkan dengan hilangnya memori. Dan hal ini membawa kita pada kesimpulan bahwasannya menyimpan memori saja sebenarnya sangatlah tidak cukup untuk mendapat memori yang baik. 

Otak perlu mendapatkan akses informasi yang relevan tanpa terganggu oleh potongan informasi yang saling bersaing. Mudahnya, semakin sering kita mengingat informasi baru dan meningkatkan akses informasi yang relevan pada otak, tanpa kehadiran informasi lama yang mengganggu, maka kita akan mendapatkan daya memori yang baik. Dan pada saat kita menerima informasi baru, maka otak akan memasukkannya ke dalam informasi lama dengan membentuk asosiasi.

Ivan Affriandi. Tangerang, 3 Desember 2019.

Referensi:
- cnnindonesia.com
- liputan6.com
- zenius.net

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun