Mohon tunggu...
ivan adilla
ivan adilla Mohon Tunggu... Guru - Berbagi pandangan dan kesenangan.

Penulis yang menyenangi fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tongkat Naga Punya Kakek

1 Mei 2021   00:09 Diperbarui: 1 Mei 2021   00:11 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Atap rumah bangsawan tradisional Korea. Foto oleh Ivan Adilla

Saya bertemu Kakek saat beliau sudah pensiun sebagai pegawai Departemen Agama. Sejak pensiun, Kakek menetap di kampung. Beliau membangun rumah kayu sederhana di tepi Danau Singkarak. Berjarak belasan meter saja dari pinggir danau yang indah itu. Pada malam hari, dari beranda rumah kami bisa mendengar ombak menyapu pasir. Sedangkan pagi hari, kita dapat menikmati cahaya pagi dari arah pantai. Di rumah itulah saya dan cucu Kakek yang lain tidur saat musim liburan tiba.

Kakek menamatkan pendidikan di Madrasah Thawalib di Parabek. Di sekolah itu, Kakek satu angkatan dan berteman baik dengan Buya Hamka. Pertemanan itu terus berlanjut hingga kedua sahabat itu memasuki usia tua. Jika keduanya bertemu, salam di antara mereka bukanlah 'assalamu alaikum', sebagaimana layaknya siswa sekolah agama. Tapi gerakan silat, agak satu-dua jurus. Setidaknya, begitulah kesaksian sepupu saya yang menemani Kakek saat mengunjungi Buya Hamka di Masjid Agung Al-Azhar, di Kebayoran Baru, Jakarta. 

Begitu sampai di masjid, Kakek melakukan salat sunat tahiyatul masjid. Begitu selesai salat, tiba-tiba saja ada orang yang menyerang kakek dari arah samping. Orang itu menekan kaki Kakek yang masih dalam posisi duduk usai salat. Dengan sigap Kakek merebahkan tubuhkan ke arah kakinya yang diinjak, berguling sambil melepaskan diri dari injakan penyerang. Dengan cepat beliau memasang kuda-kuda untuk menerima serangan berikutnya. Saat itulah Buya Hamka mengunjukkan tangan memberi salam.

"Baa kaba urang bagak tapi danau?", sapa Buya Hamka.

"Alhamdulillah, kaba baiak tuan penulis..." jawab Kakek. Setelah itu keduanya berangkulan layaknya sahabat lama.

***

Salah satu tanda persahabatan Kakek dengan Buya Hamka adalah sebuah tongkat dengan ukiran kepala naga.   Tongkat dari kayu jati dengan ukiran indah merupakan kenangan yang diberikan oleh Buya Hamka untuk Kakek. Kakek amat menghargai hadiah dari sahabatnya itu. Tongkat itu diletakkan di tempat khusus. Selalu dilap sehabis dipakai. Penggunaannya pun hanya untuk keperluan yang penting saja. Misalnya untuk ke masjid ketika salat Jumat. Untuk salat Jumat, biasanya Kakek menjadi khatib dan imam. Ketika usia beliau sudah lanjut, Kakek menyerahkannya pada yang lebih muda untuk menjadi khatib maupun imam. Namun demikian, Kakek selalu mengikuti dan mengawasi pelaksanaan ibadah penting itu.

Suatu ketika, kampung kami kedatangan rombongan kampanye dari partai pemerintah. Saat itu memang dalam suasana kampanye untuk pemilu. Rombongan kampanye partai pemerintah itu terdiri dari beberapa orang pejabat juga. Kebetulan kampanye partai itu berlangsung pada hari Jumat. Rombongan partai melakukan salat Jumat di masjid besar. Untuk menghormati pejabat yang hadir, maka pengurus mengizinkan salah seorang anggota rombongan partai itu untuk menjadi khatib. karena dalam rombongan itu memang ada seorang ulama terpandang tingkat kabupaten. 

Situasi politik pada masa Orde Baru amat pelik. Partai Golkar yang mendukung pemerintah sedang berada di atas angin. Tidak ada yang berani mengkritik, apalagi di kampung seperti tempat kami. Jadinya pendukung partai kadang bertindak berlebihan. Itulah yang terjadi saat salat Jumat. Khatib yang menjadi juru kampanye  menggunakan mimbar masjid untuk menyampaikan program partai, layaknya panggung kampanye. Selagi khatib berkhutbah penuh semangat, tiba-tiba saja Kakek berdiri. Beliau mengangkat tongkatnya, dan mengarahkannya kepada khatib. Dengan tegas Kakek menyuruh khatib turun dari mimbar.

Semua jamaah kaget dengan tindakan Kakek. Termasuk khatib yang merangkap juru kampanye. Tapi Kakek bersikap biasa saja. Dengan tertatih, Beliau berjalan ke mimbar, memulai khutbah Jumat seperti biasa dan kemudian melanjutkan tugasnya sebagai imam. Pulang dari masjid, banyak yang cemas kalau-kalau Kakek akan dijemput dan ditahan aparat keamanan. Tindakan Kakek menghentikan khutbah jumat itu bisa jadi tindakan mempermalukan aparat pemerintah.

Akan halnya kakek, terlihat tidak peduli. Usai Jumat, kami makan bersama dan mengobrol seperti biasa. Tak lama kemudian datang khatib jumat yang tadi diusir Kakek dari mimbar. Ia datang ditemani pengurus masjid. Ulama muda itu datang untuk mengakui kesalahan dan minta maaf pada Kakek. Kami yang masih remaja hanya diam saja menyaksikan peristiwa itu. Saya lihat Kakek sama sekali tidak marah pada ulama itu. Beliau hanya menasehatinya.

Sejak peristiwa itu, tongkat berukiran ular naga itu di mata kami menjadi naik gengsinya. Kakek terlihat gagah kalau memakai tongkat itu. Kami bangga dengan tongkat hadiah dari Buya Hamka itu untuk Kakek. Begitulah pandangan kami sebagai cucunya.

Tapi kebanggan itu tak berlangsung lama. Beberapa waktu kemudian tongkat itu malah menjadi benda paling menakutkan bagi kami. Sebabnya adalah karena tongkat kebanggan itu kadang dipakai memukul kami, para cucunya, yang bandel. 

Setiap malam, kami selalu makan bersama di rumah Nenek. Saat makan, Kakek siap dengan sapu lidi, dan juga tongkat berkepala naga. Sapu lidi itu untuk menakuti kucing yang akan mengganggu makan. Sedangkan tongkat kepala naga itu untuk memukul siapa saja yang nasi atau lauknya berserakan saat makan.

Yang paling sering kena tongkat itu adalah yang tertua di antara kami. Kami memanggilnya Uda Man. Kakak sepupu kami ini memang rada sembarangan saat makan. Ia selalu makan dengan tergesa. Di sekitar piringnya banyak remah nasi berserakan. Begitu selesai makan, kakek langsung memukul kakinya dan memerintahkannya dia untuk memberisihkan remah nasi.

Kenapa Kakek begitu marah dengan remah nasi yang terbuang saat makan?

"Butuh waktu enam bulan sebelum nasi itu sampai di piring dan bisa dimakan", kata kakek. Karena itu, tak sebutir nasipun boleh terbuang percuma.

Kakek telah lama meninggal. Begitu juga Buya Hamka, sahabat yang menghadiahi beliau tongkat berkepala naga itu. Di antara kami para cucunya tak tahu di mana tongkat itu sekarang. Padahal ia pernah menjadi benda kebangaan, sekaligus menakutkan bagi kami.

    

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun