Jadi, apa yang bisa dirundingkan dengan orang kecil seperti Da Mardi itu? Bagaimana mungkin aku bisa mengemukakan persoalan pelik yang saya pikirkan pada pegawai kecil yang hanya tamat Tsanawiyah itu?
“Ah, aku yang tamat S2 saja sampai pusing berpikir. Mana mungkin pegawai rendahan yang kampungan ini bisa menjawab...” kata saya dalam hati. Jadi, saya diam saja atau mengelak untuk tidak menjawab rasa ingin tahu Da Mardi.
Anehnya, Da Mardi sama sekali tak tersinggung dengan sikapku. Dia selalu saja menemani aku duduk minum kopi jika ia mampir ke lepau. Kadang pagi sebelum jam kerja. Atau siang saat istirahat.
Diperhatikannya saat yang tepat untuk menghampiri mejaku. Kalau aku lagi tekun membaca, dia memilih diam di sudut lain. Begitu aku lepas dari bacaan, atau istirahat, barulah dia datangi dan kami pun mengobrol. Tentang apa saja. Sejak dari hasil pertanian, buku, hingga masalah agama. Pelan tapi pasti, Da Mardi berhasil membuka hatiku. Pada minggu kedua, akhirnya aku menjelaskan masalah pelik yang kupikirkan dan kucoba cari jawabannya.
Mendengar penjelasanku, Da Mardi tersenyum. “Ada ungkapan yang dulu pernah diajarkan guru kami. Mungkin ungkapan itu bisa membantu..” kata Da Mardi setelah menghisap rokok kretek kesenangannya.
“Apa bunyi ungkapan itu?”
Da Mardi membacakan sebuah ungkapan dalam bahasa Arab. “Ilmu itu Nur Allah. Nur Allah itu tidak bisa berdekatan dengan maksiat. Maka, jika kamu ingin ilmu, jauhi maksiat,” ujarnya mengartikan.
Aku termenung. Ternganga. Juga kagum. Instingku meraba, inilah definisi dan jawaban yang kucari selama ini...
“Tolong dicatatkan ungkapan tadi, Da. Dalam bahasa Arab beserta artinya..” pintaku.
“Hahaha.. kenapa?” ujarnya sambil tersenyum. Ya, Da Mardi jarang tertawa. Kalau hatinya senang, ia lebih suka tersenyum dengan wajah riang.
“Itu jawaban yang saya cari selama ini...”