Aku mengulurkan tangan bersalaman. Siri menyambut dengan tersenyum. Ia kemudian menunjuk ke arah potongan koran di dinding tadir di belakangnya. Potongan koran itu dijepit dengan lidi. Itulah koran Singgalang Minggu yang memajang foto dan berita tentang dirinya. Wajahnya girang menunjuk ke arah koran yang dikliping seadanya itu. Sudut-sudut koran itu tidak terpotong dengan rapi. Agaknya dipotong dengan cara merobeknya begitu saja dengan tangan.
Kami duduk beralaskan bonggol kayu yang ada dekat kandang itu. Saya menawarkan rokok untuk Siri. Kami merokok sambil menikmati biskuit. Menjelang senja, saya pamit. Saat bersalaman, Siri menggenggam tangan saya dengan keras. Lama baru ia meregangkan jari dan melepaskan genggaman itu. Esoknya saya kembali ke Padang.
Sampai di Padang, saya telah disibukkan oleh kuliah dan kegiatan kampus. Kesibukan yang membuat saya lupa untuk menulis bahwa Siri kembali dipasung. Dua bulan kemudian saya mendengar kabar bahwa Siri meninggal dunia. Saya terdiam mendengar kabar itu.
Teringat pada jabat tangan terakhirnya yang kuat. Mungkin genggaman tangan untuk meminta agar saya tinggal lebih lama. Atau ada sesuatu yang ingin dia katakan. Tapi, bisa jadi juga itu isyarat perpisahan. Siri telah lama meninggal dunia. Namun saya tetap mengenangnya. Sebagaimana orang waras, ia adalah manusia yang punya hati. Itulah kenapa kami bisa menjadi sahabat.
Foto:
Danau kecil di tengah Kampus Hankuk University for Foreign Studies (HUFS), di Mohyeon-Myeon, Yongin-shi, Korea Selatan. Foto diambil saat musim semi, kala dedaunan berubah warna. Tulisan ini diselesaikan di lokasi ini, saat penulis bertugas sebagai dosen tamu di kampus ini pada 2017-2020.